Islam dan Pembangunan PolitikDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Ayatullah Muhammad
Taqie Misbah Yazdi
Sebelum kemenangan Revolusi Islam Di Iran pun, isu “Islam
dan Pembangunan” sudah digulirkan dalam peta politik Barat tersebut. Para
perancang konspirasi ini mengklaim bahwa Islam adalah agama qona’ah dan
penghematan, sementara pembangunan adalah cermin kemajuan dan pemanfaatan
kekayaan sebanyak mungkin. Oleh karena ini, Islam tidak bisa kompromi dengan
pembangunan. Islam tidak akan mampu menampung ide pembangunan dan kemajuan.
Dan, karena kita mau tidak mau harus berkembang dan maju, maka Islam atau
setidaknya bagian-bagian tertentu dari Islam yang bertentangan dengan ide dan
proses pembangunan harus kita bekukan. Dalam hal ini, diangkatlah isu ‘Korelasi Budaya dan
Tehnologi’. Yakni, isu yang berusaha menciptakan opini bahwa setiap tehnologi
itu menyimpan budaya yang khas. Dan, dimana saja tehnologi itu masuk ke suatu
negara, secara otomatis budayanya pun turut masuk ke dalamnya. Maka itu, kita
hanya mempunyai dua pilihan; menerima tehnologi dengan segenap budaya yang
dikandungnya, atau sama sekali menolak secara mutlak tehnologi berikut
budayanya. Dan, karena tehnologi itu diperoleh dari dunia Barat, maka mau tidak
mau budaya pun harus datang dari sana pula. Isu pembangunan dan pengembangan politik (politic
development), yang pada awal mulanya diketengahkan oleh kaum elite lalu
digunakan oleh kalangan ahli ekonomi dan pemikir, telah merebut posisi penting
dalam bidang politik. Kenyataannya, isu ini masih menyimpan begitu banyak
kerancuan dan keterselubungan. Bahkan, bisa kita katakan bahwa isu pembangunan
politik tidak terdefinisikan secara cermat dan tegas. Kendati demikian, perlu
diingatkan di sini bahwa isu ini terdiri atas dua kata; pembangunan dan
politik, dimana masing-masing pengertiannya bisa memperjelas maksud dari isu
tersebut. Pembangunan (development) yaitu suatu kerja yang dilakukan
oleh seseorang atau suatu badan atau seluruh masyarakat dengan memanfaatkan
sarana-sarana, alat-alat yang terbaik, dengan mendasarkan pada perencanaan yang
matang, sehingga bisa tercapai tujuan secepat dan sebaik mungkin. Setidaknya, ada dua aspek dalam pengertian di atas; aspek
kualitas dan aspek kuantitas. Kata ’secepat mungkin’ mengisyaratkan aspek
kuantitas, yakni jangka waktu pencapaian tujuan, dimana kesamaan kepentingan
kita dengan kepentingan masyarakat akan melahirkan partisipasi massa seluas
mungkin untuk mencapai kepentingan itu. Adapun kata ’sebaik mungkin’ menunjuk
kualitas, yakni cara pencapaian tujuan, dimana kualitas ini akan bermakna dalam
kaitannya dengan perangkat-perangkat dan dengan sisi normatif penggunaannya
serta tujuan yang dimaksudkan. Politik yaitu kepemimpinan secara damai ataupun paksa atas
lalu lintas hubungan antarindividu, kelompok, partai, kekuatan-kekuatan sosial
dan fungsi-fungsi pemerintahan di dalam sebuah negara, juga hubungan-hubungan
antarnegara dalam skala internasional untuk mencapai tujuan dan kepentingan
masing-masing negara sebuah bangsa atau kelompok tertentu. Oleh karena ini, pembangunan di bidang pilitik adalah
kepemimpinan dan kepengaturan atas hubungan-hubungan antarindividu dan kelompok
serta fungsi-fungsi pemerintahan, dan hubungan-hubungan luar negeri antarnegara
yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Jelas, kendati adanya kesamaan dalam sebagian persoalan,
tujuan-tujuan masing-masing negara ini lumrah berbeda-beda. Umpamanya di negara
