Zuhd dan Faqr Dalam Pemikiran Hamzah Fansuri dan Ayatullah KhomeiniDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Prof. Abdul Hadi. W.
M.
Terus terang, saya merasa kikuk ketika perama kali diminta
berbicara dalam majelis ini dengan topik yang tertera dalam surat panitia
kepada saya. Soalnya, saya telah lama tidak membaca buku-buku atau
karangan-karangan Ayatullah Khomeini berkenaan dengan `irfan atau tasawuf.
Tetapi setelah saya membaca lagi sebuah edisi Indonesia buku Syarh al-Arba`in
Haditsan suntingan Muza Kashim, yang diterjemahkan menjadi 40 Hadis: Telaah
Hadis-hadis Mistis dan Akhlak (Bandung: Mizan, 2004) saya lantas memperoleh
keberanian untuk menyajikan pembahasan dalam forum ini. Namun disebabkan luasnya wilayah pembahasan tasawuf atau
`irfan sebagai disiplin ilmu Islam, saya pilih membahas dua konsep penting atau
kunci dalam ilmu ini, yaitu zuhd dan faqr. Yang pertama, merupakan permulaan di
jalan cinta yang ditempuh ahli suluk untuk mencapai kedekatan dan persatuan
dengan Yang Haqq, Sang Mahbub, seperti dikatakan Rumi dalam bait puisinya,
“Inilah cinta: mula pertama menyangkal dunia (zuhd), kemudian terbang melesat
ke langit…” Yang kedua, faqr adalah maqam (peringkat tertinggi) di jalan
makrifat yang diikuti dengan dua keadaan ruhani (ahwal) yang dialami ahli
suluk, yaitu fana dan baqa’. Dua konsep ini menyebabkan ahli-ahli tasawuf secara
pukul rata dipandang anti-dunia dan anti-peradaban, dan gerakan keruhanian
mereka seperti tariqat oleh kalangan modernis dan pembaru dipandang sebagai
sumber kemunduran dan keterbelakangan Islam. Apalagi kemudian istilah ini
diterjemahkan menjadi ‘ascetism’ dalam bahasa Inggeris, dan
mengaitkan gerakan dan praktik zuhud dalam Islam dengan praktik para rahib
Kristen, yang disebabkan oleh penindasan bangsa Romawi menyebarkan agama mereka
secara diam-diam. Akan tetapi apabila kita mempelajari sejarah
tersebarnya agama Islam pada abad ke-13 –17 di India dan Asia Tenggara,
terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam yang maju di wilayah-wilayah ini, kita
mungkin harus berpikir ulang. Tanpa keterlibatan para sufi dalam jaringan
perdagangan internasional, dan jaringan-jaringan lain seperti jaringan
intelektual, pendidikan, dan persaudaraan sufi ketika, kita tidak dapat
membayangkan Islam berkembang pesat di kepulauan Nusantara. Dalam
hikayat-hikayat Melayu mereka disebut faqir atau darwish, yang tidak lain
adalah sufi yang gemar mengembara ke berbagai pelosok negeri untuk menyebarkan
agama. Di dalam babad Jawa mereka kerap disebut wali. Mereka bekerja tanpa kenal lelah dan tanpa pamrih.
