Melacak Akar dan Manifesto LiberalismeFenomena Liberalisme merupakan fenomena yang menarik untuk
dikaji, ditelaah, diriset dan kemudian dikritisi. Dalam tulisan ringan ini,
kita akan membahas secara global tentang akar sejarah kemunculan Liberalisme
dan pada kesempatan berikutnya melontarkan telaah kritis atas fenomena
liberalisme dalam dan luar negeri. Liberalisme merupakan salah satu school of thought yang
paling berpengaruh dalam filsafat Barat. Dalam tiga domain, filsafat, ekonomi
dan politik kaum liberal menyodorkan pandangan-pandangannya. Dalam ranah
politik, Liberalisme menghembuskan nafas kebebasan pribadi dan sosial. Demikian
juga pada wilayah ekonomi, pengurangan peran dan kekuasaan pemerintah. Dari
sudut pandang pemikiran meyakini bahwa apabila urusan dunia diserahkan kepada
proses naturalnya maka seluruh persoalan manusia akan terselesaikan. Pesan
utama yang diusung para proponen Liberalisme adalah kebebasan dan pembebasan.
Bebas dari segala yang mengikat sehingga segala keinginannya terpenuhi.
Membebaskan manusia dari segala tekanan, ancaman dan hambatan yang
menghalanginya memenuhi segala keinginannya. Sebelum melangkah jauh, ada baiknya pertama-tama kita
meninjau liberalisme ini dari sudut pandang terminologi secara leksikal dan
teknikal. Apa itu Liberalisme?
Liberalisme derivatnya dari kata liberal yang bermakna bebas
dari batasan, bebas berpikir, leluasa dan sebagainya. Kata ini aslinya
mulai dikenali pada abad ke-14 melalui Prancis, Latinnya adalah Liberalis.[1] Dan suffix isme yang melekat setelah
kata liberal menunjukkan bahwa “kebebasan berpikir” ini merupakan jenis
kecendrungan yang kemudian belakang hari membentuk sebuah maktab. Dari sudut
pandang etimologi, liberal dapat dilekatkan pada seseorang yang dalam
pandangan-pandangan atau perilaku beragam yang diperbuatnya ia bersikap toleran
dan ewuh-pakewuh.[2] Dengan kata lain, ia tidak bersikap
puritan dan fanatik terhadap pandangannya sendiri. Keyakinan terhadap kebebasan
pribadi. Pendapat dan sikap politik yang menghendaki terjaganya tingkat
kebebasan di hadapan hegemoni pemerintah atau setiap institusi lainnya yang
mengancam kebebasan manusia. (Burdeau, Georges, Le Liberalisme, hal. 16) Isaiah Berlin dalam mendefinisikan liberalism berkata: “Aku
memandang liberalisme (kebebasan) itu tiadanya pelbagai penghalang dalam
mewujudkan selaksa harapan manusia.” (Berlin, Char Maqaleh darbare Azadi;
terjemahan Dr. Muh. Ali Muwahhid, hal. 46) Sebagaimana dari beberapa definisi yang diutarakan di atas
jelas bahwa liberalism juga seperti terma-terma humaniora lainnya yang kurang
jelas definisinya. Dan karena liberalisme dalam tingkatan yang beragam, seperti
digunakan dalam bidang politik, ekonomi, agama, akhlak dan sebagainya. Usaha
untuk memasukkan seluruh sisi beragam pemahaman ini dalam sebuah definisi yang
ketat merupakan sebuah tindakan berani. Oleh karena itu apabila kita
mau-tak-mau ingin menunjukkan definisi liberalism maka kita harus
mendefinisikannya secara umum dan global. Sejatinya liberalisme secara esensi berdiri di atas kredo
bahwa manusia adalah bebas, namun kebebasan ini secara praktik dibandingkan
dengan kebalikannya akan menjadi jelas. Dari sini, makna liberalisme secara
sempurna dapat kita definisikan ketika dibandingkan dengan lawan katanya;
seperti dictator, pemerintahan absolut, nasionalisme, Sejatinya seluruh jenis liberalism memiliki sisi-sisi common
yaitu liberalisme digunakan dalam menolak pressing kekuatan luar dengan segala
bentuknya dan tujuan dari penolakan ini adalah melontarkan kebebasan pribadi. Secara global kita telah mengetahui dari apa yang dimaksud
dengan liberalisme; akan tetapi untuk sampai pada kesimpulan yang jelas dan
transparan, sebelumnya mari kita menengok beberapa penggunaan istilah kebebasan
yang ekuivalen dengan terma liberal dan selayang pandang sejarah kemunculan
liberalisme. Penggunaan beberapa Istilah Kebebasan
Penggunaan kata kebebasan merupakan kata umum yang digunakan
untuk berbagai tujuan dan keperluan. Ekuivalen kata kebebasan dalam bahasa Arab
adalah kalimat “hurriya” dan “ikhtiyar”. Sebagaimana padanan katanya dalam
bahasa Inggris adalah “freedom” dan “liberty.” Mari kita lihat penggunaan redaksi-redaksi di atas dalam
al-Qur’an, terminologi teolog dan juris. Kalimat “hurriyah” (ism) digunakan pada urusan-urusan
berikut ini: 1. Membebaskan (tahrir) budak atau kanis, “Wa man
qatala mu’minan khatha’an fatahriru raqabatin mu’minatin.” (QS. An-Nisa’ (4): 92) 2. Terbebas dari ikatan dan sekat duniawi serta
mensucikan diri untuk berkhidmat di jalan Allah. Ayat “Nadhartu laka maa fii
batni muharraran,” (QS. Ali ‘Imran (3): 35) adalah tergolong dari makna bebas
ini. Kalimat ikhtiyar (ism) derivatnya dari kata “khair” dan
bermakna memilih, pilihan dan baiknya yang dipilih memiliki hubungan niscaya,
artinya orang yang memilih memandangnya sebagai sesuatu yang baik dan ideal.
