Apokaliptisisme Dan Teokrasi AmerikaDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Prof. Abdul Hadi. W.
M.
Sebenarnya sudah lama masyarakat AS tahu bahwa Bush adalah
seorang pengikut fundamentalis Kristen yang fanatik. Ia adalah anggota jemaah
Gereja Southern Baptist Convention, sebuah gereja yang semula tidak begitu
menonjol di Amerika. Sampai tahun 1980an keberadaannya kalah menonjol misalnya
dibanding Gereja Advent, Mormons, Pantekosta, dan Presbyterian. Semua gereja
ini masing-masing telah pula melahirkan kelompok-kelompok fundamentalis yang militan
dan radikal. Tetapi setelah Bush memegang tampuk pemerintahan, gereja yang
berpusat di selatan itu tumbuh menjadi gereja Protestan terbesar di Amerika. Tidakkah kaulihat
pemerintahan demokrasi di Barat American Theocracy (2006) karangan Kevin Phillips yang
pernah diperdebatkan beberapa waktu lalu di harian Republika memang buku yang
menarik dan relevan. Sayang, dalam perdebatan sesaat itu, masalah
mendasar yang merupakan isi buku itu tidak dibahas secara mendalam. Kini adalah
saatnya untuk membahas buku yang kontroversial dan membuat banyak pengamat
politik terbungkam. Ada tiga hal saling terkait dibahas Kevin Phillips.
Pengalamannya sebagai ahli strategi politik Partai Republik selama lebih dua
dasawarsa, ditambah pengetahuan yang luas tentang sejarah agama di
Amerika, memungkinkannya dapat menjelaskan banyak hal berkaitan dengan
pemerintahan Bush. Khususnya pengaruh fundamentalis Protestan terhadap
politik luar negeri AS di Timur Tengah. Pertama, berkaitan dengan kedudukan AS sebagai
‘imperialisme minyak’ ( petro imperialism) yang berdampak buruk
bukan saja bagi perdamaian dunia, tetapi juga merisaukan rakyat AS sendiri.
Untuk mengamankan minyak dunia, AS harus menempatkan ribuan tentaranya di
berbagai penjuru dunia yang dipandang strategis. Ini memerlukan biaya besar,
yang sulit diramal sampai kapan bisa dipertahankan. Kedua, Philiips menguraikan
panjang lebar kuatnya pengaruh fundamentalis Kristen yang radikal dalam
pemerintahan Bush. Motif AS menduduki Afghanistan dan Iraq, memberikan dukungan
penuh kepada Israel, dan mengancam Iran, bukan hanya disebabkan ingin menguasai
minyak dunia. Motif lain yang tersembunyi bersifat keagamaan, yaitu keinginan
untuk mewujudkan “impian apokaliptik” yang melekat dalam dogma Kristen
fundamentalis. Ketiga, keleluasaan menggunakan kartu kredit selama
beberapa tahun terakhir ini telah menyebabkan semrawutnya situasi keuangan
AS. Dari tiga hal itu, masalah yang berkaitan dengan ‘impian
apokaliptik’ AS menguasai Timur Tengah dan Dunia Islam yang belum banyak
dibahas di Indonesia. Terhadap masalah inilah karangan kecil ini akan
dipusatkan. Kata-kata ‘apokaliptik’ (apocalyptics), berasal dari kata
Yunani apokaluptein yang berarti wahyu, penyingkapan, atau yang
disingkapkan melalui pewahyuan. Apa yang disingkapkan itu ialah tanda-tanda
datangnya akhir zaman berupa kejadian-kejadian dahsyat dan kerusakan besar disebabkan
ulah Sang Perusak yang disebut Antichrist (orang Islam menyebutnya Dajjal).