Agar mandiri, dan tidak tergantung pada penguasa, ada di antara mereka
yang berdagang, menjadi tabib, perajin, pengusaha kapal, guru bela diri dan
lain sebagainya. Mereka mendirikan madrasah dan pesantren dengan hasil jerih
payah mereka sendiri seperti misalnya Hamzah Fansuri dan para wali di Jawa
seperti Sunan Bonang dan Sunan Giri. Contoh terbaik untuk ini adalah Sarekat
Dagang Islam yang kemudian bernama Sarekat Islam (SI). Gerakan kebangsaan
pertama yang lahir pada tahun 1905 ini didirikan oleh para pemimpin dan anggota
tariqat sufi seperti H. Omar Said Cokroaminoto dan H. Samanhudi, yang pada
umumnya adalah saudagar. Seperti untuk menjadi anggota tariqat seseorang harus
dibaiat, demikian pula dulu orang yang ingin menjadi anggota SDI atau SI harus
dibaiat. Zuhud, Wara` dan Cinta Dunia Dalam banyak risalah tasawuf yang awal, pembicaraan tentang
zuhd (selanjutnya zuhud) dan faqr (selanjutnya faqir), kerap disajikan pada
bab-bab permulaan. Misalnya dalam kitab Kashf al-Mahjub, karangan sufi Persia
abad ke-11 M Ali Utsman al-Hujwiri. Dalam fasal yang membahas masalah itu di
antaranya terdapat kutian ucapan Warraq al-Tirmidhi, “Mereka yang
puas dengan ilmu kalam dalam menerangkan pengetahuan agama, namun tidak
mengamalkan zuhud dia akan menjadi zindiq; dan mereka yang puas dengan fiqih, tanpa
mengamalkan wara` akan tercela sifatnya.” (KM 17). Sedangkan Abu Nashr
al-Sarraj (w. 389 H) dalam Kitab al-Luma`, lebih memperhatikan persoalan faqir
dan wara`, sedangkan pengertian dengan zuhud atau penyangkalan terhadap dunia
dilakukan secara tersirat saja. Ini dapat dimengerti karena para sufi tidak mau
disamakan dengan golongan zuhudiyah. Dalam Syrah al-Arba`in Haditsan Ayatullah Khomeini
membicarakan zuhud pada bagian akkhir bukunya, dan menyebutnya sebagai
tingkatan tertentu dari sikap wara`. Wara` diartikan sebagai “Kehati-hatian
yang tinggi disertai rasa takut atau disiplin ketat untuk memuliakan Allah.”
Beliau membagi peringkat-peringkat wara` sebagai berikut: Pada orang awam
artinya meninggalkan dosa-dosa besar. Pada orang terpilih artinya ialah
berpantang dari hal-hal yang syubhat karena kuatir tergerlincir pada hal-hal
yang dilarang agama. Pada ahli zuhud artinya ialah berpantang dari hal-hal yang
diperbolehkan oleh agama untuk menghindari beban berat dari akibat-akibat yang
mungkin ditimbulkan. Pada penempuh jalan `irfan ia berarti berpantang dari
memandang dunia demi mencapai pelbagai maqam. Pada orang yang hatinya telah
tertawan dalam wujud Ilahiyah (majdhub) artinya ialah membebaskan diri dari
maqam atau peringkat ruhani yang dicapainya untuk menyaksikan keindahan-Nya
(SAH 574-5). Tetapi menurutnya yang paling utama ialah wara` dalam
arti bersikap hati-hati terhadap apa yang telah dilarang Allah. Hati orang yang
tidak hati-hati terhadap apa yang diharamkan itu akan menjadi gelap dan penuh
karat. Walaupun Ayatullah Khomeini tidak membicarakan zuhud
secara tersirat, kecuali yang berkaitan dengan wara’, tetapi dalam sebuah fasal
awal dari tafsir hadisnya beliau menguraikan makna hermeneutik dari sebuah
hadis yang menerangkan tercelanya sifat orang yang cinta berlebihan
kepada dunia, suatu sikap yang mendorong berkembangnya konsep zuhud pada
permulaan lahirnya gerakan tasawuf. Hal yang sama juga dibahas oleh Hamzah
Fansuri dalam Sharab al-`Ashiqin. Dalam bab dua risalahnya itu Syekh Hamzah Fansuri
menghubungkan makna zuhud dengan orang yang menyucikan hatinya dari
pamrih-pamrih duniawi bagi segala ibadah dan pekerjaannya di dunia. Dia
mengatakan bahwa, “Ilmu suluk atau tariqat itu tark al-dunya (tanggal dari
dunia), yakni tidak menimbun harta banyak untuk kepentingan diri sendiri lebih
daripada cukup untuk makan dan berkain”. Dengan mengutip sebuah hadis, dia
mengatakan bahwa mencintai dunia merupakan pangkal kejahatan (Abdul Hadi WM
1995:70-1). Ini berulang kali dikemukakan dalam bait-bait syair makrifatnya. Ayatullah Khomeini dalam fasal bukunya yang telah
disebutkan, memulai telaahnya dengan menjernihkan terlebih dulu pengertian
‘dunia’ dan ‘akhirat’. Sebab ‘dunia’ yang dimaksud para fuqaha` dan mutakalimun
dalam wacana-wacana mereka , sangat berbeda dengan yang dimengerti oleh
penempuh jalan makrifat (`irfan) namun telah disalah artikan oleh para fuqaha’
dan mutakallimun sebagai sikap yang membenci dan menolak dunia, yang kemudian
menyebabkan ahli-ahli `irfan dan sufi dituduh sebagai sumber kemunduran Islam. Menurut Ayatullah Khomeini, dunia yang dimaksud oleh
para penempuh `irfan dalam wacana-wacana mereka ialah “dunia yang tercela”,
yaitu sifat-sifat yang harus dijauhi oleh orang yang mencari akhirat.