Dalam terminologi teolog, ikhtiar bermakna kekuasaan melakukan atau
meninggalkan sesuatu. Dengan demikian ikhtiar digunakan dalam dua hal: 1. Kekuasaan untuk memilih mengerjakan atau
meninggalkan yang posisinya lebih dahulu daripada meninggalkan atau mengerjakan
(sifat dzati). 2. Memilih melakukan perbuatan atau meninggalkan (sifat
perbuatan). Dalam terminologi para juris terdapat kalimat “khiyar” yang
digunakan sebagai hak untuk membatalkan transaksi. Khiyar ini memiliki hukum
dan bagian-bagian tertentu. Dari seluruh perkara yang telah disebutkan
menandaskan tiadanya keterpaksaan yang menjadi titik-konvergen antara dua
peristilahan ini. Dan titik-seberangnya dua peristilahan ini adalah
keterpaksaan dan keharusan. Dari Encarta Dictionary Tools, penggunaan kata “freedom” dan
“liberty” dapat kita lihat sebagai berikut: Kalimat freedom (nomina) biasanya digunakan pada
urusan-urusan berikut ini: 1. Kemampuan untuk bertindak secara bebas. Sebuah
kondisi yang membuat seseorang mampu untuk bertindak dan hidup berdasarkan
pilihannya sendiri, tanpa tunduk kepada segala jenis pembatasan atau
pengekangan, misalnya hidup dalam kebebasan dan kebebasan beragama.[3] 2. Bebas dari tawanan penjara atau perbudakan. Bebas atau
terselamatkan dari pembatasan secara fisik atau dari tawanan, perbudakan,
penjara.[4] 3. Hak untuk berekspresi atau bertindak secara bebas
tanpa adanya pembatasan, campur tangan atau ketakutan. Misalnya Berikan mereka
kebebasan (freedom) untuk masuk tanpa passport.[5] 4. Hak suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri
tanpa ada campur tangan, atau dominasi dari bangsa lain[6] (country’s right to self-rule). 5. Kondisi batin yang tidak terpengaruh atau tunduk
pada sesuatu yang tidak menyenangkan, bebas dari rasa takut.[7] 6. Keterbukaan (frankness) dalam obrolan atau perilaku.[8] 7. Freewill (philosophy free will): Kemampuan untuk
menggunakan kebebasan dan membuat pilihan secara bebas. [9] Demikian juga kata liberty (nomina), yang memang merupakan
derivat liberal dari Latin, libertes, biasanya digunakan pada hal-hal
berikut ini: 1. Bebas untuk memilih, kebebasan untuk berpikir atau
beraksi tanpa pemaksaan:[10] 2. Sinonim dengan Freedom, bebas dari tawanan atau
perbudakan.[11] 3. Hak dasar: Hak politik, sosial dan ekonomi yang
dimiliki oleh warga suatu bangsa atau seluruh orang.[12] (biasanya digunakan dalam bentuk
plural). Kalau kita memperhatikan penggunaan kata kebebasan,
hurriyah, ikhtiyar, freedom dan liberty lawan katanya adalah keterbatasan dan
keterpaksaan. Di tanah air, kita melihat seruan para proponen Liberalisme di
tanah air dapat didengar dari dua jaringan. Dari Freedom Institute dan JIL yang
keduanya menjadikan liberalisme sebagai kiblat gerakannya. Yang pertama
mengusung tema liberalisme politik dan ekonomi. Yang kedua dalam bidang
pemikiran. Meski keduanya berbeda nama, tapi terlihat dari jajaran pengurusnya,
kita melihat orang-orang yang sama. Artinya penggunaan freedom dan liberal pada
tataran operasional kegiatan juga tidak jauh berbeda. Selayang Pandang Sejarah Liberalisme
Kendati kebebasan muncul semenjak munculnya
manusia di muka bumi dan dapat dikatakan bahwa manusia semenjak awal
penciptaannya, senantiasa mencari kebebasan, namun terdapat gap yang menganga
antara kebebasan ini dan definisi-definisi yang disampaikan di atas. Benar
bahwa Socrates dapat digolongkan sebagai liberal terunggul pada masanya dan
Peter Ablar sebagai liberal pada abad pertengahan, dan bahkan Husein bin Ali
merupakan salah seorang pelopor kebebasan manusia yang tidak mau tunduk di
hadapan penguasa tiran dan despot. Akan tetapi kebebasan yang dimaksud di sini
berbeda dengan kebebasan yang didefinisikan di atas; karena “Liberalisme”
sesuai dengan terma teknisnya merupakan pemahaman yang lahir pada kurun
terakhir dan setelah era Renaissance. Kalau mau ditelusuri latar belakang
sejarah kemunculan pahaman ini dapat dikatakan bahwa Liberalisme menjejakkan
kakinya di pelataran pemikiran dan kredo manusia pada abad 17/18 M. Menurut satu pendapat bahwa pemikiran atau
ideologi Liberalisme selalunya dirujuk kepada Adam Smith, pemikir dan ekonom
Scotland, yang begitu dikenali melalui karyanya The Wealth of Nations.
