KONSEP DIN DAN ISLAM: EKSKLUSIF DAN INKLUSIFDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 KH. Jalaluddin Rakhmat
”Dan barangsiapa menganut Dîn selain Islam, maka sekali-kali
ia tidak akan diterima daripadanya dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang
merugi.” (QS. Ali Imran 85). Berdasarkan Ali Imran ayat 85, ada dua pandangan yang
berbeda tentang kriteria agama yang benar. Sebagian besar mufasir menjelaskan
bahwa agama yang benar, din al-haqq adalah dan hanyalah Islam. Agama apa pun
selain Islam ditolak. Termasuk kepada kelompok ini adalah Dr Aflatun Muchtar,
dalam bukunya Konsep Din dalam Al-Quran, ia menulis: Bertolak dari konsep dîn al-haqq di atas, maka din itu dapat
dibedakan menjadi dua: dîn al-haqq, yaitu Islam yang membawa ajaran dasar
tauhid, akhlak, dan ajaran yang berhubungan dengan aspek jiwa, akal, materi,
dan sosial dan din yang dianut orang-orang Yahudi dan Nasrani yang juga
mengklaim diri sebagai pengikut dîn al-haqq dan golongan lain yang telah
mengubah petunjuk-Nya dengan mereka. Mereka yang disebut terakhir, secara
prinsip telah mengubah hakikat din yang benar. Oleh karena itu, Allah
memberikan penegasan bahwa siapa saja yang menganut dîn selain Islam akan
tertolak dan mereka itu di akhirat akan digolongkan sebagai orang-orang yang
merugi. Sebagian ulama lainnya, yang digolongkan Muthahhari dalam
kelompok mufakkirûn mustanîrûn, berpendapat —masih berdasarkan ayat yang sama—
bahwa yang dimaksud dengan Islam di sini adalah kepasrahan kepada al-Haqq,
Kebenaran atau Allah dan bukan agama terakhir yang dibawa Nabi Muhammad saw.
Dengan demikian, siapa saja yang berserah diri pada Kebenaran, yang ia temukan
dalam perjalanan hidupnya, kemudian ia memberikan komitmen total kepadanya, ia
telah menganut dîn yang benar. Tidak jadi soal apakah kebenaran yang
diyakininya itu Islam atau pun agama lainnya. Menurut Muthahhari, yang menganut
paham ini, sebagai contoh adalah George Jordac, penulis buku Ali: Shaut
al-‘Adalat al-Insaniyyah, dan penyair Kahlil Gibran. Saya akan memasukkan ke
dalam kelompok ini juga Dr. Abdul Karim Soroush, pemikir Islam kontemporer dari
. Soroush, pada gilirannya, menyebut Thabathabai, penulis tafsir Mizan, ke
dalam kelompoknya juga. Perbedaan pendapat di antara kedua kelompok ini bersumber
pada konsep Dîn dan Islam. Aflatun Muchtar telah meneliti konsep Dîn dalam
Al-Quran dengan merujuk pada asal-usul semantiknya, perkembangan pengertiannya
dalam periode Mekah dan Medinah, serta kandungan maknanya. Ia juga menjelaskan
berbagai Dîn dalam perpektif Al-Quran dari segi ajarannya dan keabsahannya. Ia
sampai pada kesimpulan bahwa Islam, dalam pengertian “Dîn yang diwahyukan
kepada kepada Nabi Muhammad saw atau segala segala yang disyariatkan Allah
kepada hamba-hamba-Nya melalui lisan Muhammad Rasul-Nya yang terakhir.”
Walhasil, Dîn yang absah dan benar, yang diterima Allah pada zaman ini hanyalah
agama Islam yang dibawa Muhammad saw. Saya tidak mau dan tidak mampu untuk melihat kesalahan logis
yang dilakukan Muchtar dalam penelitiannya. Muchtar telah dengan bagus mewakili
pandangan kelompok pertama. Saya ingin memberikan pandangan kelompok kedua.
Kita akan melihat kembali makna konsep Dîn, dengan menggunakan metode yang sama
yang dilakukan Muchtar, tetapi dengan kesimpulan akhir yang berbeda. Saya akan
mulai dengan kembali lagi melihat berbagai kamus untuk melacak makna
semantiknya. Makna Din Secara Bahasa
“ Dîn: sejenis kepasrahan dan kerendahan. Inilah makna yang
pokok dan makna-makna yang lain kembali ke sini. Maka al-dîn artinya ketaatan.
