Agama Kontra Kebebasan?Sebuah proposisi sederhana menyatakan bahwa Islam adalah
sebuah sistem keyakinan yang mengklaim kebebaasan bagi manusia, terlepas dari
jenis kelamin, ras, budaya, dan lain sebagainya. Tetapi, kita lihat dalam
sejarahnya, di tempat-tempat di mana Islam menjadi agama yang dominan
seringkali masyarakatnya kurang menghargai kebebasan. Baik kebebasan berpikir,
berpendapat atau kebebasan yang lainnya. Pasca teori Francis Fukuyama “The End
of History” dan diikuti oleh teori Samuel Huntington “The Clash of Civilization”,
Islam dipandang sebagai satu kutub yang penting mengimbangi ideologi atau
kontra Liberalisme. Berkenaan dengan isu kebebasan yang diusung oleh kaum
liberal, di sini saya ingin mengajukan pertanyaan tentang apa korelasi agama
dan kebebasan? Apakah agama harus lebih diutamakan atas kebebasan? Atau
sebaliknya, kebebasan adalah pokok dan agama adalah cabangnya? Tentang isu Islam yang dinubuatkan Fukuyama dan
Huntington sebagai kutub ideologi yang menentang Liberalisme akan kita bahas
pada kesempatan mendatang dalam bentuk tulisan runut. Sebagai bahan
perbandingan dan telaah, silahkan Anda membaca artikel terkini “Melacak Akar
dan Manifesto Liberalisme” di site ini. Adapun tentang isu kebebasan dan agama keduanya merupakan
isu yang senantiasa menjadi pembahasan oleh agama-agama semenjak dahulu.
Sebagian orang beranggapan bahwa kebebasan adalah akar dan fondasi sehingga
harus lebih diutamakan atas segala sesuatu, termasuk agama. Karena menurut
anggapan mereka, jika kita menganggap agama sebagai akar segala sesuatu
dan kebebasan diletakkan setelah agama, dengan memeluk salah satu agama
kita tidak akan pernah merasa bebas. Dan memeluk agama, yang menjadi kebebasan
manusia lainnya, akan bernilai dan dapat mendulang ganjaran jika hal itu
dilakukan dalam suasana bebas dan sesuai dengan kemauannya. Dengan demikian, jika posisi kebebasan diletakkan setelah
agama, ini berarti ketika memeluk agama, kita tidak memilih hal tersebut dengan
bebas. Dan akibatnya, perilaku kita dalam memeluk agama tersebut tidak didasari
oleh ikhtiari. Padahal memilih untuk memeluk agama harus berlangsung bebas dan
iman sebagai sebuah perilaku yang bersifat ikhtiari dan memiliki akar dalam
kalbu manusia, tidak layak dipaksakan atas seseorang. Atas dasar ini, Allah Swt berfirman: ”Tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Dan (jalan) petunjuk
dan kesesatan sudah jelas.” Oleh karena itu, kebebasan adalah pokok dan (harus) lebih
diutamakan atas agama.” Dan pada hakikatnya, agama akan berarti jika dinaungi
dengan kebebasan. Dengan demikian, karena agama dilahirkan dari kebebasan,
agama itu tidak berhak untuk membatasi kebebasan. Hal itu dikarenakan oleh
(sebuah realita bahwa) sesuatu yang bersifat cabang tidak mungkin (dapat)
membatasi pokok dan asal-muasalnya. Karena dengan itu, ia akan memusnahkan
kredibilitas dirinya. Atas dasar ini, orang-orang yang hidup di dalam lingkungan
beragama, mereka memiliki kebebasan yang tak terbatas, dan hukum-hukum agama
tidak berhak untuk membatasainya. Sebagian argumentasi di atas benar dan sebagian lainnya
hanyalah sebuah bentuk fallasi belaka yang dengan sedikit perenungan, wajah
aslinya akan tampak. Bagian pertama argumentasi di atas berasumsi bahwa memeluk
agama harus didasari oleh kebebasan (dari pemaksaan), dan hal ini didukung oleh
ayat al-Qur’an yang berfirman, “Tiada paksaan dalam beragama” adalah sebuah
persepsi yang benar. Adapun bagian keduanya yang berasumsi bahwa setelah
memeluk agama pun kebebasan yang harus dihormati dan hukum-hukum agama tidak
berhak utnuk mengikatnya hanyalah sebuah fallasi (mughâlathah) belaka. Demi memperjelas pembahasan, harus diperhatikan bahwa dua
fase pembahasan mengenai kebebasan telah dicampur-adukkan menjadi satu dalam
argumentasi di atas : pertama, fase kebebasan sebelum memeluk agama, dan kedua,