Liberalisme dikenali sebagai satu ideologi politik dan konsep pemikiran yang
menekankan kepada kebebasan individu, pembatasan kekuasaan kerajaan dan dari
segi ekonomi pula menyokong pasaran bebas dan persaingan bebas golongan pemodal
(capitalist). Oleh sebab itu, Liberalisme dan Kapitalisme
kadang-kadang dilihat sebagai ideologi yang sinonim disebabkan adanya perkaitan
yang kuat dan saling sokong menyokong antara satu sama lain. Dari sudut
sejarah, kemunculan Liberalisme ini ada hubungannya dengan keruntuhan
Feudalisme di Eropa bermula semasa zaman Renaissance (The Age of Enlightenment)
diikuti dengan gerakan politik semasa era Revolusi Perancis. Liberalisme yang dikaitkan dengan Adam Smith
ini selalunya dikenali sebagai Liberalisme Klasik. Dalam konteks peranan
kerajaan Liberalisme Klasik ini menekankan konsep Laissez-Faire yang bermaksud
kerajaan (pemerintah) yang bersifat lepas tangan. Konsep ini menekankan bahwa
kerajaan harus memberi kebebasan berpikir kepada rakyat, tidak menghalang
pemilikan harta indidvidu atau kumpulan, kuasa kerajaan yang terbatas dan
kebebasan rakyat. Dapat dikatakan bahwa seruan kebebasan ini diteriakkan
setelah abad pertengahan dari lingkaran Reformasi Gereja dan Renaissance dan
kemajuan ilmu pengetahuan pada abad 16 dan 17 menjadikan orang-orang lantaran
tekanan dan kejumudan para pembesar Gereja ingin membebaskan diri mereka dari
segala ikatan dan rantai baik agama, sosial dan pemerintahan. Disebut liberal,
yang secara literal berarti, “bebas dari batasan” (free from restrain), menurut
Adam Smith, karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari
pengawasan gereja dan raja. Namun ada juga yang berpendapat bahwa bahwa
John Lockelah yang pertama kali menyemai benih pemikiran Liberalisme. Demikian
Mikael Grandeu menulis. Kalau dikatakan bahwa liberalisme muncul karena
pembelaan terhadap invididualisme dan menentang Markisme maka dengan karakter
inilah John Locke dapat dikatakan sebagai pendiri Liberalisme. (Le Liberalisme) Faktor-faktor Kemunculan Liberalisme
Hume berkata bahwa Liberalisme muncul untuk menjawab
tantangan zaman. Kemunculan Liberalisme merupakan keniscayaan
sejarah.(Garandeu, Le Liberalisme) Sebagian orang berkata bahwa terdapat dua factor utama dalam
kemunculan Liberalisme dan factor-faktor lain merupakan ikutan dari dua faktor
utama ini. Pemerintah Tiran
Pemerintahan yang terlalu fokus pada dirinya sendiri di
Eropa yang memandang dirinya sebagai pemilik jiwa, harta dan kehormatan
masyarakat dan seenaknya mengambil keputusan tentang nasib dan masa depan
mereka. Sebagai contoh jenis pemerintahan Prancis pada masa Louis 15 dan 16
(abad 18) yang merupakan seorang raja dan aristokrat yang berdasarkan pada
tradisi keningratan, raja merupakan wakil Tuhan di muka bumi. Dan tidak seorang
pun dibolehkan berkata apa pun tentang sang raja. Louis 16 pada Oktober 1887 di
parlemen Paris berkata: “Raja tidak memiliki tanggung jawab apa pun kepada
seseorang kecuali kepada Tuhan.” (Jack Isaac, Inqilab Buzurgh Faranse, hal.
342) Raja dan keluarga raja secara terang-terangan melakukan
segala jenis pergaulan dan jenis korup harta dan moralitas. Dan rakyat harus
berdiam diri menutup mulut di hadapan segala perbuatan tak senonoh dan korup
yang mereka lakukan. Akar pemikiran Louis ini dapat dilacak hingga pada tiga abad
pertama Masehi, agama Kristen kala itu mengalami penindasan di bawah Imperium
Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan
memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan. Pada era awal ini
pengamalan agama Kristen sejalan dengan Injil Matius yang menyatakan,
”Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan berikanlah kepada
Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan.” (Matius, 22:21). Namun kondisi tersebut berubah pada tahun 313, ketika Kaisar
Konstantin (w. 337) mengeluarkan dekrit Edict of Milan untuk melindungi agama
Nasrani. Selanjutnya pada tahun 392 keluar Edict of Theodosius yang menjadikan
agama Nasrani sebagai agama negara (state-religion) bagi Imperium Romawi. Pada
tahun 476 Kerajaan Romawi Barat runtuh dan dimulailah Abad Pertengahan
(Medieval Ages) atau Abad Kegelapan (Dark Ages). Sejak itu Gereja Kristen mulai
menjadi institusi dominan. Dengan disusunnya sistem kepausan (papacy power)
oleh Gregory I (540-609 M), Paus pun dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan
dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan,
khususnya aspek politik, sosial, dan pemikiran. Perilaku Aparat Gereja
Gereja, alih-alih menjelaskan hakikat agama dan motivator
masyarakat untuk melawan tirani dan kezaliman, malah terjerembab dalam
kesalahan pahaman dan kekeliruan menjelaskan agama. Atas nama agama para
pembesar gereja menerapkan metode kekerasan terhadap agama masyarakat.
