Rahasia Puasa Menurut Ibnu ‘Arabi*Dalam al-Futuhat al-Makkiyyah Bab 71 “Tentang Rahasia
Puasa”, Ibnu ‘Arabi mendedah rahasia-rahasia yang terkandung dalam puasa.
Sebelumnya, Syekh al-Akbar menuliskan beberapa bait puisi tetapi dalam tulisan
ini, puisi-puisinya tidak kami sertakan mengingat ruang yang terbatas. Puasa adalah Pencegahan dan Peninggian
Semoga Allah menolong Anda! Ketahuilah, bahwa puasa (shawm)
adalah pencegahan dan pengangkatan. Orang mengatakan, “Siang telah mencapai
ketinggian penuhnya (shama)” ketika ia sudah mencapai titik tertingginya.
(Penyair) Imru’l-Qays berkata: Ketika siang mencapai ketinggiannya (shama) dan panasnya
demikian kuat, Yaitu, siang mencapai keluasannya yang terpenuh. Itu disebabkan
puasa mempunyai suatu derajat yang lebih tinggi dibandingkan semua amal ibadah
lain yang disebut ”puasa” (shawm). Allah meninggikannya dengan penolakan bahwa
ia seperti amal ibadah lain sebagaimana akan kita bahas. Ia menolak
kepemilikannya kepada hamba-hamba-Nya meski mereka menyembah-Nya dengannya
[puasa] itu dan menisbatkan puasa kepada Diri-Nya. Bagian afirmasinya adalah
bahwa Dia memberi pahala kepada orang yang digambarkan olehnya dengan
tangan-Nya meskipun Dia menghubungkan puasa kepada Diri-Nya ketika Dia
menyatakan bahwa ia [puasa] tidak seperti [ibadah] yang lain itu. Berpuasa adalah Tiada-Tindakan, Bukan
Tindakan
Pada kenyataannya, puasa adalah tiada-tindakan, bukan
tindakan. Penafian keserupaan adalah sifat negatif. Karena itu, hubungan antara
puasa dan Allah diperkuat. Allah Yang Mahakuasa berkata tentang Diri-Nya,
Laytsa kamitslihî syai’un (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia) (QS
asy-Syûrâ: 11). Ia menolak bahwa ada sesuatu yang menyerupai-Nya, dan, dengan
demikian, tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya dengan bukti-bukti logis
dan dengan Syari’ah. An-Nasa’i meriwayatkan bahwa Abu Umamah berkata, ”Aku
datang ke Rasulullah saw dan berkata, ”Berikan kepadaku sesuatu yang saya dapat
mengambilnya Anda.” Ia berkata, ”Anda harus puasa. Tidak ada sesuatu pun yang
menyerupainya.” Ia menolak bahwa ia seperti amal ibadah lain yang ditentukan
bagi hamba-hamba Allah. Siapa pun yang mengetahui bahwa ia merupakan sifat
negatif—karena ia mengandung penundaan berbagai hal yang
melanggarnya—mengetahui secara mutlak bahwa tidak ada sesuatu yang
menyerupainya (puasa) karena ia tidak memiliki sumber yang digambarkan dengan
eksistensi yang dipahami. Inilah alasan kenapa Allah berkata, “Puasa adalah
milik-Ku.” Senyatanya, ia bukan ibadah ataupun tindakan. Diperbolehkan untuk
menerapkan nama ”tindakan” (action) kepadanya, seperti halnya penggunaan
ungkapan maujud (‘existent’) dapat diterapkan kepada Allah. Kita paham, itu
dibolehkan sekalipun penisbatan wujud kepada Dia, yang eksistensinya sama
dengan esensi-Nya, yang tidak sama penisbatan wujud kepada kita. Tidak ada
sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Setiap perbuatan putra Adam adalah miliknya kecuali puasa.