kita, Iran, tujuan itu ialah memenuhi kesejahteraan materi dan ekonomi yang
disertai dengan pertumbuhan budaya dan pembangunan spitirualitas serta dominannya
nilai-nilai Islam. Lebih singkatnya, memenuhi kesejahteraan duniawi dan ukhrawi
warga yang bisa direalisasikan dengan menjalankan hukum-hukum dan
batasan-batasan Islam. Atas dasar itu, postulat gagasan pengembangan politik
terletak pada aspek kualitas dan aspek kuantitas, yaitu partisipasi rakyat
sebanyak mungkin dalam kegiatan politik dan pemahaman mereka sebaik mungkin
akan urusan-urusan politik. Hanya saja, pengertian ini pada jaman sekarang,
sebagaimana slogan-slogan lainnya, telah dijadikan alasan dan pembenaran oleh
Imperialisme, dimana mereka dengan menyodorkan definisi dan ciri-ciri khas
tertentu dari pengembangan politik ini, berusaha mencerabut identitas dan jati
diri kebangsaan dari negara-negara yang merdeka dan mempunyai budaya dan
ideologi yang khas, khususnya ideologi Islam, dan menyiapkan peluang untuk
operasi penyerangan budaya. Adapun isu pembangunan politik yang merupakan gabungan dari
dua kata; pembangunan dan politik, adalah konsep abstraksial yang bisa
didefinisikan sesuai dengan ciri-ciri khasnya. Ciri-ciri khas ini menunjukkan
bahwa sebuah negara bisa menilai bahwa dirinya itu berada di tingkat apa dalam
pencapaian pembangunan politiknya; berada pada tingkat pertumbuhan
lembaga-lembaga kemayarakatan ataukah berada pada tingkat pembangunan yang
labil dan keruntuhan lembaga-lembaga. Sebagian ahli politik, seiring dengan penekanannya atas
peran partisipasi politik dalam proses pembangunan, menjadikan pelembagaan dan
strukturisasi sebagai standar tunggal pembangunan politik. Atas dasar ini,
sebagian sistem politik dinyatakan telah berkembang jika telah melengkapi
dirinya dengan lembaga-lembaga yang sudah stabil dan terstruktural. Oleh karena
itu, salah satu dari ciri-ciri khas utama dari sistem yang berkembang ialah
adanya lembag-lembaga sosial yang kuat dan mapan. Proses pengembangan politik ini memberikan banyak hasil,
sebagaimana yang disebutkan oleh Leonard Binder, di antaranya: 1. pergeseran identitas; dari identitas agamis menjadi
identitas kebangsaan, dari identitas daerah menjadi identitas nasional. 2. pergeseran legalitas; dari satu sumber transcendental ke
satu sumber nontransendental. 3. perubahan dalam partisipasi politik; dari elite ke akar
rumput, dari keluarga ke golongan. 4. perubahan kriteria jabatan; dari kekeluargaan menjadi
swakarya dan kecakapan individu. Setelah cukup jelas pengertian pembangunan politik, tiba
saatnya kita mengulang kembali pertanyaan terdahulu, apakah pembangunan politik
itu sesuai dengan agama dan sistem sosial Islam ataukah tidak? Sebagaimana yang
telah lalu, bahwa pembangunan politik adalah sebuah pengertian abstraksial yang
didefinisikan sesuai dengan ciri-ciri khasnya. Dari satu sudut pandang, ciri-ciri khas pembangunan politik
bisa dibagi kepada dua tahapan: legalitas dan kompetensi (kesanggupan). Dengan
begitu, berkembangnya sebuah negara ditentukan oleh kemajuan dan pembangunannya
di dua aspek utama tersebut. Legalitas yaitu rasionalitas seseorang untuk memerintah atas
orang atau kelompok lain. Dengan kata lain, legalitas adalah akumulasi jawaban
atas sebuah pertanyaan; mengapa seseorang atau sekelompok manusia mempunyai
wewenang memerintah atas selainnya? Semakin jawaban atas pertanyaan ini cermat
dan rasional, maka pemerintahannya pun dari aspek legalitas semakin berkembang