Berdasarkan keyakinan gereja abad pertengahan, system yang berlaku di muka bumi
merupakan system yang berlaku di langit. System ini merupakan system yang
dikehendaki oleh Tuhan dan tidak dapat dirubah. Setiap orang, semenjak raja
hingga jelata dan pengemis, harus menjalankan peran yang telah ditetapkan oleh
Tuhan. Sejatinya para pembesar gereja senantiasa menjadi penyokong system
social dan politik dan sekali-kali tidak dapat menerima adanya penyimpangan.
Berkebalikan dari masyarakat baru, tipologi asli abad pertengahan adalah
tiadanya kebebasan pribadi. Pada masa ini, setiap orang terpenjara dengan
perannya masing-masing dalam mekanisme social.” (Erich Fromm, Escape from
Freedom, hal. 60) Seterusnya kemunculan Liberalisme dalam artian yang
berkembang ketika itu dapat dilacak pada kelelahan Eropa dari segala tekanan
dan kerigidan penguasa. Diperparah oleh ketidakmampuan gereja memberikan
penjelasan rasional dan kontra fitrah sehingga membuat mereka merasa ingin
lepas dan bebas dari segala tekanan gereja. Mereka bangkit melawan segala
hegemoni kekuasaan, agama. Dengan demikian liberalisme dengan definisi pertama
yang disebutkan di atas berlawanan dengan keterbatasan atau penafian peran
raja, pemerinatah, negara dan aparat gereja. Baik pemerintah itu atas nama
pemerintahan Tuhan atau bayangan Tuhan , atau pada tataran pemikiran dan
keagamaan atau keunggulan spiritual dan material. Sejatinya tujuan utama pandangan dunia Liberalisme semenjak
kemunculannya, berperang melawan kekuasaan mutlak. Liberalisme pada awalnya
bangkit melawan pemerintahan absolute gereja di belahan dunia Barat dan
kemudian melawan pemerintahan absolut para raja. Di atas segalanya, faktor-faktor yang disebutkan di atas
saling berkaitan secara berkelindan dan menjadi penyebab munculnya gerakan
besar pemikiran dan Renaissance abad 17 di Amerika dan Eropa. Actor-aktor di
balik gerakan-gerakan pembebasan ini di Perancis, Montesquieu (1755), Voltaire
(1778), dan Rousseau (1778). Dan di Jerman Kant (1804), Goethe (1832). Dan di
Inggris, Hume (1776), Locke (1704), Adam Smith (1790) dan di Amerika Jefferson
(1826), dan Franklin (1790). Sejatinya konsep dan pemikiran asasi Liberalisme
bertitik-tolak dari gerakan Renaissance. Rukun Liberalisme
Ibarat rukun sebuah agama, liberalisme juga memilki
rukun-rukun sebagai berikut: 1. Yang utama adalah person (ashalat al-fard);
berkebalikan dengan kehakikan komunitas (ashalat al-Ijtima). Liberalisme
memiliki keyakinan mendalam dan nilai-nilai person, penekanan pada hak-hak
pribadi di hadapan hak-hak sosial. Dalam pandangan liberalisme, hak-hak pribadi
seseorang sekali-kali tidak dapat diabaikan atau dijadikan tumbal hak-hak
sosial. 2. Yang utama adalah kerelaan dan kesepakatan; Apabila
pemerintahan ingin memiliki legalitas, maka legalitas tersebut harus
berdasarkan kerelaan masyarakat dan berdasarkan kontrak sosial – seperti yang
dikemukakan Rousseau (1778). Berangkat dari masalah ini, sebaik-baik
pemerintahan adalah pemerintahan demokrasi. Lantaran dalam pemerintahan
demokrasi yang menjadi poros adalah kerelaan/keridhaan dan kontrak sosial. 3. Bebas dalam memiliki hak memilih; Asas dalam
mewujudkan kebebasan sejati berdasarkan maktab ini adalah bahwa setiap orang
memiliki kemampuan dan hak untuk memilih atau dua atau beberapa opsi. Dan ia
memiliki kebebasan penuh dalam memilih berdasarkan selera dan moodnya sendiri. 4. Bersyarat dan beraturan; Artinya kekuasaan penguasa
tidak boleh tidak terbatas tanpa syarat dan batasan, tetapi kekuasannya harus
terbatas dan harus berdasarkan syarat-syarat tertentu. Dengan kata lain,
kekuasaan, domain penguasa harus tercatat secara jelas dalam sebuah piagam
(charter). Atas alasan ini, pemerintahan penguasa harus terbatas dan jalan
untuk mewujudkan pemerintahan terbatas adalah pemisahan kekuaasan, eksekutif,
yudikatif dan legislative, sebuah konsep yang diintrodusir Montesquieu (1755)
untuk pertama kalinnya. 5. Kesamaan dalam memperoleh kesempatan dan fasilitas;
Liberalisme sebagaima yang telah ditengarai sebelumnya, memiliki hubungan erat
dengan sistem perekonomian kapitalis. Berangkat dari sini, pada domain ekonomi
seluruh individu memiliki kesempatan yang sama dalam mendapatkan kesempatan dan
fasilitas. 6. Keadilan sosial berdasarkan meritoktrasi; Ganjaran
setiap orang dalam memperoleh keuntungan ekonomi harus berdasarkan potensi dan
meritokrasinya. Berdasarkan pandangan Liberalisme, harus tercipta sebuah
kondisi pada sebuah komunitas sehingga berdasarkan potensi dan kecakapan
natural yang mereka miliki, mereka dapat memperoleh keuntungan dan maslahat
ekonomi yang ada. (’Ali Akbar, Sairi dar Andisyehai Siyasi Ma’ashir, hal. 17)
Pada hakikatnya, Liberalisme sekali-kali tidak akan menerima keadilan
sosial tanpa memandang kebebasan dan hak-hak individu. Oleh karena itu,
sebagian orang menggolongkan bahwa salah satu rukun prioritasnya kebebasan
invididu atas keadilan sosial; artinya kebebasan individu merupakan tujuan
utama dan persamaan sosial merupakan alat dan media untuk sampai pada kebebasan
individu. Dengan kata lain, dengan dalih menciptakan keadilan dan persamaan,
kebebasan-kebebasan dibatasi atau dieliminir. (Husain Basyiriyah, Darsha-ye
Demokrasi baraye Hame, hal. 22-23) 7. Toleran terhadap akidah dan pikiran orang lain;
Liberalisme meyakini kebebasan tanpa kait dan syarat dalam ranah
pemikiran-pemikiran politik, keyakinan-keyakinan agama dan pandangan-pandangan
sosial. Mereka meyakini bahwa hanya dengan bersikap bebas terhadap akidah
setiap orang yang dapat mengantar manusia menuju kemajuan dan kesempurnaan.