Dikatakan dâna —yadînu-dînan, bila ia menyertai, menyerah kepada, dan menaati
(seseorang). Qawm din: yakni, kaum yang berserah diri dan taat. Madînah, tempat
ketaatan, disebut demikian karena di tempat itu ditegakkan ketaatan kepada
pemerintahan. Madînah juga berarti budak perempuan (Budak laki-laki: madîn).” Banyak penulis kamus sepakat dengan al-Mushtafawi bahwa
makna pokok —primary meaning— dari Din adalah kepatuhan. Makna pokok lainnya
—seperti dihimpun Edward William Lane — adalah a state of abasement,
submissiveness, al-Din lillah, obedience to, and the service of God. Dari makna
pokok inilah kemudian berkembang makna-makna lainnya: 1. Religion, yang menurut al-Shihhah, disebut demikian
karena agama adalah kepatuhan dan kepasrahan kepada hukum; karena itu din juga
berarti syariat dan wara’, menghindarkan diri dari perbuatan yang melanggar
hukum. Dalam pengertian ini, lihat Al-Quran Ali Imran ayat 17. 2. A particular law; a statue; or an ordinance. Dalam
Al-Quran, makna ini dapat dipahami dari Ma kana li ya’khudza akhahu fi din
al-malik (QS. Yusuf; 76): Yusuf tidak akan mengambil saudaranya (sebagai budak
karena mencuri) menurut hukum Raja Mesir. 3. A system of usages, or rites and ceremonies etc.,
inherited from a series of ancestors, seperti disebutkan dalam hadits Nabi saw
kana ‘ala dini qawmih. Ia mengikuti kebiasaan lama yang didapatnya pada
kaumnya, yang diwarisi dari Ibrahim dan Ismail, dalam hal haji dan pernikahan;
ada juga yang menyebutkan, dalam hal akhlak seperti kedermawanan dan
keberanian. 4. Custom, habit, or business. Seperti dalam kalimat ma zala
dzalika dini. Itu selalu menjadi kebiasaanku. 5. A way, a course, mode, or manner, of acting, or conduct,
or the like. 6. Management, conduct, or regulations, of affairs, 7. Retaliation, by slaying for slaying, or wounding for
wounding, or mutilating for mutilating. 8. A reckoning, seperti dalam Al-Quran surat Al-Taubah ayat
36. Bila kita perhatikan makna-makna tambahan itu, kita masih
bisa melihat makna asalnya; yakni, kepatuhan atau kepasrahan. Hukum disebut
Dîn, karena peraturan tidak bisa tegak tanpa kepatuhan. Tradisi atau adat
kebiasaan disebut Dîn karena perilaku tertentu dipatuhi dan dijalankan terus
menerus; lalu, seluruh anggota komunitas harus pasrah padanya. Cara mengatur
tingkah laku menurut prosedur tertentu juga terbentuk karena kepatuhan yang
berlangsung lama, sehingga menjadi kebiasaan. Bila kepatuhan itu dilanggar,
bila aturan yang baku iti tidak dipenuhi, orang mendapat hukuman dari
masyarakatnya. Karena itu, balasan disebut juga Dîn. Menurut makna asalnya, Dîn sama saja dengan Islam. Saya
mengutip lagi dari Muchtar: Secara etimologi Islam berasal dari kata aslama yang
mengandung pengertian khadla’a (tunduk) dan istaslama (sikap berserah diri),
dan juga addâ (menyerahkan atau menyampaikan). Pengertian lain dari Islam
adalah al-inqiyâd (tunduk patuh), dan al-ikhlâsh (tulus) di samping itu
diartikan juga dengan al-tha’ah (taat) serta al-salâm (damai atau selamat) . Muchtar menegaskan makna kepatuhan dan ketundukan ini dengan
mengutip Al-Mawdudi, yang mengartikan Islam sebagai “tunduk, berserah diri,
taat, dan patuh kepada perintah dan larangan yang berkuasa (al-amir) tanpa
membantah.” Dengan menggunakan makna asal dari kedua kata itu —Din dan
Islam— kita lihat lagi Al-Quran surat Ali Imran ayat 83 dan 85: “Maka apakah
mereka mencari selain kepatuhan kepada Allah (ghayr dîn Allah), padahal
kepadanya pasrah tunduk patuh (aslama) semua yang di langit dan di bumi, baik
dengan suka maupun terpaksa. Hanya kepada Allah sajalah mereka dikembalikan....
Barangsiapa yang mencari kepatuhan (dîn) selain kepasrahan diri (al-islâm),
maka ia tidak akan diterima dan dia di akhirat termasuk orang yang merugi.” Jadi secara denotatif, din dan Islam itu bermakna sama.