Dunia semacam itulah yang dikutuk dalam al-Qur`an dan Hadis. Ia adalah dunia
dalam arti ‘keseluruhan dari hal-hal yang menghalangi manusia dari menaati
Allah dan mencegahnya dari cinta kepada-Nya, serta mencegahnya dari mencari
akhirat’. Adapun pengertian ‘akhirat’ adalah sebaliknya. Ia adalah apa saja
yang menyebabkan keridhaan Allah dan kedekatan manusia kepada-Nya, walaupun
tampak seakan-akan masalah dunia seperti perdagangan, industri, pertanian, dan
kerajinan yang tujuannya ialah untuk menjamin kehidupan keluarga agar mereka
senantasa taat kepada perintah Allah. Begitu juga kegiatan yang seolah-olah
tampak seperti masalah dunia dapat disebut sebagai ‘akhirat; apabila
tujuannya untuk membelanjakan harta untuk beramal, membuat sejahtera
orang miskin dan papa, serta untuk mencegah ketergantungan kepada orang
lain, seperti penguasa yang zalim. Beliau mengutip seorang arif yang mengatakan bahwa
‘dunia’ dan ‘akhirat’ dalam wacana `irfan itu merupakan dua keadaan batin dari
hati manusia. Hati yang keadaannya merasa dekat dan terpaut pada kehidupan
sebelum mati adalah ‘dunia’ namanya, sedangkan keadaan-keadaan hati yang
terpaut pada kehidupan sesudah mati ialah ‘akhirat’ Yang disebut dunia adalah
sesuatu yang membangkitkan hawa nafsu dan yang menyebabkan hawa nafsu menguasai
jiwa seseorang (SAH 136). Seraya menyebut dirinya faqr, Ayatullah Khomeini
mengatakan bahwa apa yang disebut dunia bisa diartikan sebagai tingkat paling
rendah dari keberadaan, tempat perubahan, peralihan dan kemusnhan. Sedangkan
‘akhirat’ ialah perjalanan kembali dari tingkat keberadaan terrendah tersebut
menuju tingkat keberadaan atau alam kehidupan yang lebih tinggi. Yang
pertama ialah segala sesuatu yang bersifat kebendaan. Karena itu yang dimaksud
zuhud ialah penolakan terhadap materialisme dan hedonisme yang membawa kepada
pendangkalan akidah, dekadensi moral, dan pembusukan sosial. Yang kedua, ialah
peringkat keberadaan yang lebih tinggi dan tersembunyi, yaitu kehidupan batin
yang bersih dari pamrih dan nafsu keduniaan. Dengan demikian, yang dimaksud
sebagai ‘dunia yang tercela’ dalam al-Qur`an dan Hadis tidak berlaku bagi dunia
itu sendiri, tetapi yang dimaksud ialah ketenggelaman, kecintaan, dan
keterikatan manusia kepadanya.” (SAH 137). Penjelasan Ayatullah Khomeini dapat dirujuk pada apa
yang dikatakan Fariduddin al-`Attar (w. 1220 M) sebagaimana saya terjemahkan
dari esai Sayyid Murtadha Muttahari Introduction to `Irfan, sebagai berikut: Makna zuhud sebagaimana dipahami ahli tasawuf dan `irfan,
jelas bukan sikap memusuhi dan membenci dunia. Uraian tentang faqir sebagai salah satu konsep kunci tasawuf
bertalian dengan maqamat, terutama sekali gambarannya secara simbolik, dijumpai
banyak sekali dalam syair-syair Hamzah Fansuri. Kata-kata faqir bahkan
dijadikan penanda kesufian atau kepengarangan, sering pula ditamsilkan sebagai
anak dagang atau anak jamu (orang yang bertamu). Penamsilan ini diambil dari
al-Qur’ an dan Hadis, dan memiliki kontek sejarah, khususnya sejarah
penyebaran Islam di kepulauan Nusantara. Telah banyak yang mengetahui bahwa agama ini tersebar
