Pluralisme dalam Timbangan al-QuranDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Otong Sulaeman
Namun demikian, tidak berarti bahwa Islam melarang umatnya
untuk bersikap toleran terhadap umat beragama lain. Dalam kehidupan sosial,
justru ajaran Islam mengharuskan umatnya untuk bersikap lemah lembut, penuh
kasih sayang, adil, dan tidak zalim kepada sesama umat manusia, apapun agama,
ras, dan bangsanya. Toleransi tidak bisa diartikan menerima semua agama dan
menganggap semuanya benar. Seorang muslim yang baik adalah bersifat eksklusif
terhadap agamanya sendiri, namun di saat yang sama dia pun toleran terhadap
pemeluk agama lain. Ada dua tema besar yang biasanya dikemukakan kaum pluralis
berkaitan dengan agama. Pertama, menyangkut pluralisme penafsiran agama dan
kedua, berkenaan dengan pluralisme dalam memeluk agama. Dalam tulisan berikut
ini, akan kita bahas prinsip-prinsip Al-Quran berkenaan dengan diskursus
pluralisme pada tema kedua. Jadi, kalau kita temukan kata-kata pluralisme dalam
makalah ini, yang dimaksud adalah pluralisme dalam beragama (artinya,
pluralisme diantara agama-agama yang berbeda). Uraian berikut ini akan menjawab
pertanyaan: apakah Al-Quran mendukung konsep pluralisme dalam beragama ataukah
malah menentangnya? Ada satu hal yang menarik dari pembahasan pluralisme agama
ini ketika dikaitkan dengan Al-Quran. Sebagian kalangan menggunakan ayat-ayat
Al-Quran untuk menyerang konsep pluralisme. Tetapi, para pendukung
pluralismepun menggunakan beberapa ayat Al-Quran untuk dijadikan sebagai
argumentasi. Sepintas memang akan kita temukan adanya beberapa ayat Al-Quran
yang (kelihatannya) mendukung konsep pluralisme ini, yaitu: 1. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, para pengikut
agama Yahudi, orang-orang Nasrani, Dan kaum shabi’in adalah mereka yang beriman
kepada Allah dan kepada hari kemudian, serta melakukan amal kebajikan, bagi
mereka pahala disisi Tuhan mereka. Mereka tidak memiliki rasa Takut ataupun
bersedih.” (Al-Baqarah: 62) 2. “Sesungguhnya bagi orang-orang yang beriman, Yahudi,
Nasrani, Shabi’in, Majusi, dan orang-orang musyrik, akan Allah buatkan
keputusan di antara mereka kelak di hari kiamat. Sesungguhnya Allah maha
Menyaksikan atas segala sesuatu.” (Al-Haj: 17) Bagi orang-orang pluralis, ayat pertama tadi adalah sebuah
pernyataan dari Allah bahwa tidak ada perbedaan signifikan di antara para
pengikut agama. Mereka semua, bahkan kaum Shabi’in (para penyembah bintang),
asalkan beriman serta melakukan amal kebajikan, akan mendapatkan pahala disisi
Allah. Kelak, mereka semua akan masuk surga. Artinya, mendapatkan keselamatan
di akhirat bukanlah monopoli orang Islam. Karena itu, ayat ini jelas-jelas
sebuah dukungan Qurani bagi paham pluralis yang menyatakan bahwa semua agama
itu benar. Pernyataan Allah yang hampir sama terdapat juga pada ayat 69 surat
Al-Maidah. Ayat kedua bagi kaum pluralis adalah satu batasan normatif
yang diberikan oleh Allah kepada kita untuk tidak boleh mengklaim diri kita
sebagai kelompok yang telah sampai kepada kebenaran. Kita tidak mungkin bisa
mengetahui hakikat kebenaran itu. Tunggulah nanti di akhirat. Pada saat itulah
Allah, Sang Hakim sekaligus Saksi Agung, yang akan memutuskan siapa yang benar
dan siapa yang salah. Namun, para penentang konsep pluralis pun ternyata
menampilkan ayat-ayat Al-Quran sebagai bukti bantahan Qur’ani atas paham
pluralisme. Sebagian diantaranya adalah ayat-ayat berikut ini. 1. “Mereka berkata: ‘tidak akan masuk surga kecuali orang
Yahudi atau Nasrani.’ Itulah khayalan mereka. Katakanlah kepada mereka:
‘Tunjukkan argumentasi kalian jika kalian memang benar.” ( Al-Baqarah: 111 ) 2. ”Mereka berkata: ‘jadilah kalian pengikut agama Yahudi
atau Nasrani, Pasti kalian akan mendapat petunjuk’. Katakanlah: ‘Tidak, agama
Ibrahimlah yang benar. Ia bukan orang yang mempersekutukan Tuhan’.”