Secara konotatif, din menunjukkan kepatuhan yang umum. Orang bisa patuh pada
tradisi, kebiasaan, hukum, prosedur perilaku, atau sanksi dan hukuman. Orang
juga bisa hanya patuh kepada Allah saja, dîn Allah. Kepatuhan pada selain Dia
diletakkan din bawah kepatuhan kepada Dia. Al-Quran menyebut kepatuhan kepada
Allah itu sebagai kepatuhan kepada Kebenaran, din al-Haqq. Nabi Muhammad saw
diutus Tuhan untuk membawa petunjuk dan kepatuhan kepada Kebenaran, agar segala
kepatuhan kepada yang lain ditundukkan. Tuhan berfirman: Dialah yang mengutus
Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan kepatuhan kepada kebenaran agar Dia mengunggulkannya
di atas semua kepatuhan… (QS. Al-Taubah; 33, QS. Al-Fath; 28, QS. Al-Shaf; 9) Makna Islâm Secara Bahasa
Tanpa harus melacak makna kata Islam dari kata-kata asalnya
seperti salam, silm, dan sebagainya, kita kan mengutip apa yang dikatakan
kamus-kamus bahasa Arab tentang makna Islâm. Sekali lagi, kita merujuk pada
Lane. Islâm berasal dari kata aslama yang berarti: • Sama dengan sallama, yang berarti menyerahkan sesuatu,
menyerahkan diri pada kekuasaan orang lain, meninggalkan orang di bawah kekuasaan
orang lain, meninggalkan (seseorang) bersama (musuhnya), berserah diri kepada
(Tuhan); menurut Al-Shihhah, al-Qamûs, al-Muhkam, al-Mishbâh, Ibn Atsîr, Taj
al-Arûs. • Membayar di muka, seperti dalam kalimat aslama fi
al-tha’âm; menurut Al-Shihhah, al-Muhkam, al-Mughrib, al-Mishbah. • Sama dengan kata istaslama: Menyerah, menyerahkan diri,
pasrah; memasuki perdamaian; menurut Al-Shihhah, al-Muhkam, al-Mishbah,
al-Qamûs. • Sama dengan tasallama: menjadi Islam. Al-Shihhah dan
al-Mishbah men-definisikan Islam sebagai “ungkapan kerendahan hati atau
kepasrahan dan ketaatan secara lahiriah kepada hukum Tuhan serta mewajibkan
diri untuk melakukan atau mengatakan apa yang telah dilakukan dan dikatakan
oleh Nabi saw”. Menurut al-Tahdzîb dan al-Muhkam, bila ketaatan itu juga
diikuti dengan hati, maka ia disebut iman. Ini menurut madzhab Syafi’I; tetapi
menurut madzhab Abu Hanifah, tidak ada perbedaan antara kedua istilah itu. • Aslamtu ‘anhu, berarti aku meninggal-kannya setelah aku
terlibat di dalamnya; seperti di dalam kalimat kâna râ’iya ghanamin tsumma
aslama. Jadi jika kita merujuk beberapa kamus Al-Quran , kita
menemukan makna asal aslama adalah patuh, pasrah, atau berserah diri. Beberapa
kamus Al-Quran lainnya yang lebih klasik tidak secara eksplisit menyebutkan
makna asal ini, tetapi menyebutkan tingkatan-tingkatan Islam, yang menunjukkan
sebenarnya pada tingkatan kepasrahan. Al-Raghib al-Ishfahani menulis:
Di dalam syarak, Islam itu ada dua macam: Pertama, di bawah
iman, yakni hanya mengakui dengan lidah saja. Dengan begitu, darahnya
terpelihara; tidak jadi soal apakah keyakinan masuk ke dalamnya atau tidak.
Inilah yang dimaksud dengan firman-Nya - Berkata orang Arab Badwi itu: Kami
telah beriman. Katakan: Kamu belum beriman. Tetapi katakanlah: kami telah islam
(QS. Al-Hujurat; 14); Kedua, di atas iman, bersamaan dengan pengakuan ada juga
keyakinan dalam hati, pelaksanaan dalam tindakan, dan penyerahan diri kepada
Allah dalam segala hal yang telah Ia tetapkan dan tentukan. Seperti yang
diingatkan dalam kisah Ibrahim: Ketika Tuhan berkata kepadanya: Islamlah
(pasrahlah), Ibrahim berkata: Aku pasrah kepada Pemelihara Seluruh Alam (QS.