dan berkembang pesat di Asia Tenggara bersamaan dengan pesatnya kegiatan
perdagangan internasional yang dilakukan pedagang Muslim Arab dan Persia sejak
abad ke-13 M. Sejak itu satu persatu kerajaan-kerajaan Islam berdiri di
kota-kota pelabuhan seperti Samudra Pasai (1270-1514 M), Malaka (1400-1511 M)
dan Aceh Darussalam (1516-1700 M) di kepulauan Melayu. Di pulau Jawa kerajaan-kerajaan
Islam juga muncul di pesisir seperti Demak, Cirebon, Gresik, Banten, Tuban, dan
lain-lain. Pada mulanya kegiatan perdagangan itu hanya melibatkan pedagang
Arab, Turki dan Persia. Tetapi kemudian melibatkan juga pedagang-pedagang
Nusantara yang telah memeluk agama Islam. Seraya berniaga mereka menjadi
pendakwah, membangun jaringan perdagangan dan persaudaraan sufi. Dengan
itu lembaga pendidikan Islam dapat didirikan di pusat-pusat komunitas Islam,
dan tradisi intelektual pun lantas berkembang. Arti kata dagang dalam bahasa Melayu pada mulanya
ialah merantau ke tempat lain dan menjadi orang asing di tempat tinggalnya yang
baru. Kata-kata ini diterjemahkan dari kata Arab gharib (asing) dan selalu
dirujuk pada Hadis, ”Kun fi al-dunya ka’annaka gharibun aw ’abiru sablin
wa `udhdha nafsahu min ashabi al-qubur” (”Jadilah orang asing atau dagang di
dunia ini, singgahlah sementara dalam perjalananmu, dan ingatlah akan azhab
kubur.”). Hamzah Fansuri menulis dalam sebuah syairnya: Lawan dari orang yang dicintai Tuhan ialah
mereka yang mencintai dunia. Dagang atau faqir ialah dia yang karib dengan
Tuhannya dan asing serta tidak lagi terpaut pada dunia. Kata gharib, yang
diterjemahkan menjadi dagang, ditafsirkan sebagai ”Orang atau diri yang asing
terhadap dunia” (al-Attas 1971:8), seperti ahli suluk yang insaf bahwa di dunia
ini ia adalah orang asing yang sedang merantau atau singgah sementara di negeri
orang untuk mengumpulkan bekal yang kelak akan dibawa pulang ke kampung
halamannya. Kampung halaman manusia yang sebenarnya bukan di dunia, tetapi di
akhirat. Ini dapat dirujuk pada apa yang dikatakan Imam al-Ghazali dalam
Kimiya-i Sa`ada. Kata filosof sufi dari Tus, Persia itu: “Dunia ini adalah
sebuah pentas aatau pasar yang disinggahi oleh para musafir dalam
perjalanannya menuju ke negeri lain. Di sini mereka membekali diri dengan
berbagai bekal agar supaya tujuan perjalanan tercapai” (Mohammad Bagir
1984:39). Hamzah Fansuri menulis: La tasta’khiruna sa`atan (Q 34:30) artinya tidak dapat
ditunda waktunya. Di sini anak dagan, diberi arti lebih kurang sebagai
seseorang yang benar-benar memahami bahwa hakikat kehidupan dan kebahagian yang
sejati dijumpai dalam persatuan hamba dengan Tuhannya. Tanda anak dagang sejati
ialah kecintaan dan penyerahannya yang penuh kepada Tuhan, ikhtiarnya yang
sungguh-sungguh menegakkan kebenaran agama yang diyakininya. Begitu pula pengertian faqir. Dalam tasawuf ia
diartikan sebagai pribadi yang tidak lagi terpaut pada dunia. Keterpautannya
semata-mata ke pada Tuhan. Dua ayat al-Qur`an yang dijadikan rujukan, yaitu Q
2:268 dan Q 35-15. Dalam Q 2:268, Allah berfirman, ”Setan mengancammu
dengan ketiadaan milik (al-faqr) dan menyuruhmu melakukan perbuatan keji.