dan maju. Di tempat lain, ada sejumlah dasar legalitas yang pernah
kami paparkan. Dalam mengkritisi dasar-dasar tersebut, di sana telah kami
tegaskan pula bahwa dasar legalitas yang paling unggul adalah wewenang Tuhan
dalam memerintah dan mengatur umat manusia. Karena, wewenang ini berasal dari
dzat-Nya sebagai Yang Maha Penguasa, Yang Maha Pemilik Mutlak, Sang Otoritas
Penuh dalam kepengaturan cipta (rububiyyah takwiniyyah) dan kepengaturan tinta
(rububiyyah tasyri’iyyah) atas sekujur wujud manusia dan segenap urusan hidupnya. Berdasarkan kebijaksaanan-Nya yang maha sempurna, ilmu-Nya
yang tak terbatas, dan kemurahan-Nya yang tak terhingga, Allah swt. telah
menetapkan aturan-aturan dan arahan-arahan yang mendatangkan kemaslahatan dan
kesejahteraan manusia, di dunia maupun di akherat. Oleh sebab ini, sistem
pemerintahan yang melandaskan legalitasnya di atas pandangan dunia yang
demikian ini adalah sistem sosio-politik yang paling maju dan berkembang. Lain dari pada itu, ada sejumlah dasar dan dampak
pembangunan yang implikasinya mengesampingkan alasan ketuhanan yang
transcendental dari aspek legalitas, dan malahan mengacu pada dasar-dasar
lainnya. Dasar dan dampak yang demikian ini bertolak belakang dengan Islam dan
sistem sosialnya. Maka itu, tidak bisa diterima sama sekali oleh Islam. Adapun pada tahapan kompetensi, yang di dalamnya terdapat
sebagian ciri-ciri khas pembangunan dan ngembangan politik, pandangan dunia
ilahi menuntut bahwa kita harus bergerak di dalam batas-batas hukum Tuhan.
Dengan kata lain, manakala sekumpulan ciri-ciri khas itu atau sebagian elemen
dari satu ciri khas itu melazimkan peneledoran hukum-hukum yang pasti dan tetap
Islam, maka hukum-hukum dan undang-undang Tuhan harus didahulukan. Dan hal-hal
yang bertentangan dengan agama mesti dikesampingkan. Misalnya dan umumnya, salah satu dari postulat dan ciri khas
pembangunan adalah sekularisasi, yakni mentidak-agamakan budaya. Jelas di sini
bahwa postulat dan ciri khas ini sama sekali tidak bisa diterima oleh Islam.
Atau kebebasan pers. Yang kedua ini dapat diterima Islam sejauh tidak
menyebabkan penghancuran dan pemberangusan dasar-dasar agama, nilai-nilai
kehormatan dan kepentingan umum serta ketertiban bangsa. Sebagaimana semaraknya
kegiatan-kegiatan politik sama sekali tidak bisa dijadikan pembenaran atas
upaya merongrong kesatuan dan integritas bangsa serta mendongkel sistem
pemerintahan Islam. Dari sisi lain, sekilas melirik kembali usia 20 tahun
Revolusi Islam Iran menunjukkan bahwa banyak dari ciri-ciri khas pembangunannya
merupakan buah berkah revolusi Islam, dimana sistem Republik Islam ini telah
dikenal sebagai sebuah sistem pemerintahan yang paling populis, paling merakyat
dan paling berpolitis di antara sistem-sistem politik di dunia. Hal itu tampak
dengan bertambahnya hak suara, banyaknya pemilu yang bebas, bertambahnya
partisipasi politik warga dalam berbagai bidang, juga dalam lembaga-lembaga
pengambil keputusan, serta adanya kekebasan pers yang memadai. Semua itu
merupakan berkah-berkah Revolusi Islam yang besar. Di samping itu, sense of obedience (rasa taat) pada
kewajiban-kewajiban agama merupakan faktor yang begitu kuat dan motif yang
berlipat ganda untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan politik seperti;
demonstrasi, pemilu, menjalankan tugas-tugas jabatan pemerintahan, memberikan
bantuan materi dan moril, berperang dan bertahan di front-front peperangan.