Al-Baqarah; 131); dan firman Allah: Sesungguhnya kepatuhan di sisi Allah adalah
kepasrahan (QS. Ali Imran; 19) Al-Mushtafawi menulis:
Islam itu bertingkat-tingkat: Pertama, kepasrahan dalam amal
lahiriah, gerakan badaniah, dan anggota-anggota jasmaniah seperti dalam ayat:
"Berkata orang Arab Badwi itu: Kami telah beriman. Katakan: Kamu belum
beriman. Tetapi katakanlah: kami telah islam" (QS. Al-Hujurat; 14). Kedua, menjadikan diri sesuai atau sejalan secara lahir dan
batin, sehingga tidak terjadi pertentangan dalam amalnya, niatnya, dan hatinya,
seperti dalam Kamu tidak akan dapat memperdengarkan kepada mereka (petunjuk)
kecuali kepada orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, maka mereka itulah
yang berserah diri (QS. Al-Rum; 53). Ketiga, menghilangkan kontradiksi sama sekali. Baik dalam
amal, niat, maupun eksistensi zat. Pada tingkat ini tidak ada lagi eksistensi
diri atau melihat diri. Seluruh wujudnya tenggelam dalam samudra wujud Yang
Haq, fana dalam kebesaran cahaya Dia. Pada tingkat ini tercerabutlah bekas
kontradiksi itu dari akarnya. Yang tampak adalah hakikat makna penyerahan diri
dan penyesuaian diri kepada Al-Haq yang Mutlak— Sesung-guhnya kepatuhan di sisi
Allah adalah kepasrahan penuh (QS. Ali Imran; 19) Tiga tingkatan Islam yang diuraikan Al-Mushtafawi, sekali
pun ia penulis kamus, lebih bersifat esoteris ketimbang linguistis. Tetapi,
baik Al-Isfahani maupun al-Mushtafawi, menyebutkan tingkatan Islam itu karena
menghadapi kemusykilan makna Islam dalam ayat-ayat yang berlainan dalam
Al-Quran. Pada satu sisi, kata Islam dipergunakan dalam posisi lebih rendah
dari iman; seperti “islam”-nya orang Arab Badwi. Pada sisi lain, kepada Ibrahim
yang sudah jelas-jelas Muslim, Tuhan menyuruhnya untuk Islam lagi. Tentulah
Islam yang kedua ini lebih tinggi dari Islam yang pertama. Pada Al-Mushtafawi,
kata Islam dalam menunjukkan tingkat Islam yang paling tinggi; yakni, dalam
istilah irfan, ketika orang sudah meninggalkan al-katsrah dan tiba di
al-wahdah. Walhasil dengan merujuk pada kamus-kamus itu, segera kita
ketahui bahwa orang yang mengatakan bahwa bukan Muslim tidak diterima amalnya
mengacaukan makna Islam dalam berbagai tingkatannya. Kata Islam dalam Inna
al-Dîn ‘ind Allâh al-Islâm menunjukkan Islam yang tinggi, Islamnya Ibrahim as,
bukan Islam seperti tercatat dalam kartu penduduk. Dan Islam pada tingkatan itu
boleh jadi meliputi semua pengikut agama. Dalam tulisan Muthahhari, inilah Islam
waqi’i sebagai lawan dari Islam geografis. Tiga Tingkat Islam menurut Muthahhari
Muthahhari membagi makna Islam pada tiga tingkat karena
keinginannya untuk menjawab pertanyaan: Apakah amal saleh orang yang tidak
beragama Islam diterima Allah. Banyak orang, dengan merujuk antara lain pada
Al-Baqarah 62, Al-Maidah 69, dan ayat-ayat lainnya yang bermakna sama,
menyatakan bahwa amal saleh bukan orang Islam diterima Allah juga. Bukankah apa
yang disebut amal saleh itu tetap amal saleh apa pun agamanya? Bukankah
membahagiakan orang yang menderita itu disepakati sebagai amal saleh apa pun
agama para pelakunya? Secara akal, kita dengan mudah menerima argumentasi di atas.
Tetapi kita mengalamai kesulitan untuk memahami ayat Inna al-Dîn ‘ind Allâh
al-Islâm dan wa man yabtaghi ghayr al-Islam dinan fa lan yuqbala minhu wa huwa
fi al-akhirat min al-khasirin (Ali Imran 85). Bukankah agama di sisi Allah itu
hanya Islam? Bukankah orang yang mencari selain Islam sebagai agama ia tidak
akan diterima dan pada hari akhirat menjadi orang-orang yang merugi. Lagi pula,
bila Tuhan menerima amal saleh dari siapa pun, maka apa perlunya kita memeluk
agama Islam? Apa juga gunanya kita memanggil manusia kepada Islam? Dengan kembali kepada makna asal Islam —berserah diri,
kepasrahan— Muthahhari menjelaskan tiga macam kepasrahan. Pertama, Islam fisik.