Dalam pandangan kaum Liberalis, tiada satu hakikat (kebenaran) di alam semesta
ini, namun hakikat-hakikat dan keragamanlah yang ada.(’Ali Akbar, Sairi dar
Andisyehai Siyasi Ma’ashir, hal. 28) 8. Perbedaan pada ranah pribadi dan sosial; Liberalisme
senantiasa menggambarkan adanya jarak dan gap antara ranah persoalan pribadi
(termasuk kehidupan sosial-ekonomi) dan persoalan umum (termasuk kehidupan
politik). Menurut puak liberalism pemerintah tidak diperkenankan melakukan
interfensi dan campur tangan dalam persoalan-persoalan pribadi. Dan semakin
sedikit intervensi pemerintah dalam ranah eksklusif setiap orang, maka performa
pemerintah semakin baik. .(’Ali Akbar, Sairi dar Andisyehai Siyasi Ma’ashir,
hal. 28) 9. Dunia sebagai poros dan tujuan (sebagai ganti
akhirat); Dalam pandangan Liberalisme, perhatian terhadap nilai-nilai,
urusan, dan keyakinan-keyakinan duniawi merupakan poros dan fondasi. a. Universalisme; Keyakinan bahwa hak dan taklif
seluruh manusia memiliki sisi universal, umum dan global. Keyakinan ini
bersumber dari fitrah dan tabiat manusia. .(’Ali Akbar, Sairi dar Andisyehai
Siyasi Ma’ashir, hal. 31) b. Masyarakat madani; Pemerintah terbatas dan bersyarat
– yang telah disinggung sebelumnya – dan menjaga kebebasan warga kota
membutuhkan masyarakat madani yang beragam yang terdiri dari pelbagai kelompok
pemikiran, filsafat, mazhab, kebudayaan dan politik. (Husain Basyiriyah,
Darsha-ye Demokrasi baraye Hame, hal. 21-22) c. Kontrol masyarakat; Apriori bahwa pemerintah
merupakan keburukan yang tak-terhindarkan adalah salah satu fondasi ideologi
Liberalisme. Menurut John Lock, politisi, secara potensial, merupakan
makhluk liar. Makhluk liar ini tidak segan-segan menggunakan cara-cara licik
untuk memelihara kekuasaan dan kemashalatan pribadinya. Berangkat dari sini,
dengan menciptakan pranata dan kontrol masyarakat secara berketerusan dapat mencegah
adanya praktik-praktik politisi ini. Dengan demikian, kontrol masyarakat atas
penguasa dan politisi merupakan rukun Liberalisme. .(’Ali Akbar, Sairi dar
Andisyehai Siyasi Ma’ashir, hal. 28) d. Hak kepemilikan; Liberalisme memandang bahwa hak
kepemilikan merupakan media utama dalam menjaga dan memelihara kebebasan
politik. Seorang invididu dengan kepemilikan dapat menjaga otonomi individu dan
resistensinya terhadap kekuasaan pemerintah. David Hume memandang bahwa
kepemilikan merupakan asas dan basic pranata-pranata demokrasi.(idem, hal. 24) Evaluasi pandangan Liberalisme dalam
ranah khusus
Setelah mengulas beberapa rukun Liberalisme secara global,
kita akan mengevaluasi lebih jeluk terhadap kandungan mazhab ini,
pandangan-pandangan liberalisme. Dan dengan memperhatikan bahwa kita tidak akan
dapat membahasnya secara keseluruhan, kita hanya akan membahas yang
penting-penting saja dari pandangan liberalisme. Liberalisme dan Humanism
Tipologi nyata gerakan liberalisme dalam maknanya yang lebih
luas adalah “individualisme.” Semenjak masa Alexander dan seterusnya dimana
kebebasan politik telah hilang, individualism berkembang dan mendapatkan reaksi
dari para filosof gereja dan Stoicism. (Russel, History of Western Philosophy,
jil. 2, hal. 827) “Dari sudut pandang metafisika dan ontologi, liberalisme
tergolong sebagai invidualisme. Individualis liberalisme termasuk ontologinya
juga moralitasnya. Pahaman ini memandang individu lebih utama, dan fundamental
dari masyarakat.(Majalleh Andisye Hauzah, maqalah, Liberalism Andisyeha wa
Tahawwul, hal. 41) Yang dimaksud dengan indiviualisme dalam pandangan filsafat
adalah termasuk jenis insansyinasi yang memberikan kebebasan dan kepribadian
kepada setiap individu.(idem) Apabila kita memandang individu manusia dari
sudut pandang ini, arti dari invidualisme dalam artian filsafatnya akan
terlihat. Sebagai lawan dari invidualisme adalah sosialisme dalam artian
filsafatnya yang memandang bahwa individu tidak termasuk sebagai bagian dari
kumpulan masyarakat.(Kitab-e Naqd, hal. 159) Liberalisme dengan memberikan keutamaan pada individu, dalam
ranah insan syinasi, akan menjumpai pelbagai tipologi dan konsekuensi di
antaranya sebagai berikut: a. Sangat ekstrem menuntut kebebasan; Mengingat bahwa
kebebasan dalam mazhab Liberalisme biasanya dalam bentuk “bebas dari segala
ikatan yang menghalangi terwujudnya selera setiap orang,” maka intervensi dan
campur tangan seseorang atau masyarakat sekali-kali tidak dapat diterima.
