Rahasia PuasaDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Bulan Ramadhan adalah bulan Allah swt, satu-satunya bulan
yang namanya diabadikan dalam al-Quran. Allah menyebutnya dengan bulan nuzul
al-Quran (turunnya al-Quran). Allah swt berfirman: “(Beberapa hari yang
ditentukan itu adalah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) al-Quran.” (QS. Al-Baqarah (2): 185) Bulan ini menjadi agung bukan
dikerenakan puasanya, melainkan karena di dalamnya diturunkan al-quran.
Al-Quran memiliki hukum dan hikmah. Di antaranya adalah hukum puasa. Ramadhan adalah bulan turunnya al-Quran al-Karim. Pada bulan
ini pula manusia menjadi tamu-tamu Allah swt. Dan Allah swt telah menyajikan
hidangan bagi para tamu-Nya berupa al-Quran al-Karim. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah saw bersabda: “Al-Quran ini
adalah jamuan dari Allah swt.”[1] Al-Quran merupakan jamuan Ilahi yang
diberikan bagi hamba-hamba-Nya. Tidak semua orang bisa menyantap dan menikmati
jamuan tersebut. Tak seorang pun memiliki otoritas membawakan pendapat atas
al-Quran atau menganggap pendapatnya berasal darinya. Al-Quran bukanlah jamuan
yang diperuntukkan bagi setiap orang. Ia merupakan pemberian khusus yang
diperuntukkan bagi insan yang haus dan lapar akan mekrifat al-Quran. Merekalah
yang dapat memperoleh makrifat tersebut. Semua pemahaman ini bersumber dari
banyak hadis, baik yang ada di kalangan Ahlusunnah maupun Syi’ah. Allah swt mengajak kita untuk membaca al-Quran pada bulan
yang mulian ii. Para ahli makrifat berkata: “Sesungguhnya walaupun puasa terasa
berat dan melelahkan bagi mereka yang melakukannya, namun dengan mendengarkan
ayat-ayat al-Quran, beban tersebut akan hilang.” Allah swt berfirman: “Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa.” (QS. Al-Baqarah (2):
183) Perhitungan awal perjalanan manusia menuju Allah dimulai
pada bulan Ramadhan. Musim gugur merupakan awal untuk bercocok tanam, karena
penghasilan tahunan dimulai dari musim gugur. Dan bulan Ramadhan merupakan
titik awal dihitungnya perjalanan manusia menuju Allah swt. Dan pada bulan
Ramadhan berikutnya, sang salik memulai penghitungan tingkatan yang telah
ditempuhnya. Dalam khutbahnya pada Jumat terakhir bulan Sya’ban,
Rasulullah saw bersabda: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya jiwa kalian
tergadaikan dengan amal kalian, maka bebaskanlah (jiwa kalian) dengan
ber-istighfar.”[2] Wahai manusia, kalian bukanlah orang-orang yang merdeka.
Sesungguhnya kalian terpenjara, hanya saja kalian tidak menyadarinya. Dosa-dosa
yang kalian perbuatlah yang memenjarakan kalian. Karenanya, demi kebebasan
jiwa-jiwa kalian, segera ber-istighfar kepada Allah swt pada bulan mulia ini.
Manusia yang berdosa adalah manusia yang berhutang. Oleh karena wajib bagi
orang yang berhutang untuk membayarnya. Bukan dengan tanah atau rumah. Namun
hutang itu harus dibayar dengan jiwa. Seseorang yang diperbudak oleh dirinya
hanya akan melakukan sesuatu berdasarkan kesukaan dan keinginannya. Ia
senantiasa membanggakan apa yang dilakukannya. Orang semacam ini telah
terpenjara oleh diri, hawa nafsu dan keinginan-keinginannya sendiri. Dalam Islam, tidak terdapat keagungan dan kemuliaan yang
melebihi kebebasan. Banyak sekali hadis dari para imam suci yang mengajarkan
kepada manusia tentang arti kebebasan. Dan yang terpenting dari ajaran
tersebut, bukan bebasnya manusia dari musuh-musuh yang datang dari luar. Tetapi
bebasnya mereka dari belenggu syahwat dan kecenderungan yang ada dalam dirinya. Jika ingin mengetahui apakah kita memang orang yang
merdeka atau justru seorang tawanan, kita harus melihat kepada amal perbuatan
kita. Jika amal perbuatan tersebut didorong oleh keinginan kita, maka kita
adalah tawanan dan budak hawa nafsu serta keinginan. Adapun jika amal perbuatan
tersebut sesuai dengan keinginan Allah swt, maka kita adalah orang yang
merdeka. Disebut merdeka karena tidak berfikir selain kepada Allah swt. Imam
Ali as berkata: “Ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun yang merdeka meninggalkan
sisa makanan untuk keluarganya.”[3] Adakah orang yang merdeka meninggalkan perhiasan-perhiasan
dunia berupa kedudukan, tempat tinggal dan kekayaan? Semua perhiasan dunia
ibarat sisa makanan di sela-sela gigi yang ditinggalkan orang-orang terdahulu
untuk kita. Orang yang merdeka mampu menutup mata dari kedudukan dan kekayaan
seperti ini. Al-Quran berkata: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang
telah diperbuatnya.” (QS. Al-Muddatstsir: 38) “Tiap-tiap diri manusia terikat
dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. Ath-Thur: 21 “Adapun orang-orang merdeka
sangatlah sedikit, kecuali golongan kanan.” (QS. Al-Muddatstsir: 39) Golongan kanan adalah orang-orang yang selalu hidup bersama
keberuntungan dan keberkahan. Mereka tidak berharap apapun kecuali barakah.