Untuk menyelamatkan umatnya yang beriman Isa Almasih akan turun dan memulihkan
kembali kerajaan Tuhan di muka bumi dengan Yerusalem sebagai ibukotanya. Bukit Zaitun di Palestina diyakini sebagai tempat pemunculan
kembali Isa Almasih. Sebagai Messiah atau Juru Selamat, Almasih akan turun jika
Antichrist muncul dan membuat kekacauan di seantero dunia. Aliran paling
radikal yang disebut “post-milleniarisme” percaya bahwa kedatangan Antichrist,
dan demikian juga Almasih, bisa diusahakan dengan membuat kekacauan di negeri
yang menjadi tempat turunnya Isa Almasih. Menjelang akhir zaman, menurut
keyakinan ini, Perang besar antara bala tentara Antichrist dan Isa
Almasih diramalkan akan meletus di Megido atau Armagedon, Palestina. Antichrist
akan dikalahkan dan orang-orang Yahudi yang insaf akan berbondong-bondong
memeluk agama Kristen. Kita tahu Yerusalem pernah diduduki pasukan Perang Salib
I pada akhir abad ke-11 M, namun dalam Perang Salib II awal abad ke-12, pasukan
kaum Muslimin di bawah pimpinan Sultan Salatin dapat merebutnya kembali dan
menguasainya hingga berakhirnya Perang Dunia II. Berbeda dengan apokaliptisisme Yahudi. Rabi-rabi Yahudi
yakin bahwa Yerusalem kelak menjadi ibukota Israel, kerajaan yang dijanjikan
Tuhan untuk bangsa Yahudi sebagaimana dituturkan oleh nabi-nabi mereka. Impian
itu telah tertanam dalam jiwa bangsa Irsael sejak abad ke-6 SM, namun belum
kunjung terealisir sehingga mereka berusaha menduduki dan menguasai Yerusalem.
Pada tahun 1967 pare arkeolog Israel menemukan batu besar di dekat Masjid
al-Aqsa yang mereka yakini sebagai salah satu bekas fundamen Kuil
Sulaiman. Kini Israel menggali terowongan menuju Masjid al-Aqsa untuk
mencari batu-batu bekas fundamen Kuil Sulaiman yang lain. Mereka yakin jika
kuil Sulaiman dapat dibangun kembali Mesiah mereka akan turun untuk membantu
bangsa Yahudi mendirikan kerajaan Israel di tanah yang telah dijanjikan. Jika kita hubungkan ini dengan kata-kata yang selalu diulang-ulang
Bush dan dilontarkan secara lantang, seperti crusade (perang salib), axis
of evil (poros Iblis) dan Islamic fascist (Islam fasis), akan jelas
bahwa semua itu berhubungan dengan kepercayaam apokaliptik atau apokaliptisisme
yang hidup di kalangan kelompok-kelompok fundamentalis Kristen dan Yahudi. Sebenarnya sudah lama masyarakat AS tahu bahwa Bush adalah
seorang pengikut fundamentalis Kristen yang fanatik. Ia adalah anggota jemaah
Gereja Southern Baptist Convention, sebuah gereja yang semula tidak begitu
menonjol di Amerika. Sampai tahun 1980an keberadaannya kalah menonjol misalnya
dibanding Gereja Advent, Mormons, Pantekosta, dan Presbyterian. Semua gereja
ini masing-masing telah pula melahirkan kelompok-kelompok fundamentalis yang
militan dan radikal. Tetapi setelah Bush memegang tampuk pemerintahan, gereja
yang berpusat di selatan itu tumbuh menjadi gereja Protestan terbesar di
Amerika. Dari kalangan radikal gereja inilah lahir para penginjil
(evangelist) yang radikal dan fundamentalis. Mereka sangat giat dalam
kehidupan politik, khususnya dalam menghimpun dana dan dukungan bagi pencalonan
Bush dalam kampanye pemilihan presiden AS 1998. Sejak itulah keberadaan gereja
ini dikenal luas dan jumlah jemaahnya bertambah besar melebihi gereja Protestan
lain. Gereja ini juga giat mengirim para misionaris ke
negeri-negeri kaum Muslimin setelah 1998, khususnya ke daerah-daerah yang
bergolak seperti Iraq, Afghanistan, Indonesia, dan Sudan. Kelompok radikal
dalam gereja menyebut aliran keagamaan mereka sebagai reconstructionism.