Sejatinya yang membentuk janin Liberalisme adalah penafian terhadap segala
jenis ikatan, hambatan dan larangan. (Rajabi, Fatima, Liberalism, hal 25) b. Ego-sentris dalam urusan masyarakat; Menurut puak
Liberalisme dalam menetapkan tatanan dan aturan sosial tiada keharusan untuk
mengikuti petunjuk para nabi, keharusan diturunkannya wahyu Ilahi dan syariat,
dan mencukupkan diri semata pada informasi dan pengetahuan manusia. c. Bersikap toleran secara ekstrem; Menurut mazhab
Liberalisme manusia dapat meyakini apa pun dan menyebarkan apa pun, sepanjang
tidak menggangu kebebasan orang lain, ia dapat melakukan hal itu sesuka
hatinya. d. Berkuasanya selera pribadi; Berdasarkan pada rukun
Liberalisme kematangan personal, kebudayaan, perilaku, ekonomi, sosial manusia
terletak pada apa yang disenanginya ia dapat melakukan. Seorang liberal tidak
menerima ikatan dan belenggu dari siapa pun untuk memenuhi keinginannya. Dengan
kata lain, selain keinginannya tiada keinginan yang berlaku. Akhlak dalam pandangan Liberalisme Asas Liberalisme dalam ranah akhlak adalah bersandar pada
hedonisme. Pemikiran moral Liberalisme ini disempurnakan oleh Lock. Menurut
John Lock kriteria baik dan buruk adalah kelezatan atau kesusahan yang
dihasilkan darinya; sesuatu dapat disebut baik apabila menyiapkan lahan bagi
manusia untuk dapat merasakan kelezatan atau menambah kelezatan dan mengurangi
kesusahan. Semakin ia merasakan kelezatan maka semakin bermoral. (Bertrand
Russel, History of Western Philosphy:592) Pandangan Bentham kurang lebih mirip dengan pandangan Locke
dalam masalah ini. Menurutnya kebaikan adalah kelezatan atau
kebahagiaan.(Bertrand Russel, History of Western Philosophy, jil. 2, hal.
1054). Mill mengikut Bentham berpendapat bahwa kelezatan adalah kebaikan dan
kesusahan adalah keburukan(Bertrand Russel, History of Western Philosophy, jil.
2, hal. 1060). Dengan demikian, Liberalisme dalam tataran kebahagiaan manusia
bercorak invidualis dan hedonis. Namun pertanyaan yang harus diajukan di sini
adalah bagaimana suatu perbuatan dapat diketahui bahwa ia mengandung kelezatan
yang lebih besar atau tanpa kesusahan? Jawaban para puak Liberalisme adalah
bahwa tiada satu pun perbuatan dengan sendirinya ideal atau tidak ideal,
melainkan etis atau tidak etisnya setiap perbuatan menjadi jelas tatkala
perbuatan tersebut telah dilakukan. Menyitir Mill, “Segala sesuatu harus
diserahkan pada altar pengalaman empirik dan akal, sepanjang jawabannya belum
jelas maka hukum tidak dapat dijatuhkan. Sebelum diuji dan dialami sekali-kali
agama, kebebasan seksual atau kitab itu baik untuk dibaca, tidak dapat
diketahui baik atau buruk.” Dengan demikian manusia liberal tidak ada yang
dipandang suci dan kudus, melainkan dalam maktab ini pengujian akal adalah
penting dan lebih penting dari itu adalah pengujian praktik dan empirik. Kendati Bentham dan John Stuart Mill dalam seluruh
pandangan moral dan hal-hal yang berkaitan dengannya tidak seragam, namun
maktab keduanya adalah pragmatisme. Politik dalam pandangan Liberalisme
Mengingat bahwa asas dan fondasi Liberalisme adalah menyediakan
kemaslahatan pribadi di atas khayalan dan keinginan-keinginan personal, segala
ikatan, kaitan dan keterbatasan. Di tengah-tengah – sebagaimana yang disebutkan
sebelumnya – pemerintah merupakan perkara yang menjadi terciptanya keterbatasan
bagi setiap orang. Oleh karena itu, dengan sendirinya konsep tentang
pemerintahan bukan merupakan sesuatu yang ideal. Namun juga tidak ada
alternatif lain untuk dapat lari dari konsep ini. Lantaran khayalan
tak-berkesudahan manusia dan adanya keterbatasan fasilitas, membuat manusia
terpaksa harus berperilaku keji terhadap yang lainnya. Kekurangan menjadi sebab
persaingan ini, saingan kita atau media untuk mewujudkan khayalan-khayalan itu
atau penghambat dalam mewujudkan angan-angan tersebut. Dengan demikian, alih-alih
melakukan koordinasi, tercipta sebuah jenis kontradiksi natural dalam
kemaslahatan pribadi dan apabila diinginkan masyarakat manusia terjagai dari
pertentangan natural ini maka mau-tak-mau harus ada intervensi luar.