Ia milik Allah. Kutipan Hadis Profetik
Muslim meriwatkan di dalam Shahih-nya bahwa Abu Hurairah
melaporkan dari Rasulullah bahwa Allah berfirman, ”Setiap perbuatan putra Adam
miliknya kecuali puasa. Itu adalah milik-Ku, dan Aku membayarnya kembali untuk
itu. Puasa adalah perisai (penjagaan). Ketika salah seorang dari kalian
mempunyai satu hari puasa, maka seharusnya ia tidak berbicara cabul maupun
keras; dan jika seseorang berusaha mengutuknya atau berkelahi dengannya,
biarkan dia berkata, ’Saya sedang berpuasa.’ Demi Zat yang di tangan-Nya jiwa
Muhammad, bau mulut orang yang berpuasa lebih sedap bagi Allah dibandingkan bau
harum misik. Orang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan yang di dalamnya
[ia] bergembira: ketika ia berbuka puasa, ia gembira; dan ketika ia bertemu
Tuhannya, ia bergembira dalam puasanya.” (Muslim, 13: 163) Kepuasan dari Orang yang Puasa Terletak pada Keterikatannya
pada Tingkatan Penafian Keserupaan Ketahuilah, karena Nabi menolak bahwa ada sesuatu yang
menyerupai puasa, seperti yang disebutkan dalam hadis dari an-Nasa’i, dan
”Allah tidak mempunyai sesuatu yang menyerupai-Nya”, orang yang puasa menemui
Tuhannya digambarkan sebagai ”[orang] yang tidak mempunyai sesuatu yang
menyerupainya”. Ia melihat-Nya dengannya [puasa], dan Dia adalah Yang Melihat
sekaligus Yang Dilihat (the Seer-Seen). Inilah alasan mengapa Nabi saw berkata,
“Ia gembira dalam puasanya” dan bukan “Ia gembira dalam menemui Tuhannya.”
Kebahagiaan tidak menggembirakan pada dirinya sendirinya; ia dibuat untuk
bergembira dengannya. Siapa saja yang mempunyai Allah sebagai penglihatannya
ketika ia melihat dan merenungkan-Nya, [ia] hanya melihat dirinya dengan
melihat-Nya. Pelaku puasa bergembira karena mempunyai tingkatan penafian
keserupaan. Ia gembira ketika berbuka puasa di dunia ini karena itu [buka
puasa] memberi jiwa binatangnya haknya, karena pada hakikatnya [jiwa hewani]
mencari makanan. Ketika seorang ’arif melihat bahwa jiwa binatangnya
membutuhkan makanan dan melihat bahwa ia ada karena nutrisi yang diberikan
kepadanyanya, maka ia memenuhi haknya yang telah Allah wajibkan kepadanya dan
menempatkan kedudukan makhluk yang digambarkan sebagai hak. Ia memberi dengan
tangan Allah sebagaimana Ia melihat Allah di dalam pertemuan dengan mata Allah.
Inilah alasan mengapa ia gembira ketika berbuka puasa sebagaimana ia gembira
dalam puasanya ketika ia berjumpa Tuhannya. Puasa adalah Sifat Shamadiyyah dan al-Haqq adalah Tebusannya Penjelasan dari apa yang dikandung dalam hadis ini: Hamba digambarkan sebagai melakukan puasa dan berhak diberi
nama “orang yang puasa” (shaim) oleh sifat ini. Setelah mengafirmasi puasanya,
kemudian Allah mengeluarkannya [sifat itu] darinya dan menisbatkannya kepada
Diri-Nya. Dia berfirman, ”Puasa adalah milik-Ku,” yakni, sifat ash-shamadiyyah.
Ia adalah keterputusan dari makanan. ”Ia hanya milik-Ku, sekalipun Aku sudah
menggambarkan kepadamu dengannya. Aku menggambarkan kepadamu dengan suatu
kualifikasi keterputusan terbatas tertentu, bukan dengan keterputusan (tanzih)
yang keagungan-Ku berhak atasnya. Aku berfirman, ’Aku menebusnya dengan itu.’”