Rasa taat itu adalah faktor yang muncul dari kepercayaan rakyat pada citra
keilahian dan keislaman pemerintahan mereka. Tentunya, manakala citra keilahian
dan keislaman itu sudah hilang atau memudar, ketika itu pula mereka tidak akan
menemukan lagi alternative lain. Begitupula, independensi lembaga-lembaga yang berarti tidak
terlibatnya agama dan ideologi dalam kerangka aktivitas dan tujuan
lembaga-lembaga itu, tidak akan dijumpai dalam masyarakat agamis, karena
menganggap agama sebagai sebuah aspek yang terpisah dari ruang lingkup lembaga
tersebut sehingga kita secara total terlepas dari agama dalam bekerja di
lembaga-lembaga itu, dan agama semata-mata dipandang sebagai satu lembaga yang
sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya, anggapan ini sama sekali tidak sejalan
dengan Islam, karena ia adalah agama yang dalam segenap urusan hidup manusia
mempunyai hukum, aturan, dan undang-undang yang sesuai dengan tujuan penciptaan
mereka. Oleh karena itu, Islam adalah agama yang tidak hanya
mendukung pembangunan, pengembangan dan kemajuan di berbagai bidang, tetapi ia
pun menuntut setiap hari yang dilalui umat manusia lebih baik dari hari
sebelumnya. Hanya saja, pembangunan dan kemajuan ini harus berlangsung dalam
kerangka prinsip, batasan, dan hukum Islam. Karena pada dasarnya, kesejahteraan
hakiki manusia di dunia ini, selain juga kesejahteraan di akheratnya, bisa
diperoleh hanya dengan jalan ini. Jika tidak demikian, bukankah kerusakan dan
kebejatan yang begitu beragam, baik yang bersifat kejiwaan, moral, ataupun
pemikiran di Barat sekarang ini, dengan segenap pembangunan dan kemajuan yang
mereka capai, adalah hal yang tidak bisa ditutup-tutupi. Bukti konkret atas gambaran tadi adalah Spanyol pada masa
pemerintahan Islam di sana. Berdasarkan pengakuan orang-orang Barat sendiri,
jika Islam tidak meninggalkan warisan peradabannya di sana, tentu mereka sampai
sekarang dalam keadaan setengah buas dan liar, mereka sama sekali tidak akan
bisa membangun industri dan kemajuan yang ada. Oleh karena itu, sekelompok yang getol menampilkan agama
sebagai penentang dan penghambat proses serta upaya pembangunan, menyisipkan
nama agama dalam isu-isu seperti pertentangan antara tradisi dan modernitas,
lalu menarik kesimpulan bahwa pembangunan dan medernitaslah yang harus
diterima, dan agamalah yang harus dikesampingkan. Atau, komit pada agama dengan
konsekusensi tertinggal dari kafilah kemajuan dan pembangunan. Sesungguhnya
mereka tidak memahami Islam, atau mereka bahkan hendak menghancurkan agama dan
keberagamaan, setidaknya dalam sektor-sektor sosial, serta mengusahakan
dominasi sekuralisme. Perlu dicamkan disini bahwa postulat pengembangan politik
adalah relativitas pengetahuan. Artinya, tidak ada seorang pun dan tidak ada
pemikiran yang mutlak benar. Atas dasar ini, seharusnya bersikap toleran
terhadap pemikiran yang berbeda, karena setiap aliran dan arus pemikiran
membawa sebagian dari kebenaran. Begitupula, pemahaman kita terhadap agama dan
teks-teksnya tidak terkecualikan dari kaidah ini, sebagimana yang
digelindingkan oleh istilah qaroathoye mukhtalif (keragaman pemahaman agama).