Kalau tidak demikian, tidak akan tercipta sebuah masyarakat yang tetap
dan kokoh yang dengan keberadaannya kesenangan dan kemaslahatan pribadi dapat
tersedia. Intervensi dari luar ini adalah pranata pemerintah – yang disebutkan
sebelumnnya – tidak ideal dan merupakan keburukan dan tidak bisa menghindar
darinya. Untuk mencegah pemerintah tidak dictator dan penghalan tersedianya
lahan untuk memenuhi angan-angan dan kesenangan pribadi pemikiran Liberalisme
pada arsy politik bersandar pada keragaman ideologi dan partai. Keragaman
ideologi melalui parlemen inilah demokrasi. Sebuah sistem yang memisahkan tiga
lembaga eksekutif, yudikatif dan legislative yang menjaga kebebasan pribadi dan
umum serta kebebasan ideologi. Liberalisme dalam arsy Ekonomi
Setelah tingkatan pertama yang merupakan tingkatan kemenangan
dan kemajuan kebebasan berpolitik maka bermulalah kebebasan ekonomi yang
dimaksudkan untuk menyempurnakan kebebasan politik. Para ekonom liberal Inggris
di bawah Adam Smith adalah orang yang paling berpengaruh yang membentuk
Liberalisme Ekonomi. Menurut para ekonom ini, mekanisme otomatis pasar ekonomi,
yang ditata oleh aturan supply dan demand, merupakan sebaik-baik penjamin bagi
kemajuan ekonomi. Dan tiada lembaga baik eksklusif swasta atau eksklusif
pemerintah dan perusahan-perusahaan pemerintah, yang boleh campur tangan dalam
urusan tersebut. Para ekonom ini meyakini bahwa tangan-tangan invisible mereka
memberikan kenyamanan pada ekonomi masyarakat. Dan setiap intervensi dan
pemerograman yang dapat merisaukan atau menjinakkan tangan invisible tersebut
adalah tercela.(Mansur Nashiri, Din wa Azadi) Liberalisme dalam arsy Agama dan Teologi Kristen Liberalisme dalam tataran teologi Kristen bukan merupakan
kesatuan yang mudah dikenali. Melainkan dari sudut pandang sekte-sekte agama
Kristen dan dari sudut pandang negara-negara yang berbeda yang memiliki ragam
dan aneka perbedaan. Dari perspektif ini, agak sukar bagi kita untuk
menganalisa dan menjelaskan masing-masing jenis Liberalisme dalam agama
Kristen. Tataran Liberalisme keagamaan dalam agama Kristen sedemikian
beragam sehingga terdapat perbedaan antara Protestan-Liberal dan
Liberal-Protestan. Demikian juga Liberalisme pada dua mazhab besar Kristen,
Katolik dan Protestan harus dikaji secara terpisah. Liberalisme di
Negara-negara seperti Inggris, Amerika dan Prancis juga harus ditelaah secara
terpisah. Dan tentu saja ruang dan waktu yang tersedia pada tulisan ini tidak
memungkinkan bagi kita untuk membicarakan hal tersebut. Jelas bahwa gerakan Renaissance pada abad 18 dengan
perlawanan untuk kebebasan politik, sosial dan kebudayaan telah menjadi lahan
berseminya secara langsung Liberalisme teologis. Atas alasan ini liberalism
dalam ranah politik dapat disebut sebagai sumber kemunculan liberalism dalam
domain keagamaan. Sejatinya bahwa Liberalisme politik muncul dengan
prinsip-prinsip tipikal di hadapan segala jenis puritanisme pemikiran
keagamaan. Dan peperangan yang meletus adalah akibat dari puritanisme ini.
Liberalisme politik mencela puritanisme ini dan mempropagandakan toleransi dan
penghormatan terhadap kebebasan dan hak-hak pribadi. Kemudian sebagian teolog Kristen dengan menyaksikan fenomena
dan pandangan baru ini ini bangkit membelanya. (Muhammad Husain Zadeh, Mabani
Ma’rifat-e Dini, hal. 96). Namun dengan memperhatikan kemunculan Liberalisme pada
pelbagai sekte dan negara Kristen, Protestanisme Liberal merupakan Liberalisme
(agama) dimana anggapan sebagian orang ini bersumber dari sikap toleran dan
menutup mata terhadap dimensi-dimensi lain Liberalisme. Kendati tidak diragukan
bahwa wajah paling penting Liberalisme adalah terdapat pada ajaran
Protestanisme. Para pemikir dan sekte beragam Liberalisme, terlepas dari
perbedaan yang mereka miliki, memiliki keragaman pemikiran. Keragaman pemikiran
ini terletak pada perlawanan mereka terhadap kaum Tradisionalisme dan tentu
saja pada Fundamentalisme. Sisi keseragaman pemikiran pelbagai maktab
Liberalisme agama dapat digolongkan sebagai berikut: 1. Seluruh kaum liberal menghendaki adanya penafsiran
bebas (non-tradisional) terhadap ideologi Kristen; 2. Seluruh kaum liberal, tidak menaruh perhatian
terlalu serius pada pelontaran pemikiran teologis dan metode rasional pada
ranah teologi; 3. Seluruh kaum liberal, sangat sensitif terhadap
pengaruh pengetahuan baru, baik ilmu-ilmu sejarah atau natural, atas keyakinan-keyakinan
tradisional. Pada hakikatnya, salah satu factor signifikan pemikiran keagamaan
kaum liberal, kritik historis atas kitab suci; 4. Bersandar dan menegaskan pada “pengalaman batin”
(inward experience) seseorang. Menurut Schleirmacher agama asasnya adalah
kondisi dan perkara hati dimana inti dari semua itu adalah perasaan (feeling).