Mereka berpendapat bahwa pemisahan negara dari gereja merupakan mitos dan salah
besar dilihat dari sudut doktrin Kristiani. Mereka bercita-cita mendirikan
negara teokrasi ala Taliban di Afghanistan dalam bentuk lain. Mereka inilah
yang berhasil menjadikan Southern Baptist Convention menjadi gereja paling
menonjol di AS dalam dasawarsa 90an, aktif menggalang dukungan untuk pemilihan
Bush sebagai presiden. Kedekatan Bush dengan kelompok ini telah lama terjalin,
yaitu sejak Bush menjadi gubernur Florida. Sebelum Bush menjadi presiden, kelompok rekontruksionalis
ini kurang dikenal oleh masyarakat AS, apalagi kesungguhan ikhtiarnya untuk
mewarnai kehidupan politik. Tetapi melalui kegiatan yang digerakkan oleh para
penggiatnya yang militan dan berduit, beserta jaringan organisasi dan
medianya seperti Theocracy Watch, the Public Eye, the First Amandment
Foundation, majalah Church & State, organisasi American United for
Separation of Church and State, kiprah mereka lantas dikenal oleh khalayak
luas. Dalam mempengaruhi pemerintahan Bush, kelompok ini tidak melakukannya
secara langsung. Tetapi melalui perantaraan lembaga-lembaga gereja seperti
Southern Baptist Convention sendiri, serta lembaga-lembaga Protestan lain
seperti the Assemblies of God, Promise Keepers, the Christian Broadcasting
Network, the Christian Coalition, Council for National Unity, dan lain
sebagainya. Kaum rekonstrukionis menentang aborsi dan perkawinan sejenis
(pasangan lesbian atau homo). Mereka menghendaki pelajaran agama (Kristen
Protestan) dihidupkan kembali di sekolah umum dengan tujuan menyadarkan
masyarakat akan kelarasan (relevansi) hukum Tuhan yang diajarkan Bibel. Pada
tahun 2004 mereka menguasai kepemiminan Southern Baptist Convention. Arah
kebijakan luar negeri AS ternyata memang ikut dipengaruhi oleh pandangan
kelompok rekonstruksionis ini. Bahkan dapat dikatakan bahwa Bush merupakan
jurubicaranya yang paling lantang. Bukti kuatnya pengaruh kepercayaan apokaliptik kepada Bush
telah dikemukakan. Kosa kata ‘poros Iblis’ dan lain-lain berakar dalam
pemikiran apokaliptik mereka. Tidak hanya itu, adalah berkat kegiatan kelompok
ini maka kepercayaan apokaliptik kian berkembang dalam masyarakat Amerika.
Kejadian-kejadian di dunia bakda Perang Dingin ikut memperkuat keyakinan ini di
kalangan penduduk Amerika, tidak hanya di kalangan penganut Protestan. Mereka
yakin bahwa Isa Almasih atau Yesus Kristus yang merupakan juru selamat akan
hadir kembali pada awal millenium keetiga atau abad ke-21. Sampai sekarang tidak sedikit orang Kristen meyakini
hal itu. Menurut poll yang dibuat majalah Newsweek pada tahun 1999, tidak
kurang dari 18 prosen penduduk AS yang dewasa (36 juta) meyakini ramalan
tersebut. Karena itu tidak mengherankan apabila pada tahun 1999 ratusan orang
Kristen dari berbagai penjuru dunia, terbesar dari AS, berkumpul di Bukit
Zaitun menunggu kehadiran sang juru selamat. Kita juga ingat betapa jutaan orang pada akhir tahun 1999,
terutama di AS, dengan penuh kecemasan menunggu saat tibanya tahun 2000. Mereka
mengkuatirkan datangnya Y 2 K Bug yaitu kekacauan disebabkan rusaknya jaringan
dan sistem komputer yang akan berdampak luas dan menimbulkan chaos untuk
beberapa waktu lamanya, terutama organisasi keuangan dan sistem keamanan di
dunia. Pada saat itu pula jutaan orang Kristen dan Yahudi menunggu munculnya
tanda-tanda kedatangan Dajjal sekaligus messiah. Tragedi 11 September 2001 atau
runtuhnya gedung WTC di New York akibat ditabrak dua pesawat yang dibajak
teroris, tambah meyakinkan bahwa Antichrist telah datang. Melalui pertanda ini
mereka yakin pula bahwa tidak lama lagi Isa Almasih akan turun untuk kedua
kalinya di bumi. Berdasarkan makna etimologisnya seperti yang telah
dikemukakan dalam awal tulisan ini, perkataan apokaliptisik bisa diberi arti
sebagai “penyingkapan tanda-tanda tersembunyi berkenaan dengan datangnya akhir
zaman melalui pewahyuan.” Berbeda dengan pengakuan profetik (nubuwa) terhadap
eskatologi yang menggunakan ta’wil atau penafsiran simbolik, pengakuan