Untuk itu, karena sangat tidak realistis atau berbau kental fanatisme, maka
tidak perlu lagi bersikeras membela ha-hal yang dianggap sebagai prinsip-prinsip
dan nilai-nilai agama yang tidak bisa berubah dan diganggu gugat. Menjawab peraguan di atas ini perlu ditegaskan bahwa
prinsip-prinsip dan hukum-hukum pasti dan aksiomatis Islam adalah hal-hal yang
tetap dan mutlak. Dan, berdasarkan sahihnya dalil-dalil yang menunjukkan atas
semua di atas itu, maka tidak lagi menyisakan satu peluang pun untuk pemahaman
yang beragam. Bahkan, pada prinsipnya, jika kita pandang Islam tidak mempunyai
serangkaian prinsip dan hokum yang mutlak dan tetap, maka sesungguhnya tidak
akan ada lagi yang bisa disebut Islam. Rangkaian Konspirasi Budaya Pembangunan
Pertanyaan yang perlu diangkat di sini adalah, adakah maksud
terselubung dan konspirasi sebagian pihak dibalik isu pembangunan politik
ataupun isu-isu semacamnya di masa sekarang? Untuk memperjelas hakikat
upaya-upaya di atas, begitupula siasat-siasat untuk mencapai tujuan-tujuan di
balik semua itu, mula-mula saya akan mengingatkan sedikit latar belakang dari
transformasi dan perjalanan Barat setelah revolusi industri. Semangat penjajahan Barat pada dasarnya bisa diusut dari
jaman revolusi industri di sana, kendati sebelum itu, di Eropa ataupun di
antara bangsa-bangsa di dunia terdapat kecondongan upaya penaklukan dan
penguasaan atas bangsa lain. Yaitu, jaman di mana mereka telah mampu
menciptakan perangkat, sarana dan alat-alat modern di bawah hubungan segitiga;
ilmu, industri dan teknologi. Pada jaman itu, mereka mampu memproduksi aneka ragam barang
perlengkapan dan peralatan yang begitu murah dari segi pembiayaan produksi. Dan
dengan menjual barang-barang itu dengan harga mahal, mereka mampu meraup
keuntungan dan kekayaan yang melimpah. Dengan meningkatnya laba dan pada
gilirannya modal, sektor investasi untuk kegiatan produksi pun semakin marak.
Dan ini menjadi sebuah faktor untuk mendapatkan laba dan modal lebih banyak
lagi. Dengan begitu, lewat perputaran modal dan produksi, gudang kekayaan
mereka semakin sesak dari hari ke hari. Tetapi dari sisi lain, dengan meningkatnya produksi
(penawaran barang) muncul masalah besar; kekurangan bahan-bahan mentah untuk
produksi, dan kurangnya tingkat permintaan dibandingkan dengan penawaran
produk. Dua faktor ini membuat negara-negara Barat berfikir untuk melakukan
ekspansi dan penjajahan atas negara lain, sehingga dengan demikian mereka bisa
mendapatkan bahan-bahan mentah dan membuka pasar-pasar baru. Watak penjarahan dan penjajahan ini berlangsung sejak abad
ke delapan belas sampai abad ke sembilan belas. Pada masa itu, orang-orang
Barat mulai dibenturkan lagi dengan persoalan lain, yaitu kurangnya
sumber-sumber alam dan lemahnya daya beli negara-negara jajahan mereka. Dari
sisi lain, tehnologi dan alat canggih yang diimport memerlukan ahli-ahli untuk
tehnik pengggunaan tehnologi dan alat tersebut. Untuk itu, mereka memutuskan untuk meningkatkan daya beli
juga taraf pengetahuan dan keahlian negara-negera jajahan. Dalam rangka itu,
mereka melakukan dua langkah: pertama; mereka memberikan utang, fasilitas, dan
kemudahan ekonomi kepada negara jajahan itu dan mendirikan lembaga keuangan semacam
IMF, dan kedua: merekrut putra-putra bangsa negara jajahan dan membeasiswakan
mereka ke pusat-pusat pendidikan Barat seperti Inggris, Jerman, dan Prancis. Langkah kedua ini dilakukan dengan motif membina
teknisin-teknisin yang mampu menggunakan jenis-jenis peralatan dan perlengkapan
importir. Sebagaimana langkah pertama dimaksudkan untuk meningkatkan daya beli
masyarakat di negara-negara jajahan, sehingga produk-produk mereka bisa
diimport dan dipasarkan lebih banyak lagi di negara-negara itu. Dengan begitu,
pasar-pasar Barat pun bisa tetap bertahan marak sebagaimana sebelumnya. Tetapi, startegi ini tidak selalunya menguntungkan
penjajahan. Karena, sebagian dari pelajar-pelajar jebolan Barat yang kembali ke
negaranya malah memikirkan kemerdekaan dan perjuangan. Mereka menuntut
penjajahan asing agar secepatnya hengkang, dan inilah sebagai babak baru
perlawanan yang mulai menggelinding sejak akhir abad sembilan belas dan
memuncak pada abad ke dua puluh. Berbagai macam perjuangan semangat kemerdekan itu telah
dilakukan dan, pada akhirnya, Barat sampai pada kesadaran bahwa sebaiknya
bersikap agak realistis. Lalu, mereka menyodorkan ide “hubungan” ketimbang
“penjajahan”. Dengan cara itu, mereka mampu mencuri kesempatan dan peluang dari
Negara-negara jajahan itu di masa-masa kemudian. Di antara intrik-intrik itu
ialah pembentukan Negara-negara persemakmuran (Common Wealth) yang ditawarkan
oleh Inggris, sehingga negara-negara jajahan inggris itu yang sekarang
mendapatkan kemerdekaannya menjadi ‘kawan’ Inggris di bawah nama tersebut.