Agama tanpa perasaan tidak dapat bertahan pada posisinya. Dan akhirnya
akan berujung pada keyakinan atau moralitas. Berangkat dari pandangan ini, kaum
liberal menstressing bahwa asas agama adalah pengalaman keagamaan dan perasaan
batin.(Reardon Bernard “M. G. Christian Modernism” dalam: The Encylopedia of
Religion (edit. Mircea Eliade), vol. 10, hal. 9) Poin kekuatan Liberalisme agama tertimbun pada kedua poin
ini dimana para pengikutnya meyakini bahwa kebenaran agama Kristen, tanpa
kekuatiran kritikan akal pada kadar dan nilainya, dapat diperkenalkan pada
dunia moderen. Maktab ini secara tegas menyatakan bahwa agama Kristen
muncul dari zaman dan kebudayaan. Agama ini tumbuh-berkembang pada abad 19/20
yang berbeda dengan zaman dan kebudayaan masa itu. Agama Kristen dengan
pendekatan tradisionalnya asing dengan era baru ini bahkan tidak dapat
dipahami. Dengan demikian, apabila kita tidak menutup mata terhadap infiltrasi
dan pengaruh luas era baru ini serta menaruh perhatian pada dunia moderen maka
mau-tak-mau pelbagai keyakinan Kristiani harus ditinjau ulang dengan metode dan
pemikiran baru, yang terjadi pasca era Reformasi dalam tataran yang sangat
luas.(ibid, hal.12) Dengan semua ini, Liberalisme teologis, pada akhir abad 19
dan awal abad 20 dengan melakukan infiltrasi pada majelis-majelis gereja mampu
menghilangkah wajah buruknya dan dengan terma baru, Modernisme, Liberalisme
memasuki pelataran kehidupan agama Kristen. (ibid, hal. 7) Kendati demikian
mereka tidak mampu memelihara kekuatan infiltrasinya dan setidaknya semenjak
permulaan abad dua puluh, paham Liberalisme memiliki penentang dan orang-orang
yang kontra.(ibid, hal. 12) Di antara kritikan yang dilontarkan kepada Liberalisme agama
adalah bahwa maktab ini bahkan dalam bentuk (hipotesa) tidak memperhatikan dosa
dan keburukan manusia, tanpa mengindahkan keburukan dosa, dosa-dosa manusia
dengan mudah ditafsirkan sebagai kebodohan, kurangnya pengalaman atau ketidaksesuaiannya
dengan lingkungan. Kaum liberal memandang manusia dalam pandangan positif dan
optimis. Pandangan ini merupakan rangkapan dan sinkret pemahaman-pemamahan
Renaissance, ihwal manusia dapat menyempurna dan bahwa manusia dapat
berkembang-maju. Pandangan positif ini tentu saja tidak sejalan dengan
pandangan ajaran tradisonal Kristen yang menegaskan bahwa esensi manusia adalah
pendosa (karena pengaruh tergelincirnya Adam).(ibid, hal.13) Tentu dalam tulisan ini banyak poin-poin yang belum terjamah
dan tereksplorasi dengan baik, seperti pembagian liberalisme politik, ekonomi
dan liberalisme kebudayaan. Atau pembagian liberalisme berdasarkan urutan
waktu, liberalisme klasik dan neo-liberalisme. Kesemuanya ini membutuhkan ruang
dan waktu yang berbeda dimana hal ini akan kami alokasikan pada kesempatan
mendatang. Termasuk kritikan-kritikan terhadap paham liberalisme khususnya
dalam ranah filsafat dan pemikiran. Sumber:
Isyraq [1]. Bagi yang tertarik
mengetahui makna dan penggunaan kata “liberal”, silahkan rujuk pada Encarta
Dictionary Tools. [2]. Hornby, A. S, Oxford
Advanced Learner’s Dictionary, Oxford University Press, 5th edition, 1998-99. [3]. ability to act freely:
a state in which somebody is able to act and live as he or she chooses, without
being subject to any undue restraints or restrictions, i.e live in freedom
& religious freedom. [4]. Release from captivity
or slavery. Release or rescue from being physically bound, or from being
confined, enslaved, captured, or imprisoned. [5]. Right to act and speak
freely, the right to speak or act without restriction, interference, or fear,
i.e gave them the freedom to enter without passports. [6]. a country’s right to
rule itself, without interference from, or domination by, another country or
power. [7]. Absence of
something unpleasant, freedom from fear. [8]. Openness and
friendliness in speech or behavior [9]. the ability to
exercise free will and make choices independently of any external determining
force. [10]. The freedom to think
or act without being constrained by necessity or force. [11]. Freedom from captivity
or slavery [12]. Basic right: a political, social and economic right
that belongs to the citizens of a state or to all people. |