Di sini orang pasrah kepada seseorang atau sesuatu karena terpaksa atau karena
mengikuti lingkungannya. Muthahhari menyebut istilah al-islam al-jughrafiy
kepada mereka yang lahir, hidup, dan mati dalam lingkungan Islam. Jika Anda
memeluk Islam sekarang ini, karena orangtua Anda juga Muslim dan lingkungan
Anda juga Muslim, padahal Anda tidak pernah mempelajari Islam, Anda baru masuk
Islam secara fisik saja. Muthahhari menulis, “Kebanyakan kita hanyalah muslim
tradisional dan geografis. Kita menjadi Muslim karena orangtua kita Muslim.
Kita juga hidup dan tumbuh besar di tengah-tengah masyarakat Muslim.” Di samping Islam geografis ada Islam aktual, al-islam
al-waqi’iy. Inilah Islam yang “memikul nilai ruhiyah samawiyah”. Menurut
Muthahhari, Islam aktual ialah Islamnya orang yang sudah pasrah kepada
kebenaran dengan hatinya. Ia mengamalkan kebenaran yang diyakininya setelah ia
menerima kebenaran itu melalui penelitian dan tanpa fanatisme. Bila ada orang
yang telah berusaha mencari kebenaran, lalu ia menerima kebenaran itu dengan
sepenuh hati, tetapi ia tidak memeluk agama Islam, Tuhan tidak akan
mengazabnya. Berdasarkan firman Tuhan —Kami tidak akan mengazab mereka sebelum
Kami bangkitkan Rasul (Al:Isra 15)— dan kaidah Ushul yang menyatakan “buruknya
sanksi tanpa keterangan”, mustahil Tuhan menghukum orang di luar kemampuannya.
Bila seseorang hanya mampu mengetahui kebenaran Kristen, misalnya, dan
mengikutinya dengan setia, pada hakikatnya ia sudah menerima Islam dalam
pengertian kepasrahan yang tulus. Muthahhari memberikan contoh Descartes. Dalam pencarian
kebenaran, Descartes menerima Kristen sebagai agama yang benar, seraya mengatakan
bahwa itulah agama yang dikenalnya dengan baik. Ia tidak menolak kemungkinan
agama lain juga benar, hanya saja ia tidak mengetahuinya. Muthahhari menulis,
Orang-orang seperti Descartes tidak mungkin kita sebut
kafir, karena mereka tidak mempunyai sifat membangkang kepada kebenaran dan
tidak menyembunyikan kebenaran. Bukankah kekafiran adalah pembangkangan dan
penutupan kebenaran. Mereka adalah Muslim secara fitriah. Jika kita tidak dapat
menyebut mereka Muslim, kita juga tidak dapat menyebut mereka kafir. Dalam pandangan kelompok al-mutasyaddidun —menurut sebutan
Muthahhari— Descartes tetap saja kafir. Amal salehnya tidak akan diterima
Allah. Akhirnya ia masuk neraka. Ada lagi kelompok yang lebih menyempitkan lagi
pengertian Islam. Buat mereka, yang diterima Allah hanyalah Islam yang benar;
yakni, yang mengikuti paham kelompok-nya. Orang Sunni menganggap amal saleh
orang Syiah tidak akan diterima Allah. Orang Syiah beranggapan amal saleh orang
Sunni justru akan ditolak. Di Indonesia, Islam yang diterima dibatasi jauh
lebih sempit lagi— pada kotak kecil yang bernama jamaah, harakah, atau kelompok
satu imam. Alkisah, Imam Ja’far al-Shadiq ingin menasehati kelompok
mutasyaddidun, yang menganggap bahwa orang yang tidak mengenal imamah adalah
kafir. Kita turunkan kembali dialog antara Imam dengan para pengikutnya: Pada suatu hari, aku (Hasyim), Muhammad bin Muslim, Abu
Al-Khattab, sedang berkumpul. Abu Al-Khattab berkata kepada kami: Apa pendapat
kalian tentang orang yang tidak mengetahui urusan ini (imamah)? Aku berkata:
Barang siapa yang tidak mengetahui urusan ini, ia kafir. Berkata Abu
Al-Khattab: Tidak disebut kafir sebelum tegak di atasnya hujjah (keterangan).
Bila sudah tegak keterangan tapi ia tidak mengetahuinya, ia kafir. Berkata
kepadanya Muhammad bin Muslim: Subhanallah, bagaimana kau sebut kafir orang
yang tidak mengetahui dan tidak membangkang? Tidak disebut kafir orang yang
tidak membangkang. Ia berkata: Setelah aku berdebat, aku masuk ke kediaman Abu
Abdillah as dan aku kabarkan kepadanya peristiwa itu. Imam berkata: Kamu hadir
sekarang ini tapi kedua orang sahabatmu tidak ada. Marilah kita bertemu dan
tempat pertemuan kalian adalah malam ini di Jumrah Wustha, Mina. Pada malam tersebut, kami berkumpul di hadapannya bersama
Abu Al-Khattab dan Muhammad bin Muslim. Ia mengambil bantal dan meletakkannya
di dadanya seraya berkata kepada kami: Bagaimana pendapat kalian tentang
pembantu kalian, istri-istri kalian, keluarga kalian. Apakah mereka bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah? Aku (Hasyim) berkata: Benar. Ia bersabda:
Bukankah mereka bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah? Aku berkata: Benar.