Tetapi Allah menjanjikan ampunan dan karunia kepadamu dari-Nya sendiri dan
Allah maha luas pengetahuan-Nya.” Dalam Q 35 :15, ”Hai manusia ! Kamulah
yang memerlukan (fuqara’) Allah. Sedangkan Allah, Dialah yang maha kaya lagi
maha terpuji.” (Yusuf Ali 1983: 109 dan 1157-8). Mengikuti pengertian ini Hamzah Fansuri menyatakan
bahwa faqir yang sejati ialah Nabi Muhammad s.a.w. Dalam seluruh aspek
kehidupannya beliau benar-benar hanya tergantung kepada Tuhan. Ini ditunjukkan
pada keteguhan imannya. Kata penyair: Perkataan ”`Uzlat dan tunggal di dalam kawan” dapat
ditafsirkan bahwa, walaupun Nabi seorang zahid dan wara`, tetapi beliau tidak
meninggalkan kewajibannya sebagai pemimpin umat. Sedangkan perkataan ”Olehnya
duduk waktu berjalan” dapat ditafsirkan bahwa, walaupun hatinya hanya terpaut
pada Tuhan, namun beliau tetap aktif mengerjakan urusan dunia dengan penuh
kesungguhan dan pengabdian. Kata ’duduk’, arti harfiahnya tidak bergerak dan
tidak berjalan, yakni keyakinannya kepada Allah s.w.t sangat kuat. Dalam syairnya
yang lain, seorang faqir diumpamakan sebagai galuh-galuh atau laron yang
berani terjun ke dalam nyala api. Laron adalah lambang pengurbanan diri.
Pengurbanan itu dilakukan disebabkan cinta dan keyakinannya yang mendalam kepada
cahaya, simbol pencerahan, hikmah dan petunjuk Tuhan. Jelas bahwa faqir
adalah pribadi berani mengurbankan kepentingan diri demi cita-cita yang luhur. Hamzah miskin hina dan karam Dalam syair lain tamsil anak dagang diganti anak jamu:
“Dengarkan hai anak jamu/ Unggas itu sekalian kamu/ `Ilmunya yogya kau ramu
/Supaya jadi mulia adamu.” Anak jamu diumpamakan juga sebagai unggas yang
tinggal dalam kandang syariat dan memliki berbagai kelengkapan ruhani: Jelaslah bahwa yang dimaksud faqir bukanlah orang
miskin dalam artian harfiah. Ibn Abu `Ishaq al-Kalabadhi dalam bukunya
al-Ta`arruf li Madzzhabi ahl al-Tashawwuf )abad ke-11 M) mengutip Ibn
al-Jalla yang mengatakan, ’Kefaqiran ialah bahwa tiada sesuatu pun yang
menjadi milikmu, atau jika memang ada sesuatu, itu tidak boleh menjadi
milikmu’. Ini sejalan dengan firman Tuhan, ’Sedangkan mereka lebih mengutamakan
kepentingan orang banyak, dibanding semata-mata kepentingan mereka sendiri,
sekalipun mereka dalam kesukaran’” (Arberry 1976:118). Ali Uthman al-Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub,
mengutip seorang sufi yang mengatakan, ”Laysa al-faqr man khala min al-zad,
inna-ma al-faqr man khala min al-murad, yakni ’Faqir bukan orang yang tak punya
rezeki/penghasilan, melainkan yang pembawaan dirinya hampa dari nafsu rendah’.”