apokaliptik didasarkan atas penafsiran harfiah terhadap teks-teks suci
dalam Perjanjian Lama dan Baru. Karena itu pandangan apokaliptik meyakini bahwa
pada akhir zaman peristiwa-peristiwa besar yang tersembunyi, yang akan
menimbulkan bencana dan kerusakan total, akan disingkap oleh Tuhan kepada umat
manusia. Teks-teks apokaliptik ini merangkum uraian tentang peristiwa
masa depan, dan pada umumnya lahir pada masa-masa terjadinya krisis besar dalam
kehidupan politik. Menurut Smithals (2004) tujuannya ialah untuk meneguhkan
keyakinan penganut Kristen dengan menyingkap kerusakan yang dilakukan penguasa
atau kaum yang dipandang durjana secara religius. Di dalamnya juga terdapat
janji kemenangan bagi orang yang beriman (orang Yahudi kepada Messiah yang
merupakan keturunan Daud, orang Kristen kepada Isa Almasih). Kepercayaan semacam ini terdapat dalam semua agama, termasuk
Islam, Hindu dan Buddha. Dalam tradisi agama Semit, mula-mula orang Yahudilah
yang mengembangkannya dengan mencampurkannya dengan prinsip-prinsip eskatologi
Zoroaster dan Gnostisisme Yunani. Titik awal perkembangannya dapat
dilacak pada peristiwa dihancurkannya kerajaan Israel oleh Nebukadnesar dari
Babylonia pada abad ke-6 SM yang menyebabkan ribuan orang Yahudi dibuang ke
Babylon. Pada abad ke-2 SM ketika terjadi Perang Yunani yang menyebabkan mereka
gagal mendirikan kerajaan di tanah yang dijanjikan, dan terutama pada
pertengahan abad ke-1 SM ketika pasukan Romawi menduduki Palestina (Syria,
Yordania, Libanon dan Palestina sekarang), apokaliptisisme Yahudi mencapai
kematangan dan menemukan bentuknya yang muktamad (definitif). Kepercayaan seperti itu tumbuh pula pada masa-masa
berikutnya di kalangan orang Kristen dan Islam, karena banyaknya orang Yahudi
memeluk agama ini dan memasukkan kepercayaan mereka di kalangan Kristen dan
Muslim yang awal. Dalam perkembangannya, apokaliptisisme tidak hanya mengambil
corak religius, tetapi tidak jarang bercorak sekular. Terutama setelah zaman
Pencerahan pada abad ke-18 di Eropa yang melahirkan paham-paham seperti
rasionalisme, humanisme, idealisme, materialisme, evolusionisme, dan lain-lain.
Ia juga bisa merupakan pandangan pribadi dan kelompok. Aspek negatif dan
positif, serta kekaburan pandangan, kerap berbaur dan lebur dalam kepercayaan
ini. Pesimisme dan optimisme bisa pula muncul darinya, tergantung bagaimana
orang menyikapi dan menindaklanjuti gagasan-gagasan yang terdapat dalam
kepercayaan ini. Tema tentang apokaliptisisme banyak dijumpai dalam karya
sastra dan lukisan, dan pada abad ke-20 dalam film, lagu, tayangan
televisi, novel-novel popular dan serius. Di antara film-film apokaliptik
termasuk The Day After Tomorrow, Armageddon, The End of Evangelion, The Road
Warrior, dan lain-lain. Lagu popular bernada apokaliptik ialah Last Day on
Earth (Duran Duran), Progenies of the Great Apocalypse (Dimnu Borgir) dan King
of the World (Steely Dan). Novel atau fiksi termasuk serial Left Behind (Tim
LaHaye dan Jerry B. Jenkins), Its Only Temporary (Eric Shapiro) dan Survivors
(Zion Ben-Jonah). Ia juga mempengaruhi kehidupan politik, misalnya
melalui gerakan Zionisme Kristen yang menggagaskan berdirinya negara Israel
pada abad ke-20. Gerakan-gerakan lain yang muncul dari buaian
apokaliptisisme di antaranya ialah milleniarisme, pietisme, salvasionisme,
messianisme, mahdisme, transhumanisme, dan lain sebagainya. Gerakan-gerakan
keagamaan terkenal yang berpegang teguh pada apokaliptisisme selain Zionisme
Kristen ialah The Qumran Essenes, The Millerites, The Jehovah’s Witness
(Kesaksian Yehova), The Seventh Day Adventist. Gerakan-gerakan ini pada umumnya melahirkan pandangan hitam
putih yang ekstrim. Terlebih apabila menjelma sebagai gerakan politik. Kawan
dan lawan, rekan dan musuh dibedakan secara tegas. Musuh selalu dipandang
sebagai kelompok yang berada dalam poros kejahatan. Tidak jarang ia melahirkan
paham konspirasisme. Dalam pandangan ini lawan boleh dituduh sebagai agen