Dengan demikian, penjajahan sesungguhnya tetap berlangsung meski dengan modus
lain. Walhasil, semangat perjuangan kemerdekaan semakin memanas
dan bergejolak dari hari ke hari. Tentunya, keadaan ini menuntut Imperialisme
merumuskan strategi yang lebih cerdas lagi guna mempertahankan hegemoninya. Di
sinilah tampak jelas bagaimana penjajahan terbuka mengganti jubahnya dengan
penjajahan terselubung. Salah satu dari rangkaian strategi mutakhir mereka ialah
menciptakan unsur-unsur dan partai-partai politik di dalam negara-negara
jajahan yang telah merdeka, atau sedemikian rupa mereka turut andil dalam
proses pembentukkan sebagian partai, ormas dan lembaga-lembaga sosial, sehingga
bahkan orang-orang partai itu sendiri tidak merasakan adanya campur
tangan-tangan asing dan upaya mengendalikan mereka. Dengan mengangkat slogan-slogan anti Imperialisme dan
kepenjajahan, mereka berusaha mengumpulkan masa di sekitar mereka. Dengan
slogan itu pula, partai pun menjadi eksis kokoh. Berikutnya, orang-orang partai
itu sendiri yang memulai mengulurkan tangan kepada tuan-tuan asing mereka.
Dengan demikian, kepentingan-kepentingan pihak-pihak asing dipenuhi oleh
putra-putra bangsa itu sendiri. Dengan berlalunya masa dan bertambahnya pengalaman,
orang-orang Barat sampai pada kesimpulan bahwa kelanggengan dan pengakaran
kepenjajahan serta penyalahgunaan hubungan-hubungan dengan negara-negara lain
bergantung pada dinamika budaya dan ideologi negara-negara tersebut; dimana
tidak hanya pola pikir dan cara pandang individu itu berubah, yang diikuti
dengan merebaknya gaya hidup individualis, konsumeris, dan kapitalis
sebagaimana yang berlaku di Eropa dan Amerika, juga bahkan sistem pemerintahan
yang berkuasa di negara-negara tersebut diusahakan untuk bergantung penuh pada
penggunaan dan pengandalan peralatan-peralatan dan tehnologi-tehnologi dunia
Barat, belum lagi mentalitas rakyatnya dibuat minder dan kerdil di hadapan
pembangunan dan kemajuan mereka. Jika dua tujuan di atas ini bisa dicapai, kekuasaan mereka
niscaya terjamin kelanggengannya. Namun, salah satu dari faktor penghambat
pencapaian tujuan itu di dunia Timur adalah budaya Timur yang berlandaskan pada
kecenderungan zuhud dan semangat kebersamaan. Untuk ini, mereka menyiapkan
senjata penyerangan budaya yang sedemikian rumit. Dalam hal ini, diangkatlah isu ‘Korelasi Budaya dan
Tehnologi’. Yakni, isu yang berusaha menciptakan opini bahwa setiap tehnologi
itu menyimpan budaya yang khas. Dan, dimana saja tehnologi itu masuk ke suatu
negara, secara otomatis budayanya pun turut masuk ke dalamnya. Maka itu, kita
hanya mempunyai dua pilihan; menerima tehnologi dengan segenap budaya yang
dikandungnya, atau sama sekali menolak secara mutlak tehnologi berikut
budayanya. Dan, karena tehnologi itu diperoleh dari dunia Barat, maka mau tidak
mau budaya pun harus datang dari sana pula. Kenyataannya isu ini telah menunjukkan kegagalannya di
Jepang. Mengapa? Karena orang-orang Jepang kendati secara terbuka masih
menerima serangan-serangan budaya Barat, mereka tetap menjaga dan mempertahankan
adat istiadat, nilai-nilai ketimuran, serta budaya bangsanya. Dengan begitu,
mereka telah mampu mencapai kemajuan yang luar biasa pesatnya, bahkan mampu
melampaui pencapaian orang-orang Barat sendiri. Sebelum kemenangan Revolusi Islam Di Iran pun, isu “Islam
dan Pembangunan” sudah digulirkan dalam peta politik Barat tersebut. Para
perancang konspirasi ini mengklaim bahwa Islam adalah agama qona’ah dan
penghematan, sementara pembangunan adalah cermin kemajuan dan pemanfaatan
kekayaan sebanyak mungkin. Oleh karena ini, Islam tidak bisa kompromi dengan
pembangunan. Islam tidak akan mampu menampung ide pembangunan dan kemajuan.