Allah menebus puasanya pelaku puasa ketika dialihkan kepada Tuhannya dan ia
menemui-Nya dengan suatu sifat yang tidak seperti lainnya: yakni puasa, karena
”Zat yang tidak mempunyai sesuatu yang menyerupai-Nya” hanyalah [bisa] dilihat
oleh orang yang tidak mempunyai sesuatu yang menyerupai-Nya. Hal ini seperti
teks dari Abu Thalib al-Makki, salah seorang guru para ahli dzawq. ”Balasannya,
ialah pada siapa diketemukan (barang yang hilang) dalam karungnya, maka dia
sendirilah balasannya (tebusannya) (QS Yusuf: 75) Itulah sesuatu yang
diwajibkan oleh ayat ini dalam keadaan ini. Perbedaan antara Penafian Keserupaan dari Allah dan dari
Puasa Lalu beliau [Nabi saw] berkata, ”Puasa adalah perisai
[penjagaan],” dan [ini] adalah perisai sebagaimana Dia berfirman, Bertakwalah
kepada Allah (QS al-Baqarah: 194), yaitu menjadikan-Nya sebagai suatu perisai
dan [ia] juga menjadi perisai bagi-Nya. Dia menempatkan puasa di dalam posisi-Nya
ketika bertindak sebagai perisai. ”Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan
Dia”, dan puasa tidak memiliki keserupaan di antara amal ibadah lainnya. Siapa
pun tidak mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang menyerupai puasa. Sesuatu itu
adalah masalah keabadian atau eksistensi. Puasa adalah tidak-berbuat
(non-action). Ia adalah intelijibel non-maujud dan sifat negatif. Puasa tidak
mempunyai keserupaan. Ini adalah perbedaan antara sifat Allah di dalam
peniadaan persamaan dan cara yang puasa dijelaskan olehnya. Pelaku Puasa Dilarang Berbuat Cabul,
Berteriak, dan Bertengkar
Kemudian, Pemberi-hukum [Allah] menempatkan
larangan-larangan pada pelaku puasa. Larangan itu adalah tidak-berbuat dan
sifat negatif. Dia berfirman, “maka ia semestinya tidak berbicara cabul maupun
berteriak.” Dia tidak memerintahkan kepadanya suatu perbuatan, tetapi melarang
itu ia digambarkan oleh tindakan-tindakan tertentu. Puasa adalah tidak-berbuat,
sehingga hubungan antara puasa dan apa yang Dia larang kepada pelaku puasa
adalah sah. Kemudian Dia memerintahkan agar ia [pelaku puasa] berkata kepada
orang yang mencelanya atau bertengkar dengannya, ”Saya sedang berpuasa,” yaitu,
saya sedang meninggalkan perbuatan yang sedang Anda lakukan ini, suka
bertengkar atau pengecam, kepada saya. Atas perintah Tuhannya, ia memutuskan
dirinya dari perbuatan ini. Ia melaporkan bahwa ia tidak berbuat, yaitu, ia
tidak mempunyai sifat melaknat atau berjuang bagi yang mengecam dan
memeranginya. Bau Mulut Pelaku Puasa Di Sisi Allah
Lalu ia [Nabi] bersumpah, “Demi Zat yang memegang jiwa
Muhammad di tangan-Nya, napas busuk dari pelaku puasa…” Ini adalah bau mulut
yang busuk dari pelaku puasa yang hanya ada melalui pernapasan. Ia
menghembuskan kata-kata baik yang dengannya ia diperintahkan. Kata-kata ini adalah:
“Aku sedang berpuasa.” Kata-kata ini dan setiap napas dari pelaku puasa adalah
”lebih sedap di hari Kebangkitan,” hari ketika orang-orang dihidupkan kembali
untuk Tuhan semesta alam, ”di sisi Allah.” Ia menggunakan nama [Allah] yang
menggabungkan semua Nama [Allah] dan ia menggunakan nama yang tidak ada sesuatu