kekuatan jahat yang berkonspirasi dengan agen jahat lain untuk menghancurkan
keberadaan kelompok mereka yang berpihak kepada kebaikan seperti demokrasi,
pluralisme, kebebasan, dan lain-lain. Demikian kita lihat betapa kepercayaan eskatologi yang
bercorak apokaliptik berakar kuat terutama dalam Protestanisme. Ini tidak
mengherankan karena sejak awal Gereja Katholik mengambil sikap kritis terhadap
apokaliptisme. Mereka memandang bahwa eskatologi yang terdapat dalam kitab suci
dimaksudkan sebagai ajaran untuk mendorong penganut Kristen menyongsong masa
depan melalui sakramen. Keselamatan hanya bisa diperoleh setelah manusia mati
melalui penyucian diri (purgatory) dan penebusan dosa sewaktu seseorang masih
hidup. Sebaliknya panganut apokaliptisisme berpegang pada pendirian bahwa
eskatologi kitab suci mengandung makna yang mengharuskan manusia berperan aktif
untuk mencapai tujuan yang dimaksud melalui gerakan-gerakan yang mampu merubah
keadaan. Kemenangan gereja Katholik atas kekaisaran Romawi pada abad
ke-5 M membuat lunturnya kepercayaan ini di kalangan penganut Kristen di Eropa
hingga abad ke-13 M. Tetapi dengan munculnya gerakan reformasi pada abad ke-15
M, dan terutama dengan munculnya Protestanisme pada abad ke-16 M,
apokaliptisisme bangkit kembali dan tumbuh subur di kalangan penganut
agama Kristen. Kebangkitan itu ditandai antara lain dengan tampilnya
sekelompok teolog yang tidak puas terhadap kehidupan agama yang dikuasai Gereja
Katholik. Mereka merasakan penguasa gereja berlaku tidak adil dan bertindak
sewenang-wenang terhadap tokoh-tokoh gerakan reformasi. Paus yang akan datang
malah mereka gambarkan sebagai Antichrist. Pada masa Reformasi, Martin Luther – pendiri
Protetanisme – pernah memaklumkan bahwa akhir zaman sudah dekat. Karena itu dia
menyerukan agar kaum pembaru (reformis) segera mengambil langkah tegas untuk
menyelamatkan dunia seraya menyongsong datangnya Isa Almasih. Walaupun pada
akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 M pengaruh apokaliptisisme ini agak
memudar berkat pengaruh humanisme dan rasionalisme, tetapi kelompok-kelompok
Kristen fanatik masih berpegang pada dogma tersebut. Misalnya seperti tampak
dalam gerakan Anabaptis. Gerakan ini berusaha mendirikan kerajaan Tuhan melalui
jalan kekerasan. Dampak buruk dari kepercayaan ini di Jerman telah mendorong
lahirnya Article XVII Konfesi Augsburg yang menyatakan bahwa kepercayaan
apokaliptik sebenarnya merupakan doktrin agama Yahudi. Karena itu untuk
beberapa waktu lamanya kepercayaan apokaliptik menjadi luntur. Tetapi pada akhir abad ke-18 bersamaan dengan bangkitnya
kesadaran akan sejarah, apokaliptisisme tampil kembali dalam pentas keagamaan
di Eropa. Ketika itulah lahir apa yang disebut sebagai Teologi Penyelamatan
atau Salvasionis. Ajaran kelompok ini didasarkan antara lain pada dua buah buku
karangan Hess berjudul Life of Jesus (3 jilid) dan Of the Kingdom of God:
An Essay on the Plan of God’s Prarsions and Revelations. Di Amerika apokaliptisisme mendapat penerimaan luas
lagi di kalangan orang Protestan yang pada umumnya berasal dari negara-negara
Anglo Saxon. Pada abad ke-19 M kepercayaan ini melahirkan banyak aliran-aliran
keagamaan. Dan berdasarkan kepercayaan apokaliptik ini pulalah salasilah
fundamentalism berpucuk dan kepada pendukungnya pula sebutan fundamentalis
dinisbahkan. Menurut Smithals Dictionary of the Hitory of Ideas (2004),
berkembangnya apokaliptisisme di Amerika bermula dengan munculnya kelompok
Adventis dan gerakan kesaksian Yehova atau Yahwe. Di antara pokok ajaran
kelompok ini ialah bahwa seorang yang beriman harus meyakini kehadiran Roh
Kudus dalam diri manusia dan kedatangan Isa Almasih untuk kedua kalinya di
dunia ini, Kecuali itu ia harus meyakini bahwa isi Bibel itu sepenuhnya
benar, karena ia merupakan satu-satunya kitab yang diwahyukan. Berdasarkan kepercayaan itu William Miller, pendeta
yang merintis lahirnya kelompok Adventis pada abad ke-19, meramalkan bahwa Isa
Almasih akan turun kembali ke dunia antara tahun 1843-4. Teolog lain Charles T.