Dan, karena kita mau tidak mau harus berkembang dan maju, maka Islam atau
setidaknya bagian-bagian tertentu dari Islam yang bertentangan dengan ide dan
proses pembangunan harus kita bekukan. Pada hari-hari ini pun, suara-suara parau senada ini kerap
kita dengar dalam forum ceramah ataupun dalam media cetak. Suara-suara yang
menekankan pola pikir dan pemikiran demikian ini yakni upaya menampilkan Islam
sebagai penentang ide dan proses pembangunan. Upaya-upaya yang mengangkat
isu-isu seperti; pertentangan antara tradisi dan modernitas, keniscayaan kritik
atas tradisi, dan semacamnya, semua itu digelindingkan dalam rangka mengusung
pemikiran itu. Kendati kajian terperinci atas hubungan Islam dan pembangunan
membutuhkan ruang yang khusus, tetapi perlu ditegaskan di sini bahwa Islam
tidak hanya menyambut pembangunan dan kemajuan, tetapi juga menuntut hari-hari
umatnya lebih baik dari hari sebelumnya. Hanya persoalannya, pembangunan dan
kemajuan yang diinginkan oleh Islam itu yaitu kemajuan dan pembangunan yang
berjalan di dalam batas-batas nilai dan hukum cemerlang Islam, sehingga dapat
menjamin kesejahteraan dunia dan akherat manusia. Maka, sama sekali tidak ada keharusan logis antara
pembangunan dan menerima budaya Barat. Sebagai contoh, di masa barbarisme Barat
yang buas, umat Islam ketika itu tampil sebagai pelopor ilmu pengetahuan dan
pembangunan di dunia. Bahkan, sebagaimana yang diakui oleh orang Barat sendiri,
jika Islam tidak meninggilkan warisan peradabannya di sana, sebagiamana yang
dijumpai di Spanyol, mereka sekarang ini hidup setengah buas dan liar. Mereka
sama sekali tidak akan mencapai kejayaan dan kemajuan teknologi seperti
sekarang ini. Kini, terdapat kalangan-kalangan yang mendukung pemikiran
yang berusaha menampilkan sikap anti Islam terhadap pembangunan. Meraka
berusaha dengan cara yang sangat terselubung menebarkan pemikiran ini di tengah
masyarakat Islam, bahwa pembangunan dan kemajuan ekonomi selalunya disertai
dengan pembangunan politik dan budaya. Di sini, kami menemukan persepsi yang khas dari isu
pembangunan politik dan budaya di atas, yang berdasarkan persepsi ini, fungsi
isu ini sejalan dengan haluan dan tujuan sistem sosial Islam. Tetapi, apa yang
dimaksudkan oleh sebagian dari penulis dan penceramah dari istilah-istilah
tersebut ialah memaksakan dan menunggangkan budaya Barat atas budaya Islam.