pun yag menyerupainya karena hanya Allah yang dinamai oleh nama ini. Ini
selaras dengan puasa itu sendiri yang tidak ada sesuatu pun menyerupainya. Ia berkata, “lebih sedap dibanding bau harum misik.” Bau
misik (bau harum dari zat kelenjar rusa jantan) adalah satu keadaan
eksistensial yang dicandra oleh bau. Orang yang mempunyai struktur yang
seimbang menikmatinyanya. Bau harum dari napas yang busuk dianggap lebih
semerbak di sisi Allah dibandingkan dengan misik, karena penyifatan persepsi
bau harum kepada Allah tidak menyerupai persepsi bau harum kepada pencium. Kita
menemukannya tidak sedap, sementara di sisi-Nya napas ini lebih mulia ketimbang
bau harum misik. Ini merupakan ruh yang digambarkan yang tidak ada sesuatupun
menyerupainya sebagaimana Ia menggambarkannya. Bau harum ini [puasa] tidak
seperti bau harum itu [puasa]. Bau harum pelaku puasa datang dari respirasi
atau hembusan napas. Bau harum misik tidak muncul dari respirasi misik. Ibnu ‘Arabi dengan Musa ibn Muhammad al-Qabbab di Menara
Masjidil Haram Makkah Sesuatu yang seperti ini terjadi ini kepadaku. Aku sedang
bersama Musa ibn Muhammad al-Qabbab di menara Masjidil Haram Makkah di pintu
Hazawwara. Saat itu, azan sedang dikumandangkan. Ia mempunyai beberapa makanan
yang berbau sangat kuat yang tercium oleh setiap orang. Aku mendengar dalam
sebuah hadis Nabi, bahwa para malaikat merasa tersinggung dengan bau menyengat
yang datang dari anak-anak Adam. Maka itu, adalah terlarang mendekati mesjid-mesjid
dengan bau bawang putih, bawang perai, dan bawang bombay. Aku begadang dan
memutuskan untuk menyuruh orang itu untuk memindahkan makanan itu dari mesjid
demi para malaikat. Kemudian aku menyaksikan Allah Yang Mahakuasa dalam sebuah
mimpi, yang di dalam mimpi itu, Dia berfirman kepadaku, ”Jangan katakan
kepadanya tentang makanan itu. Baunya di sisi-Ku tidak seperti baunya di
sisimu.” Pagi-pagi, ia datang kepada kami seperti biasanya. Aku berkata
kepadanya apa yang telah tersingkap [kepadaku]. Ia menangis dan bersujud kepada
Allah karena rasa syukur. Lalu ia berujar kepadaku, ”Guruku, kendati demikian,
adab dengan syariah adalah lebih baik,” dan ia memindahkan makanan itu dari
mesjid. Semoga Allah merahmatinya. Hakikat Surgawi Berlawanan dengan Aroma-aroma Busuk Struktur-struktur alamiah yang logis pada diri manusia dan
malaikat bebas dari bau-bau busuk yang tidak sedap karena daya sengat yang
mereka rasa sebagai akibat dari ketiadaan keselarasan. Aspek al-Haqq di dalam
bau-bau yang busuk hanya bisa dirasakan oleh Allah dan siapa saja yang
mempunyai disposisi untuk menerimanya di antara binatang dan manusia yang
mempunyai sifat alamiah binatang itu. Ini bukan kasus di sisi malaikat. Inilah
alasan kenapa ia berkata, ”di sisi Allah”. Sepanjang pelaku puasa adalah
seorang manusia dengan struktur yang sempurna, ia tidak menyukai napas yang
busuk dari perbuatan puasa pada dirinya dan orang lain. Apakah setiap makhluk dengan struktur sempurna menyadari
Tuhan mereka sebentar atau dalam penyaksian sehingga mereka secara mutlak
merasa bau-bau busuk sebagai yang menyedapkan? Kami belum mendengar hal ini.