Russel mengemukakan bahwa Isa Almasih muncul secara rahasia pada tahun 1874 dan
akan mulai mewujudkan misinya pada tahun 1914. Berdasarkan pengakuan
Russel inilah Gerakan Kesaksian Yehova lahir. Tetapi kebangkitan akan kepercayaan ini dalam arti
sebenarnya bermula pada awal abad ke-20. Yaitu ketika Dwight L. Moody, seorang
evangelis atau penginjil terkemuka, menerbitkan serial buku kecil yang diberi
judul The Fundamentals pada tahun 1910. Tulisan-tulisannya merupakan
tanggapan dan kritik keras terhadap berkembangnya teologi liberal dan
sekularisme di AS. Berdasarkan judul serial buku Moody ini sebutan
fundamentalisme terhadap gerakan keagamaan radikal diambil. Pada tahun 1919 sebuah kelompok garis keras dalam
Protestanisme muncul pula mendirikan sebuah organisasi diberi nama
World’s Christian Fundamentals Association. Setahun kemudian sempalan
dari gerakan ini mengumumkan sikap anti modernisme. Curtis Lee Lavis,
editor majalah Watchman Examiner (terbitan Gereja Baptis) menyebut kelompok ini
sebagai kaum fundamentalis. Dasar-dasar ajaran Moody, yaitu keyakinan
terhadap hadinya Roh Kudus dalam diri manusia dan kedatangan kembali Isa
Almasih untuk kedua kalinya kelak, lantas dijadikan asas teologi Gereja Baptis. Namun di antara buku abad ke-20 yang paling
berpengaruh ialah Evangelische Kommentare (1968) karangan Moltman. Di situ
teolog terkemuka itu menggagaskan sebuah Teologi Harapan, Dalam bukunya itu dia
mengajarkan bahwa semua kekuatan Kristen Protestan harus ditumpukan untuk
mencapai tujuan apokaliptik sejarah, oleh karena kebangkitan Isa Almasih
merupakan tanda berakhirnya dunia dari cengkraman penderitaan, ketakadilan dan
kefanaan. Menurut Moltman, “Revolusi sosial disebabkan keadaan tidak adil adalah
hasil dari pengamatan yang seksama atas harapan melalui kebangkitan kembali Isa
Almasih”. Tetapi menurut Joel Carpenter, gagasan kaum
fundamentalis itu berkembang bukan semata-mata disebabkan penentangannya
terhadap modernisme, liberalisme dan sekularisme. Juga bukan semata-mata
disebabkan persoalan politik. Terlalu sederhana jika suatu gerakan keagamaan
yang besar dan dominan muncul disebabkan paham-paham duniawi yang tidak terlalu
sukar ditransformasikan dan diberi sifat keagamaan. Fundamentalisme keagamaan,
menurut Carpenter, berakar dalam ide-ide keagamaan yang telah berkembang di
Amerika pada abad ke-19. Ia memberi contoh Pantekosta, sebuah aliran keagamaan
yang populis dan menonjol pada abad ke-20. Pantekosta memperoleh banyak pengikut justru karena
menekankan pada kepercayaan bahwa Roh Kudus bisa dipanggil hadir ke dalam jiwa
seseorang melalui doa-doa dan nyanyian. Aliran ini juga yakin bahwa apabila
seseorang telah kerasukan oleh Roh Kudus, maka dapat menjadi sarana untuk
menyampaikan apa yang ingin dikemukakan oleh Roh Kudus. Seperti Gereja Baptis,
Pantekosta berkembang menjadi gerakan keagamaan besar karena keberhasilan
mengumpulkan uang dri setiap jemaahnya, misalnya sepersepuluh dari hasil yang
diperoleh dalam bisnis atau pekerjaan lain. Sepanjang tahun 1920 – 1960 gerakan fundamentalisme
mengalami perkembangan yang cukup menakjubkan. Tetapi lebih menakjubkan lagi
perkembangannya dalam dasawarsa 1990an, terutama sejak Bush terpilih menjadi
presiden AS pada tahun 1998. Daya tarik utamanya adalah apokaliptisisme dan
milleniarisme yang diajarkannya. Tetapi Bratcher dalam artikelnya
“Doomsday Prophets” (The Voice, 14 Agustus 2006) menyatakan bahwa oleh karena
penganut kepercayaan apokaliptik ini beranggapan bahwa kejahatan itu datang
dari luar golongan mereka, maka gerakan mereka tidak jarang muncul sebagai
gerakan yang egosentris dan arogan, serta merasa bahwa hanya kelompok mereka
saja yang benar. Umat atau golongan agama lain dipandangnya sebagai serba jahat
dan merupakan sumber utama kerusakan di muka bumi. Untuk kepuasan diri sendiri, kata Bratcher lagi,
Tuhan diminta segera campur tangan melalui doa, sedangkan mereka wajib
melakukan persiapan-persiapan yang memadai untuk menyongsong datangnya akhir
zaman. Padahal eskatologi yang sebenarnya, kata Bratcher lagi, justru
mengajarkan agar kita ini berbuat adil dan benar untuk mencapai keselamatan,
serta saling mencintai, tawadduk dan benar-benar tunduk kepada kemauan Tuhan.