(Al-Baqarah: 135) 3. “Hai Ahli Kitab, mengapa kalian ingkari ayat-ayat Allah
padahal kalian Inilah tiga ayat yang secara jelas menunjukkan bahwa
orang-orang Yahudi atau Nasrani (Ahli Kitab) itu adalah kelompok orang yang
sesat. Ayat pertama menyebutkan bahwa mereka mengklaim diri sebagai
(satu-satunya) kelompok yang akan masuk surga, yang lain tidak. Al-Quran
mengatakan bahwa klaim itu tidak lebih sebuah ilusi. Mereka sebenarnya tidak
punya argumentasi kuat yang bisa menopang klaim-klaim mereka itu. Pada ayat
kedua, kembali kita dapati klaim mereka bahwa jika kita menjadi pengikut agama
Yahudi atau Nasrani, kita pasti akan memperoleh petunjuk kebenaran. Al-Quran
kembali membantah dengan mengatakan bahwa klaim itu salah. Yang benar adalah
agama tauhid yang tidak mempersekutukan Tuhan sebagaimana yang di ajarkan oleh
Ibrahim a.s. Pada ayat ketiga, Al-Quran mengatakan bahwa Ahli Kitab (yaitu
Yahudi dan Nasrani) adalah mereka yang mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan
atau malah telah menyembunyikan kebenaran yang sesungguhnya sudah mereka
ketahui. Ayat ini menunjukkan secara jelas kecaman Allah kepada para Ahli
Kitab. Selain ayat-ayat tadi, ada beberapa statemen Allah yang
menunjukkan bahwa agama yang benar hanyalah Islam, yaitu: 1. Kritikan Allah kepada pengikut-pengikut agama sebelum
datangnya Islam atas reaksi mereka terhadap kenabian Rasulullah saw seraya
mengajak mereka untuk mengikuti Islam (lihat Al-Maidah :19). 2. Pernyataan bahwa Muhammad saw adalah nabi terakhir dan
Islam adalah syariat sempurna ( lihat Al-Ahzab: 40, Al-Maidah: 3). 3. Penegasan bahwa setelah datangnya Rasulullah dengan
syariatnya, agama-agama lain menjadi tidak ada artinya (Ali-Imran: 85). Analisis Komparatif
Beberapa ayat telah kita kemukakan. Sepintas lalu, kelompok
ayat yang mendukung konsep pluralisme itu sepertinya bertentangan dengan
kelompok ayat kedua, yang menentangnya. Ayat-ayat Al-Quran itu sepertinya
bertentangan satu sama lain. Disini kita di hadapkan kepada dua pilihan.