Dia juga mengutip Syekh Ruwaym, ”Min na`t al-faqr hifzzhu sirrihi wa syanatu
nafsihi wa ada’u fazi dhatihi’, yakni ’Ciri faqir ialah hatinya terlindung dari
kepentingan diri, dan jiwanya terjaga dari kecemaran serta tetap melaksanakan
kewajiban agama.” (Nicholson 1982:35). Hamzah Fansuri menggambarkan bahwa faqir merupakan
pribadi yang indah sebab seluruh dirinya telah fana` (hapus) dalam tujuan
spiritual kehidupan yang berufuk dalam Tawhid, kesaksian bahwa Allah itu esa.
Katanya: Arti harfiah `uryan ialah telanjang, arti batinnya tulus dan
ikhlas. Contoh faqir agung ialah Nabi Ismail a.s. yang bersedia dikurbankan
oleh ayahnya Nabi Ibrahim a.s. karena itu yang diperintahkan oleh Tuhan.
Seorang faqir menurut Hamzah adalah pribadi universal yang tidak terikat lagi
pada warna kulit, ras dan kebangsaan. Apa artinya sebutan Arab, Parsi, Melayu,
Jawa, atau Cina bagi seseorang yang telah wasil dengan Tuhan? Perjuangannya
untuk menegakkan kebenaran juga bukan hanya untuk bangsa atau kaumnya, tetapi
untuk seluruh umat manusia. Sebagai penutup saya ingin mengutip Iqbal, yang oleh
Ayatullah Ali Khamene`i (1989) dijuluki sebagai “filosof-penyair kebangkitan
Timur”. Dia sangat prihatin terhadap umat Islam, disebabkan telah kehilangan
khudi atau kepribadian. Akhlaq, spiritualitas, dan intelektualitasnya telah
merosot. Cintanya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad s.a.w. telah padam. Sebagian
tenggelam dalam materialisme dan egosentrisme, sebagian lagi karam dalam
kepentingan-kepentingan ashabiyah sempit yang membuat umat pecah belah. Di tengah
yang demikian itu sebagian besar umat dalam kebodohan, kemiskinan, dan
keterbelakangan. Iqbal merindukan seorang faqir sejati seperti Nabi s.a.w.
sebagai penyuluh bagi umat sehingga cita-citanya terangkat dan dapat membangun
kehidupan berdasarkan aspirasi dan cita-cita keruhanian dari agamanya. Tetapi pribadi semacam apakah yang disebut faqir itu. Dia
menulis dalam sajak “Faqr” (bahasa Inggrisnya dalam Dar 1977:47-8): O hamba benda-benda dunia, apakah faqir? Orang yang memiliki keinsyafan men dalam dan hatinya hidup Dia menetapkan perkara secara mandiri Dan membenteng diri dengan kata la ilaha Faqir ialah penakluk Khaibar Faqir ialah semangat membara Sebab asyik dan taat pada perintah Allah Sifat semacam ini hanya dimiliki Mustafa Dan kita semua ialah para pengikutnya Sifat utama faqir adalah wawasan dan pengetahuannya yang
luas, moralnya terpuji, hatinya senantiasa berkobar disebabkan bara cinta
ilahi, hatinya wara` dan zuhud. Selain Nabi, pribadi seperti itu dijumpai dalam
diri Ali bin Abi Thalib. Iqbal memberi contoh kefakiran Imam Ali tatkala beliau
memimpin pasukan Islam merebut bukit Khaibar dari pendudukan kaum Yahudi.
Kemenangan pasukan Islam ketika itu bukan semata disebabkan kekuatan ekonomi
dan pemilikan senjata, melainkan disebabkan oleh tingginya moral dan
ketangguhan spiritual Seperti ditulis dalam puisinya ”Faqir”: Faqir melakukan serangan malam ke kediaman malaikat Dalam gagasan ini seorang faqir adalah pribadi wara`
dan zuhud. Dalam mengerjakan sesuatu tidak pernah dibebani pamrih dan
kepentingan diri. Kezuhudannya juga tidak membuatnya benci kepada dunia. Faqr
semacam itu bisa kita jumpai dalam pribadi-pribadi besar seperti Imam Husein,
Salahudin al-Ayubi, Jalaluddin Rumi, Hamzah Fansuri, Pangeran Diponegoro dan
Ayatullah Khomeini.[] Sumber: Islamalternatif Penulis: Tokoh dan Budayawan Indonesia |