Mereka tidak melakukan suatu pekerjaan kecuali terdapat keberkahan di dalamnya.
Ini merupakan kenikamatan utama yang diinginkan Allah swt untuk kita lakukan.
Bulan ini adalah bulan kebebasan. Karenanya, dalam setiap harinya kita harus
memutus rantai belenggu yang tercipta dari perbuatan kita sendiri, sampai
akhirnya kita terbebaskan. Cara paling utama untuk terbebas dari rantai
belenggu tersebut adalah dengan mengenali asrar (rahasia-rahasia) ibadah. Dalam setiap bentuk ibadah terdapat nilai lahir dan batin.
Kita dihimbau untuk mengetahui dan memahami semua rahasia yang ada di baliknya,
untuk kemudian mengamalkannya. Shalat, puasa, dan wudhu, semuanya merupakan
taklif (keharusan) dan bagian dari hukum-hukum Ilahi. Manusia dituntut untuk
mengetahui seluruh rahasia dari hukum-hukum tersebut. Tujuannya tak lain untuk
membantu mereka dalam meraih kebebasan.[4] Bulan puasa merupakan salah satu faktor penyebab yang bisa
menyingkap rahasia-rahasia alam ghaib. Bulan Ramadhan harus dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya. Kita harus menjaga ucapan-ucapan dan perilaku kita. Selain itu
kita juga tidak boleh memakan makanan melebihi kebutuhan diri kita. Sebab,
perut yang kekenyangan tidak akan menghantarkan manusia ke tingkatan apapun.
Hal paling buruk yang menyebabkan seseorang tidak mampu memahami sesuatu adalah
kebanyakan makan. Banyak sekali hadis yang menganjurkan kita untuk mengurangi
makan. ”Tidak ada bejana yang dipenuhi oleh bani Adam lebih jelek dari pada
perut.”[5] Tidak ada yang lebih jelek dari pada memenuhi perut dengan
makanan. Seseorang yang memenuhi tasnya dengan kebutuhan dapat menyebabkan
tasnya rusak. Adapun jika seseorang yang memenuhi perutnya, maka pemahamannya
akan menjadi lambat. Perut seseorang yang dipenuhi makanan tidak akan mampu
memahami apapun. Jika memikirkan tidur, ia tidak akan mungkin mengetahui
rahasia-rahasia dan aspek batin dunia di balik alam tabiat. Banyak orang yang berumur panjang dikarenakan kedisiplinan
dalam menjaga mekanan mereka. Memakan makanan sampai melebihi kebutuhan manusia
akan menjadi beban tambahan yang meletihkan jantung dan perut dalam proses
pencernaan. Organ usus akan dipaksa untuk menambah kerjanya dalam proses
pembakaran dan asimilasi. Biasanya orang yang banyak makan tidak akan
berumur panjang.[6] Jika seseorang telah melintasi semua itu, ia akan mengetahui
bahwa keberadaan dunia ini tak lebih dari seonggok mayat. Ia akan mengetahui
kenyataan itu sebelum kematiannya. Orang-orang yang sudah mati tahu bahwa sosok
dunia adalah sosok mayat dan kita juga akan mati. Imam Ali as berkata: “Akhir
bagi manusia adalah kematian.” “Dia menjadi bangkai di antara keluarganya dan mereka pasrah
di hadapan amal perbuatannya.”[7] Seluruh
keluarga dari orang yang telah mati akan bersegera menguburkannya sehingga
mayatnya tidak sampai mengeluarkan bau yang menyengat. Sedikit saja terlambat,
mereka akan merasa cemas. Sungguh merugi apabila seseorang menemui ajalnya sementara
ia tidak mengetahui bahwa keberadaan dunia tidak lebih dari seonggok mayat.
Imam Ali as berkata: “Barangsiapa yang mati di antara kita bukanlah mayat dan
barangsiapa yang diuji di antara kita bukanlah ujian.”[8] Pada setiap saat, banyak orang yang menemui kematian. Namun,
kita akan tetap hidup ketika mati. Mengapa orang mengalami kematian? Mungkinkah
orang hidup terus-menerus tanpa menemui kematian? Imam Ali as berkata: “Kehidupan dan kematian kita sama.”
Kehidupan kita adalah cahaya, begitu pula dengan kematian kita. Kita bisa
mengetahui bahwa dunia adalah mayat. Kita tidak akan menjual kehidupan dengan
kematian sehingga kita akan tetap hidup selamanya. Disadur dari Rahasia-rahasia Ibadah: Ayatullah Jawadi Amuli ?
|