Ia bersabda: Bukankah mereka salat, puasa, dan haji? Aku berkata: Benar. Ia
bersabda: Apakah mereka mengetahui Imamah yang kalian ketahui? Aku berkata: Tidak.
Ia bersabda: Bagaimana mereka menurut kalian? Aku berkata: Barangsiapa yang
tidak mengetahui dia kafir. Ia bersabda: Subhanallah, apakah kau mengenal para
petunjuk jalan dan para pelayan air? Aku berkata: Benar. Ia bersabda: Bukankah
mereka salat, puasa, dan haji? Bukankah mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah? Aku berkata: Benar. Ia bersabda:
Apakah mereka mengetahui apa yang kalian ketahui? Aku berkata: Tidak. Bagaimana
mereka menurut kalian? Aku berkata: Barangsiapa yang tidak tahu dia kafir. Ia bersabda: Subhanallah, tidakkah kamu lihat Ka’bah dan
orang-orang yang thawaf serta penduduk Yaman dan keadaan mereka ketika
bergantung di tirai Ka’bah? Aku berkata: Benar. Ia bersabda: Bukankah mereka
bersaksi tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad utusan Allah, salat, saum,
dan haji? Aku berkata: Benar. Ia bersabda: Apakah mereka mengetahui apa yang
kalian ketahui? Aku berkata: Tidak. Ia bersabda: Bagaimana pendapat kalian
tentang mereka? Aku berkata: Barangsiapa yang tidak mengetahui, ia kafir. Subhanallah, ini ucapan Khawarij. Kemudian ia bersabda: Jika
kalian mau aku akan beritahukan kepada kalian. Aku berkata: Tidak. (Menurut
Almarhum Al-Faydh, Hasyim mengatakan tidak karena ia tahu bahwa Imam akan
mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan pendapatnya.) Imam bersabda: Sangat
buruklah bagi kalian untuk mengatakan sesuatu yang tidak kalian dengar dari
kami. Pelajaran dari kisah ini sederhana saja. Kita tidak boleh
menetapkan seorang kafir karena tidak mengetahui keyakinan yang kita ketahui.
Orang-orang yang disebut Imam Ja’far sebagai orang —orang yang salat, saum,
haji, dan menangis ketika bergantung pada tirai Ka’bah tidak boleh serta-merta
disebut kafir, hanya karena mereka tidak meyakini Imamah yang diyakini oleh
orang-orang Syi’ah. Bandingkanlah dengan sebagaian saudara kita yang “sangat
saleh” yang menetapkan dengan tegas bahwa Syiah itu kafir dan bahkan halal
darahnya. Setelah menyimak tulisan berikutnya, maukah Anda menyebut Thabathabai
—mufasir Syiah mutakhir— sebagai seorang kafir? Tingkatan Islam dan Iman menurut
Thabathabai
Setelah Tuhan mengisahkan perjuangan Ibrahim as sebagai
tauladan yang utama, contoh orang yang pasrah sepenuhnya kepada Tuhan; setelah
Ibrahim dan Ismail melaksanakan perintah Tuhan untuk membangun kembali Ka’bah;
setelah keduanya berdoa agar dijadikan orang-orang Islam, Tuhan memanggil
Ibrahim. Ketika Tuhannya berkata kepadanya: Islamlah kamu. Ibrahim berkata: Aku
berislam kepada Tuhan Semesta Alam. (QS. Al-Baqarah; 131) Bukankah Ibrahim
sudah Islam, dengan mematuhi semua perintah Allah swt? Mengapa ia disuruh Islam
lagi? Untuk menjawab pertanyaan ini Thabathabai menulis tentang tingkatan
keislaman dan keimanan. Saya mengutipnya agak lengkap di bawah ini: Orang-orang berbeda dalam tingkat kepasrahannya kepada
aturan Tuhan. Mereka juga berbeda dalam tingkat keislamannya. Pertama, tingkat pertama Islam adalah menerima dan mematuhi
perintah dan larangan dengan membaca dua kalimat syahadat, tidak jadi soal
apakah iman sudah atau belum memasuki hatinya. Allah berfirman: Orang Arab dari
dusun itu berkata: Kami beriman. Katakan, “Kamu tidak beriman. Tapi katakanlah:
Kami Islam; karena iman belum masuk pada hati kamu.” (QS. Al-Hujurat; 14) Kedua, Islam tingkat ini diikuti dengan tingkat pertama iman
yaitu penyerahan dan kepasrahan hati untuk menerima keyakinan yang benar secara
terperinci dengan diikuti oleh amal-amal salih; walaupun sewaktu-waktu mungkin
saja berbuat salah. Allah Ta’ala berfirman tentang sikap orang yang takwa:
Orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami dan mereka itu muslim (QS.