Sebelum memutuskan ayat-ayat manakah yang harus kita jadikan pegangan, ada dua
proposisi yang harus kita pegang. Pertama, tidak mungkin ayat-ayat Al-Quran itu bertentangan
satu dengan yang lainnya. Proposisi ini sudah menjadi kesepakatan seluruh
ulama. Pengingkaran atasnya bisa menimbulkan konsekuensi teologis yang cukup
serius. Sebagai argumentasi, cukuplah di sini kita kemukakan satu ayat
Al-Quran: “Tiadakah mereka memperhatikan (isi) Al-Quran? Sekiranya (Al-Quran)
berasal dari yang selain Allah, tentulah didalamnya mereka temukan banyak hal
yang bertentangan.” (An-Nisa’ : 82 ). Proposisi kedua, jika ada beberapa ayat Al-Quran yang
“terlihat saling bertentangan” (sebenarnya tidak bertentangan), bisa di
pastikan kondisinya tidak akan lepas dari hal-hal berikut ini: 1. Salah satunya muhkamat (jelas maknanya) dan yang lainnya
mutasyabihat (maknanya samar-samar dan kemungkinan untuk memiliki banyak
pemahaman). Dalam kondisi seperti ini, yang harus di pegang adalah ayat-ayat
muhkamat. 2. Salah satunya bermakna umum, yang lainnya bermakna
khusus. Dalam kondisi seperti ini, kita dahulukan ayat yang memiliki pemahaman
khusus. 3. Salah satunya nasikh (menghapus) dan yang lainnya mansukh
(sudah dihapus). Kita pilih ayat nasikh. Ayat-ayat seprti ini biasanya berupa
ayat ahkam (berkaitan dengan hukum-hukum Islam). Dengan berpegang kepada dua proposisi ini, sekarang kita
bisa melakukan perbandingan di antara ayat-ayat Al-Quran yang berkenaan dengan
pluralisme di atas. Ayat-ayat tersebut jelas bukan termasuk kategori ayat-ayat
ahkam sehingga dimungkinkan untuk dimasukkan kedalam kelompok ayat
nasikh-mansukh. Ayat-ayat itu juga tidak menunjukkan adanya makna-makna umum
atau khusus. Yang paling memungkinkan adalah kondisi pertama: salah satu
kelompok ayat itu muhkamat, yang lainnya mutasyabihat. Berkaitan dengan Al-Baqarah: 62, terjadi perbedaan pendapat
di antara para ahli tafsir (mufassir). Ayat yang seperti ini harus kita anggap
sebagai ayat mutasyabihat. Dalam tradisi ilmu tafsir, ayat mutasyabihat harus
ditafsirkan dengan ayat muhkamat. Kalau kita melakukan penelaahan secara
mendalam, ayat-ayat Al-Quran seperti Al-Baqarah: 137 dan Ali-Imran: 19-22 (yang
memiliki makna muhkamat, artinya, para mufassir sepakat mengenai maknanya) bisa
kita jadikan sebagai argumen bahwa ayat-ayat di awal tadi memiliki makna yang
tidak mendukung konsep pluralisme. Bagaimanapun juga, ketiga ayat tadi (Al-Baqarah: 62, Al-Haj:
17, dan Al-Maidah: 69) tidak bisa di artikan bahwa seluruh agama pada zaman
ini, baik itu Islam, Yahudi, Masehi, ataupun Shabi’in adalah jalan-jalan yang
benar menuju Al-Haq dan semuanya akan masuk surga. Penafsiran yang lebih
tepatnya adalah bahwa orang Islam, Yahudi, Masehi, dan Shabi’in adalah mereka
yang seharunya beriman kepada Allah dan hari akhir serta melakukan kebajikan.
Dalam hal perolehan pahala atau siksa, penamaan Islam, Yahudi, atau Masehi sama
sekali tidak bermakna. Yang penting adalah iman, amal saleh, dan ketundukan
mutlak dihadapan perintah Allah. Oleh karenanya, orang-orang Islam memiliki kewajiban beriman
kepada kenabian Muhammad saw, orang-orang Yahudi zaman dahulu harus menerima
risalah Ilahiah yang dibawa oleh nabi Musa a.s., serta orang-orang Kristen pada
zamannya harus mengimani risalah Al-Masih a.s. tidak cukup itu, mereka tetap
tidak akan masuk surga kecuali jika keimanan mereka itu disertai dengan amal
kebajikan. Keimanan, apalagi jika sekedar klaim nama, tidaklah cukup sebagai
jaminan keselamatan akhirat. Sebagian riwayat secara tegas menunjukkan bahwa yang
dimaksud dengan orang-orang Yahudi dan Masehi pada ayat-ayat tadi bukanlah
Yahudi dan Masehi pada setiap zaman, melainkan pada zamannya masing-masing
(lihat tafsir mizan karya ‘Allamah Thabathaba’i, jilid I hlm. 193; kitab Kasyf
Al-Asrar wa Iddah Al-Abrar karya Abu Al-Fadhl Rasyiduddin, jilid I hlm.215;
majma’ Al-Bayan karya Thabrasi, jilid I ). Dalam surat Al-Haj: 17, Allah menggunakan kalimat “innallaha
yafshilu bainahum yaumal qiyamah”. Menurut ‘Allamah Thabrasi (lihat majma’
Al-Bayan jilid 7), makna kata fashl pada ayat tersebut adalah pemisahan atau
pembedaan antara haq (kebenaran) dan batil. Dalam surat As-Sajadah: 25, kata
fashl kembali digunakan, “Sesungguhnya Tuhanmu yang akan memutuskan di antara
mereka ( yafshilu bainahum) pada hari kiamat dalam hal-hal yang mereka pernah
berbeda pendapat.” Ayat ini mendukung makna yang diberikan oleh Thabrasi di
atas berkaitan dengan kata fashl. Karena itu, bisa ditarik makna bahwa Allah
SWT pada hari kiamat akan menjadi hakim di antara orang-orang mukmin dan yang
selainnya berkenaan dengan masalah-masalah perbedaan yang ada di antara mereka.