Pembombardiran media-media massa atas opini dan mentalitas publik muslim, serta
buku-buku dan teori-teori ilmiah di pusat-pusat pendidikan tinggi dari satu
sisi, dan kanalisasi pemikiran siswa-siswa jebolan luar negeri yang telah
menamatkan pendidikannya di berbagai bidang seperti; Ekonomi, Sosiologi, Hukum
dan ilmu-ilmu politik, untuk kemudian kembali ke negaranya dengan mentabligkan pemikiran-pemikiran
Barat dengan bahasa ibunya dari sisi lain, semua itu adalah bagian dari
penyerangan budaya Barat dan upaya menggiring negara mereka kembali pangkuan
penjajahan. Begitu juga, dengan berbagai metode dan cara telah
disosialisasikan dua pilihan; yakni tertinggal dari pembangunan dan kemajuan
peradaban atau mengesampingkan sentimen dan fanatisme agama, dan bersikap lunak
dan toleran, acuh tak acuh dalam permasalahan ekonomi, politik yang kadangkala
agama menjadi pengganjal dalam bidang-bidang itu, sebagaimana yang selalu di
tekankan dan diyakinkan oleh mereka. Dalam pada itu, Negara-negara bekas jajahan itu mendapatkan
pinjaman sedemikian besar dari IMF dan Bank Dunia. Dan, dengan menyediakan
peluang untuk penanaman modal luar negeri dan membuka sektor-sektor bebas,
mereka mendapatkan modal yang cukup untuk kegiatan produksi. Lantaran
lembaga-lembaga keuangan dan ekonomi dunia itu tidak begitu saja meminjamkan
ataupun menanamkan modal di suatu Negara; tanpa syarat-syarat tertentu yang
mengikat, mereka harus mengendorkan semangat komitmen pada sebagian
prinsip-prinsip dan nilai, untuk kemudian bisa mendapatkan fasilitas dan
kemudahan-kemudahan ekonomi dari pihak-pihak asing. Dalam persoalan-persoalan budaya pun, disosialisasikan sikap
toleran dan lapang dada. Karena, dengan cara inilah kita bisa berintegritas dan
masuk dalam pergaulan masyarakat internasional, dan mendapatkan kedudukan di
tengah mereka. Jika tidak demikian, maka sesungguhnya sikap bersikeras,
mempertahankan prinsip dan nilai mutlak kita di dunia ini, malah akan
mengasingkan dan mengucilkan diri kita sendiri di dunia ini. Oleh karena itu, dogmatisme harus dikesampingkan dengan
mengedepankan sikap lunak dan liberal, serta berusaha menghindar dari cara
berfikir absolutistik, sehingga jika ada segolongan orang yang melecehkan
hal-hal yang kita percayai sebagai kebenaran, tidak seharusnya kita menunjukkan
reaksi sebegitu tegas. Padahal dalam Islam, yakin menempati posisi yang tinggi.
Dalam ayat dan riwayat, para peyakin diangkat sampai pada kedudukan yang paling
luhur. Sebaliknya, ragu dan skeptisme yang merupakan salah satu dari
nilai-nilai dunia Barat sekarang adalah hal yang tercela dan terlarang dalam
padangan Islam. Konsekuensinya, komitmen pada prinsip-prinsip dan asas-asas
Islam merupakan salah satu nilai tertinggi manusia muslim. Maka itu, isu-isu seperti pembangunan politik telah menjadi
salah satu senjata penyerangan budaya musuh-musuh untuk pemecahbelahan, dan
sebuah celah untuk membabat habis nilai-nilai Islam dan revolusi serta mengikis
rata sentimen dan kepekaan religius dan revolusioner rakyat, sehingga seiring
dengan hancurnya akherat mereka, dunia merekapun kembali di bawah imperialisme
Barat. Di sini, tepat sekali untuk diusahakan secermat mungkin
mengetangahkan isu dan istilah ini demi mencapaian tujuan-tujuan sistem
pemerintahan Islam oleh pihak-pihak yang tulus, dan oleh mereka pula dijelaskan
dengan motif pencapaian tujuan-tujuan tersebut, tanpa meneledorkan
langkah-langkah preventif atas penyalahgunaan isu dan istilah semacam ini lewat
kajian-kajian khusus dan mendalam.[afh] Sumber: Islam Syiah |