Al-Zukhruf; 69) Dan Ia berfirman: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kepada
Islam secara keseluruhan. (QS. Al-Baqarah; 208) Jelaslah Islam yang datang
setelah iman ini bukanlah Islam pada tingkat yang pertama. Setelah Islam ini,
datanglah tingkat kedua dari iman; yaitu keyakinan yang penuh kepada hakikat
agama. Allah berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian tidak ragu-ragu
dan berjuang di jalan Allah dengan harta dan diri mereka. Mereka itulah
orang-orang yang beriman tulus. (QS. Al-Hujurat; 15) Ia juga berfirman: Hai orang-orang yang beriman, apakah Aku
tunjukkan kepada kalian perdagangan yang a kan menyelamatkan kalian dari azab
yang pedih. Kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjuang di jalan
Allah dengan harta dan diri kamu. (QS. Al-Shaf; 10-11). Di sini, kaum mukminin
diberi petunjuk kepada iman yang bukan iman sebelumnya. Ketiga, tahap kedua iman itu membawa kita kepada Islam pada
tingkat yang ketiga. Ketika jiwa sudah dipenuhi dengan iman tersebut di atas
dan mulai berakhlak dengan akhlak berdasarkan iman itu, maka tunduklah
kepadanya semua kekuatan hewani, yaitu semua kecenderungan ke arah dunia dan
segala godaannya. Sekarang manusia menyembah Allah seakan-akan ia melihatnya
dan jika ia tidak melihatnya sekalipun, ia meyakini bahwa Allah melihatnya. Di
dalam batinnya dan dirinya yang paling dalam, tidak ada lagi apa pun yang tidak
tunduk kepada perintah-Nya dan larangan-Nya atau kecewa kepada ketentuan-Nya.
Allah berfirman: Maka demi Tuhanmu, tidak beriman mereka sampai mereka
mengambil kamu sebagai pengutus untuk apa-apa yang mereka pertikaikan di antara
mereka. Lalu mereka tidak dapatkan dalam diri mereka keberatan atas apa-apa
yang engkau tentukan dan pasrah dengan kepasrahan yang sebenarnya. (QS.
Al-Nisa; 65) Setelah tingkat keislaman ini, sampailah orang kepada tingkat iman
berikutnya. Allah berfirman: Berbahagialah orang-orang yang beriman, sampai
kepada firmannya. Dan orang-orang yang berpaling dari hal-hal yang tidak
berguna. (QS. Al-Mukminun; 1-3) Begitu juga firman Allah: Ketika Tuhannya
berkata kepadanya: Islamlah kamu. Ibrahim berkata: Aku berislam kepada Tuhan
Semesta Alam. (QS. Al-Baqarah 131) Akhlak-akhlak yang mulia seperti rida,
kepasrahan, keteguhan hati, kesabaran dalam menaati perintah Allah,
kesempurnaan zuhud dan wara’, cinta dan benci karena Allah termasuk akhlak
orang yang mencapai tingkat ini. Keempat, tingkat Islam yang keempat datang setelah tingkat
iman yang ketiga. Pada tingkat iman sebelumnya, hubungan manusia dengan Allah
adalah hubungan budak dengan tuannya. Karena ia melakukan sebenar-benarnya
pengabdian dan tunduk sepenuhnya kepada kehendak Tuannya, menerima apa yang dicintainya
dan diridainya. Memang tidak bisa dibandingkan antara kepemilikan dan kekuasaan
seorang tuan atas budaknya dengan kepemilikan dan kekuasaan Tuhan semesta alam
di atas makhluk-makhluk-Nya. Kepemilikan dia adalah kepemilikan yang
sebenarnya. Selain Tuhan, tidak ada yang memiliki wujud yang mandiri secara
zat, sifat, maupun perbuatan. Kadang-kadang setelah manusia sampai pada tingkat
kepasrahan yang ketiga ini, bantuan Ilahi menariknya dan menampakkan kepadanya
hakikat yang sebenarnya, bahwa seluruh kerajaan kepunyaan Allah semata-mata.