fase setelah memeluk agama. Kebebasan yang merupakan syarat utama sebuah hak
memilih berada di urutan sebelum memilih sebuah agama, dan dengan tiadanya
kebebasan ini, tidak akan terjadi sebuah pemilihan yang bebas. Akan tetapi,
kebebasan setelah memeluk agama, harus direalisasikan dalan ruang lingkup
konstitusi agama tersebut. Dengan kata lain, setelah seseorang memeluk agama dengan
bebas dan atas dasar pilihannya sendiri, pada hakikatnya telah menerima dan
mengamalkan segala hal yang berhubungan dengan agama tersebut, baik yang
berkaitan dengan prinsip dan cabangnya. Dengan ini, sebenarnya ia telah
mempersembahkan dirinya di hadapan perintah dan larangan Allah Swt. Hal ini sebenarnya sering terjadi dalam kehidupan manusia
sehari-hari. Umpamanya, setiap orang bebas mendaftarkan diri menjadi tentara
atau polisi. Akan tetapi, begitu mereka diterima menjadi tentara dan polisi
serta memahami undang-undang yang berlaku di dalam dua angkatan tersebut,
mereka tidak berhak untuk melanggar undang-undang tersebut dan mengambil keputusan
sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Kadang-kadang supaya fallacy ini dapat lebih diterima oleh
masyarakat ramai, mereka memolesnya dengan warna agama dan menjadikan beberapa
ayat al-Qur’an sebagai penguat ideologi mereka. Seperti ayat-ayat berikut ini: “Engkau (Muhammad) tidak berhak untuk berkuasa atas
mereka”. “Kami tidak menjadikanmu sebagai penjaga (amalan-amalan)
mereka dan engkau bukanlah wakil mereka”. “Rasulullah Saw tidak (memiliki tugas) selain menyampaikan
(misi Allah)” “Kami telah menunjukkan kepadanya jalan kebenaran. Sekarang
terserah dia apakah ia bersyukur atau mengingkari”. Barangsiapa ingin (beriman), maka berimanlah, dan
barangsiapa ingin (kafir), kafirlah”. Mereka dengan bersandarkan kepada ayat-ayat tersebut
meneriakkan slogan-slogan kebebasan seakan-akan mereka lebih prihatin terhadap
kebebasan umat manusia daripada Allah. Akan tetapi, merela lupa bahwa di
samping ayat-ayat tersebut di atas, masih terdapat ayat-ayat lain yang
berfirman, “Jika Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sebuah perkara, maka tak
seorang pun dari Mukmin laki-laki dan wanita yang memiliki pilihan dalam urusan
mereka”. Atau ayat yang berbunyi, “Nabi Saw lebih utama terhadap mukminin
daripada diri mereka sendiri”. Dalam menafsirkan ayat tersebut di atas, mayoritas penafsir
memiliki pandangan bahwa pendapat Rasulullah Saw lebih utama daripada pendapat
orang lain. Jika beliau telah mengambil sebuah keputusan, maka mereka tidak
berhak untuk menentangnya. Jika kita pandang sekilas, sepertinya terdapat kontradiksi
antara kedua kelompok ayat tersebut di atas. Akan tetapi, orang yang mengenal
(metode) al-Qur’an dan meneliti konteks (qarînah sebelum dan sesudah ayat-ayat
kelompok pertama, ia akan memahami bahwa ayat-ayat tersebut tidak memiliki
hubungan dengan masalah kebebasan sehingga harus kontradiktif dengan ayat-ayat
kelompok kedua. Ayat-ayat kelompok pertama itu hanya bertujuan untuk
membesarkan hati dan menghibur Rasulullah Saw. Karena sebagai manifestasi
rahmat Ilahi, beliau sangat sedih, risau dan prihatin ketika melihat umat
manusia tidak menerima Islam sehingga sedimikian – karena kesedihan dan
keprihatinannya ini – seolah-olah beliau ingin membinasakan diri sendiri. Untuk menghibur Nabi Saw, Allah berfirman, “Seakan-akan
engkau (karena mereka enggan beriman) ingin membinasakan dirimu sendiri”.
Dengan ini, Allah menurunkan ayat-ayat kelompok pertama demi menenangkan hati
beliau. Atas dasar ini, pandangan yang menyatakan bahwa jika agama
kontradiktif dengan kebebasan, maka agama yang harus dikorbankan, tidak memiliki
sandaran al-Qur’an sama sekali. Ayat-ayat kelompok pertama tidak dapat
dijadikan sandaran bagi statemen mereka, karena penafsiran mereka (terhadap
ayat-ayat tersebut) adalah salah satu contoh praktik tafsîr bir ra`yi. Sumber: Wisdoms4all |