Dan pada saat itu Allah akan memisahkan kebenaran dari kebatilan. Analisis lebih lanjut lagi berkenaan dengan ayat ini adalah,
jika sudah pasti Allah akan memisahkan mana yang haq dan mana yang batil di
antara umat beragama, maka sudah selayaknya kita berhati-hati agar jangan
sampai di hari kiamat kelak kita digolongkan Allah kedalam kaum yang batil.
Untuk itu, adalah sebuah keniscayaan bagi kita untuk melakukan pilihan di
antara agama-agama yang banyak ini. Sementara itu, surat Al-Maidah: 69 dan rentetan ayat
sebelumnya dan sesudahnya malah menunjukkan kepada eksklusivisme Islam. Maka
bagaimana mungkin ayat ini digunakan oleh kaum pluralis untuk mendukung
pahamnya? Namun demikian, dari sini bisa timbul kritikan atas eksklusivisme
Islam ini. Dalam konteks sosio-kultural kita, keeksklusivan adalah suatu hal
yang dianggap negatif dan harus dihilangkan. Untuk menjawabnya, perlu kita
tegaskan dulu, bahwa eksklusivisme Islam bukanlah berarti sama dengan anti
toleransi. Eksklusivisme Islam berarti bahwa setelah datangnya kenabian
muhammad saw, siapapun yang mengetahui (telah sampai kepadanya) risalah Rasul
tersebut dan dia tidak memiliki kekurangan potensi (tidak gila, tidak bodoh)
untuk bisa memahami risalah ini, serta risalah itu sampai dengan benar, utuh,
dan tidak mengalami distorsi, maka wajib baginya untuk memeluk agama Islam.
Jika hal itu tidak dilakukannya, maka dia akan berdosa. “Dan telah diwahyukan
kepadaku Al-Quran ini untuk memberikan peringatan kepadamu dan kepada siapapun
yang tercapai olehnya (siapapun yang mendengar Al-Quran). (Al-An’am: 19). Selanjutnya, ketika kita sudah meyakini bahwa Islam adalah
agama yang benar dan satu-satunya jalan menuju Tuhan, maka pada saat itu, kita
dituntut untuk bersikap eksklusif. Kita tidak boleh lagi mencampuradukkan
keyakinan dan ajaran Islam dengan ajaran-ajaran lainnya. Kita harus istiqamah
berjalan dijalan yang telah ditunjukkan nabi Muhammad saw. Juga, kita tidak
boleh lagi (dan memang bertentangan dengan logika) mengatakan bahwa semua agama
adalah benar. Namun demikian, tidak berarti bahwa Islam melarang umatnya
untuk bersikap toleran terhadap umat beragama lain. Dalam kehidupan sosial,
justru ajaran Islam mengharuskan umatnya untuk bersikap lemah lembut, penuh
kasih sayang, adil, dan tidak zalim kepada sesama umat manusia, apapun agama,
ras, dan bangsanya. Toleransi tidak bisa diartikan menerima semua agama dan
menganggap semuanya benar. Seorang muslim yang baik adalah bersifat eksklusif
terhadap agamanya sendiri, namun di saat yang sama dia pun toleran terhadap
pemeluk agama lain. Singkat kata, dalam Islam tidak dikenal pluralisme agama,
yang ada hanyalah toleransi dalam hubungan sosial di antara sesama umat
manusia.[] Sumber: Islamalternatif |