Kami katakan ”secara mutlak” karena beberapa struktur tidak menyukai aroma
misik dan bunga mawar, terutama struktur yang panas. Sesuatu yang didapati
menyengat bukanlah menyenangkan untuk orang yang dengan struktur ini. Inilah
alasan kenapa kami berkata ”secara mutlak” karena kebanyakan struktur-struktur
menemukan misik, mawar dan semacamnya yang harumnya semerbak. [Ini] merupakan
struktur jarang, yaitu, tidak biasa, yang menemukan bau-bau yang menyengat ini
sebagai yang menyenangkan. Aku tidak mengetahui apakah Allah telah mengaruniakan kepada
siapa saja persepsi persamaan bau harum karena tidak ada bau busuk di sisi-Nya.
Kami belum merasakan diri kami sendiri dan itu belum dipancarkan kepada kami
bahwa siapa pun merasakan hal itu. Lebih dari itu, diriwayatkan bahwa manusia
sempurna dan para malaikat menemukan bau-bau busuk yang menyengat ini. Hanya
Allah yang merasakannya sebagai hal yang menyenangkan. Ini terpancar. Aku juga
tidak tahu kasus apa di sisi binatang di luar manusia mengenai hal itu. Karena,
Allah tidak menetapkanku dalam wujud seekor binatang selain manusia ketika Dia
menetapkanku dalam bentuk-bentuk para malaikat-Nya. Kadang-kadang. Allah
mengetahui yang terbaik. Pintu Haus yang dengannya Pelaku Puasa Memasuki Surga Berdasarkan pengertiannya, syari’ah telah mendedahkan
berpuasa dengan kesempurnaan yang di atasnya tidak ada kesempurnaan. Ini
disebabkan Allah memberinya suatu pintu khusus dengan nama khusus yang menuntut
kesempurnaan. Ia disebut “pintu orang yang dahaga”. Pelaku puasa memasukinya.
Pemuasan dahaga adalah suatu derajat tingkat kesempurnaan di dalam [perbuatan]
minum. Setelah haus terpuaskan, peminum itu tidak menerima apa pun lagi untuk diminum.
Setiap kali ia menerima, maka ia tidak terpuaskan, entah ini adalah negeri di
tengah negeri golongan-golongan binatang ataukah bukan. Muslim meriwayatkan, dari hadis Sahl ibn Sa’d bahwa
Rasulullah berkata, ”Ada sebuah pintu di surga yang disebut ’Pintu Dahaga’.
Para pelaku puasa memasukinya pada hari Kebangkitan. Tidak ada seorang pun
kecuali mereka yang akan memasukinya. Dikatakan [kepada mereka], ’Di manakah
para pelaku puasa?’ dan mereka akan memasukinya. Ketika yang terkakhir dari
mereka sudah memasukinya, pintu itu akan terkunci dan tidak ada orang lain akan
memasukinya.” Sesuatu tidak disebutkan berkaitan dengan salah satu
perbuatan ibadah yang wajib atau yang haram kecuali puasa. Dengan ’pintu
dahaga’, Dia menjelaskan bahwa mereka memperoleh sifat kesempurnaan dalam
perbuatan karena mereka digambarkan oleh sesuatu yang tidak memiliki keserupaan
seperti yang telah kami katakan sebelumnya. Pada kenyataannya, siapa saja yang
yang tidak memiliki keserupaan, adalah [orang] yang sempurna. Para pelaku puasa
termasuk di antara para arif yang memasukinya di sini. Di sana mereka akan
memasukinya dengan ilmu semua makhluk.[] Sumber: amuli.wordpress * Diterjemahkan
dari Chapter 71: On The Secrets Of Fasting. Sumber:
ourworld.compuserve.com/homepages/ABewley/fut71a.html. |