Kejahatan adalah masalah internal manusia, dan bisa muncul di lingkungan
penganut agama atau ideologi apa saja tidak terkecuali Kristen, Yahudi dan
Islam. Dalam sejarah agama Yahudi, sebagaimana telah dikemukakan
wacana apokaliptisisme tumbuh subur sejak abad ke-6 SM ketika kerajaan Yahudi
di Palestina diserbu Babylonia (Iraq sekarang) dan mereka hidup penuh
penderitaan dan keputusasaan dalam pembuangannya di kerajaan Nebukadnesar itu.
Harapan dan janji kemenangan yang berulang kali disampaikan oleh nabi-nabi
mereka, walaupun tidak kunjung terpenuhi akibat hambatan-hambatan politik dan
keagamaan, dari waktu ke waktu memperkuat keyakinan mereka bahwa tanah
yang dijanjikan dan kedatangan messiah atau juru selamat di Palestina pasti
akan terpenuhi juga. Yang dianggap sebagai peletak dasar epokaliptisisme
Yahudi ialah Ezekiel, Jeremiah dan Zefaniah. Ezekiel mengatakan bahwa Tuhan
identik dengan wahyu dalam kitab suci. Dengan demikian turunnya wahyu adalah
juga merupakan kehadiran Tuhan di tengah umat manusia. Karena pandangan
apokaliptik tertulis dalam kitab suci, maka sebenarnya Tuhan sendirilah yang
menyingkap tanda-tanda datangnmya akhir zaman berikut ketentuan waktunya.
Zefaniah mengatakan bahwa Tuhan menjanjikan bagi Bani Israel tanah atau negeri
yang di atasnya Messiah akan mendirikan kerajaan yang megah dan membebaskan
bangsa Yahudi dari penderitaan. Meskipun ramalan itu tidak kunjung memperlihatkan
kenyataan selama berabad-abad, dan setiap kali direvisi, namun kepercayaan
apokaliptik tentang tanah yang dijanjikan itu semakin tertanam jauh dalam lubuk
jiwa penganut agama Yahudi. Seperti orang Kristen mereka yakin bahwa messiah
akan turun di Palestina dan mendirikan kerajaan Israel di tanah yang
dijanjikan itu dengan Yerusalem sebagai bukotanya. Adapun messiah itu bukan Isa
Almasih seperti diyakini penganut agama Kristen, tetapi salah seorang dari
keturunan Nabi Daud yang perkasa dan dianugerahi mukjizat oleh Yahwe. Isa
Almasih dalam keyakinan orang Yahudi justru adalah Dajjal sang Perusak
Agung. Di bawah pengaruh eskatologi Persia atau Zarathustra,
sejarah dipandang bergerak dalam putaran waktu menuju eskatologi apokaliptik,
yaitu keadaan penuh kekacauan pada akhir zaman. Ketika itulah Tuhan akan
memberi pertolongan kepada bangsa Yahudi dengan dihadirkannya Messiah. Dengan
demikian dalam apokaliptisisme Yahudi, sejarah dipandang sebagai sesuatu yang
berjalan dan berkembangnya waktu secara linear dengan tujuan tertentu, yaitu
membawa bangsa terpilih menuju kemenangan. Inti apokaliptisisme Yahudi dapat diringkas sebagai
berikut: (1) Tuhan mempersiapkan tanah yang dijanjikan; (2) Sebelum janji itu
terpenuhi mereka akan mengalami masa-masa sulit disebabkan diaspora dan
pengasingan, sebelum akhirnya mereka mengalami zaman baru yang akan
menyelamatkan dan membebaskan mereka dari diaspora dan pengasingan; (3) Tuhan
akan mengirimkan raja dan pemimpin kuat sebagai juru selamat yang adalah
keturunan Nabi Daud; (4) Isa Almasih adalah Antichrist atau Dajjal. Berdirinya negara Israel adalah wujud nyata dari
harapan itu dan sekaligus merupakan persiapan menyambut datangnya Messiah.