Tidak sesuatu pun dapat memiliki sesuatu kecuali karena Dia. Tidak ada Tuhan
kecuali Dia. Pengungkapan realitas seperti ini adalah anugerah Ilahi yang
Tuhan berikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Orang tidak akan sampai kepada
tingkat ini semata-mata karena kemauannya. Mungkin inilah yang dimaksud dengan
firman Allah yang digambarkan dengan doa Ibrahim dan Ismail: Tuhan kami,
jadikanlah kami berdua orang yang pasrah kepadamu dan jadikan juga keturunan
kami orang yang pasrah kepadamu. Dan tunjukkan kepada kami, cara pengabdian
kami kepada-Mu. (QS. Al-Baqarah; 128) Bandingkanlah ini dengan ayat: Ketika
Tuhannya berkata kepadanya: Islamlah kamu. Ibrahim berkata: Aku berislam kepada
Tuhan Semesta Alam. (QS. Al-Baqarah; 131). Ayat ini secara lahiriah menunjukkan
perintah tasyri’i bukan takwini; perintah legislatif bukan perintah kreatif.
Ibrahim sudah Islam dengan pilihannya sendiri, memenuhi panggilan Tuhannya dan
menjalankan perintahnya. Inilah perintah yang diterimanya pada awal hidupnya.
Kemudian dalam ayat yang baru saja disebut, pada akhir hayatnya, Ibrahim dan
anaknya Ismail berdoa memohonkan Islam dan agar ditunjuki cara pengabdian.
Permohonan Ibrahim ini jelaslah bukan sesuatu yang sudah dimilikinya. Ia
memohonkan sesuatu yang tidak berada di dalam kemampuannya. Pendeknya, Islam
dalam doa Ibrahim dan Ismail adalah Islam pada tingkat yang keempat, dan yang
paling tinggi. Tingkat Islam ini diikuti dengan tingkat iman yang keempat.
Pada tingkat ini, seluruh keadaan dan perbuatannya dipenuhi oleh keadaan yang
disebut di atas. Allah berfirman: Ketahuilah bahwa para kekasih Allah itu,
tidak ada takut pada mereka dan tidaklah mereka berduka cita, orang-orang yang
beriman dan mereka itu bertakwa. (QS. Yunus; 42). Kaum mukminin yang disebutkan
dalam ayat ini, sudah berada pada tingkat keyakinan bahwa tidak ada sesuatu pun
yang terlepas dari Allah. Tidak ada suatu peristiwa pun terjadi tanpa seizin
Allah, karena itu mereka tidak berduka cita karena hal yang dibenci menimpa mereka.
Tidak juga takut karena ancaman bahaya yang menghadang mereka. Inilah iman yang
datang setelah Allah melimpahkan anugerahnya. Renungkanlah. Penutup
Marilah kita kembali pada pertanyaan awal kita: Apakah hanya
Islam agama yang diterima Allah? Jawaban kita bisa “ya” dan “tidak”. Ya, bila
yang kita maksud adalah Islam sebagai kepasrahan sepenuh hati kepada kebenaran,
yang kita peroleh melalui proses pencarian yang tulus dan sungguh-sungguh.
Tidak, bila yang dimaksud dengan Islam adalah institusi keagamaan seperti yang
tercantum dalam kartu identitas kita. Bila pertanyaan ini kita sampaikan lebih
spesifik: Apakah orang yang beragama selain Islam, seperti Kristen, Hindu,
Budha, akan diterima di sisi Allah? Jawabannya tergantung kepada ideologi yang
Anda anut. Sebagai al-mutasyaddidun, Anda hanya akan mengatakan Islam saja yang
diterima Allah. Sebagai al-mustanîrun, Anda akan berkata bahwa agama adalah
jalan menuju Tuhan. Seperti dikatakan para sufi, jalan menuju Tuhan sebanyak
nafas manusia. Mengapa kita harus menyempitkan kasih Tuhan, yang meliputi
langit dan bumi. Ketika menjelaskan orang yang “spiritually intelligent”,
Zohar dan Marshall menulis, “Sebagai orang Masehi, Muslim, Budha atau siapa
saja yang cerdas secara spiritual, saya mencintai dan menghormati tradisi saya
-tetapi saya mencintainya karena ia adalah salah satu di antara banyak bentuk
untuk mengungkapkan potensialitas dari inti jiwa kita. Saya memiliki
penghormatan yang mendalam dan setia pada tradisi-tradisi dan bentuk-bentuk
keberagamaan lainnya.” Boleh jadi saya juga membayangkan diri saya mampu
menghayati bentuk-bentuk keberagamaan tersebut. Seperti dinyatakan oleh Ibn
‘Arabi, sufi abad ke-13: Hatiku telah mampu menerima berbagai bentuk: (AYS Sumber: jalal-center) |