Jelas sekali, kepercayaan apokaliptik Yahudi bercorak etno-religius. Ibn
al-Qayyim, ahli hadis abad ke-11 M, mengatakan bahwa memang sudah sejak lama
orang-Yahudi meyakini hal ini. Mereka juga yakin bahwa apabila Messiah mengucapkan
doa-doa dan jampi-jampi maka seluruh umat manusia akan tunduk pada bangsa
Yahudi, sedangkan yang menentang akan binasa. Dalam kenyataan, menurut Ibn
al-Qayyim lagi, orang Nasrani justru meyakini bahwa yang dimaksud Messiah
oleh orang Yahudi itu tidak lain adalah Antichrist atau Dajjal. Dalam Islam, baik Sunni maupun Syiah, kepercayaan akan
akhir zaman dan tanda-tandanya juga terdapat. Di kalangan Syiah apokaliptisisme
disebut mahdaviyat atau kepercayaan terhadap turunnnya Imam Mahdi. Tetapi
sekalipun demikian tidak ada yang cenderung berlebihan seperti dalam keyakinan
apokaliptik Kristen. Mereka meyakini bahwa begitu Dajjal –raja diraja
keangkaraan dan kedurjanaan – datang, maka dunia akan menyaksikan malapetaka
dan kerusakan besar disebabkan perbuatannya. Untuk mencegah marajalelanya
Dajjal, Imam Mahdi turun. Peperangan terjadi antara Dajjal dan Imam Mahdi.
Ketika peperangan dahsyat terjadi dan pasukan Imam Mahdi kewalahan, Nabi Isa
a.s. akan turun untuk menyelamatkan dan membebaskan kaum mukmin. Berbeda dengan
eskatologi Kristen yang meramalkan Isa Almasih turun di Bukit Zaitun,
eskatologi Islam mengemukakan bahwa Nabi Isa a.s. akan muncul di sebelah timur
Damaskus, Syria sekarang. Sedangkan Dajjal akan muncul di sebelah barat Isfahan
(Iran) antara Iraq dan Mesir. Pengikut Dajjal adalah kebanyakan orang Yahudi.
Uraian tentang eskatologi dalam Islam secara rinci lebih banyak dikemukakan
dalam hadis. Berdasarkan sumber-sumber hadis, penulis Muslim menyusun
kitab eskatologi atau karya sastra yang memaparkan tentang eskatologi. Salah
satu di antaranya ialah Masa’ilu `abdi’l-Lahi `bai Salam `ila’l-Nabi. Kitab ini
disadur ke dalam bahasa Melayu pada abad ke-17 di negeri Aceh
Darussalam, dengan judul Kitab Seribu Masalah. Secara simbolik dan imaginatif Dajjal digambarkan sebagai
berikut: “Dajal itu turun di negeri Ajam, Ia mengendarai keledai besar.
Jika berjalan di tengah laut, kakinya tidak basah. Segala orang kafir , orang
yang menyembah berhala, Yahudi, Nasrani, dan segala orang yang durhaka bersujud
menyembah Dajal itu. Ia berjalan membawa dua buah bukit, sebuah di sebelah
kanannya berisi segala macam kenikmatan dan segala macam perhiasan, makanan,
minuman, pakaian, gadis-gadis cantik; sebuah lagi di sebelah kirinya berisi
segala macam siksa neraka, ular, kalajengking, dan api yang berkobar-kobar.
Siapa yang percaya dan bertuhan kepadanya dimasukkannya ke dalam surganya itu,
dan siapa yang tiada mau bertuhan kepadanya dimasukkannya ke dalam nerakanya
itu.” (h. 127-133). Rasail atau wacana apokaliptisisme seperti tampak
dalam teks Kitab Seribu Masalah Melayu itu sangat dikenal secara luas oleh kaum
Muslimin di seluruh dunia sejak lama, baik di kalangan Muslim Sunni maupun
Muslim Syiah. Dewasa ini perbincangan tentangnya dihubungkan dengan dua hal,
yaitu gagasan mahdaviyat dan globalisasi. Yang pertama, adalah bentuk
apokaliptisisme sebagaimana dipercaya kalangan Syiah di Iran, yaitu keyakinan
bahwa sebelum Nabi Isa Almasih turun kembali ke dunia terlebih dahulu ditandai
kemunculan Imam Mahdi yang dititahkan memerangi Dajjal. Media internasional,
khususnya yang terbit di AS, mengaitkan dengan tampilnya Iran di bawah
kepemimpinan Ahmadinejad. Perseteruan Iran dengan AS, khususnya dalam era
kepemimpinan Bush, ikut menyebarkan kebenaran terhadap keyakinan kaum
milleniaris.[] Penulis: Tokoh dan Budayawan Indonesia Sumber: Islamalternatif |