Agama dan Pluralisme : Melawan sebuah distansi kultural




Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99

Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103

Oleh : Karel H Susetyo (ICAS MA Students)

“Hakikat kebenaran telah mewahyukan dirinya dalam kebebasan”
(Martin Heidegger)

a. Prolog

Abad Modern menjadi abad terpenting dalam sejarah kehidupan manusia, ketika secara intens agama-agama saling bertemu dan menampakkan ekspresi serta konflik ketegangan dari pengikutnya antara satu sama lain. Pertemuan di mana agama-agama saling menampakkan keunikan dan universalitasnya yang semakin mengarah kepada eksklusivisme dan sektarianisme, sehingga timbul asumsi-asumsi teologis-politis bahwa telah terjadi perbenturan di antara mereka. Sebagaimana sangat diyakini oleh Huntington, dengan adanya sebuah benturan peradaban antara Barat (sebagai representasi Kristen dan Yahudi) dengan Timur (sebagai representasi Islam) melalui sebuah perebutan kekuasaan dan pengaruh politik-ekonomi dunia, dan akan berujung pada sebuah perang salib baru. Perebutan dan perjuangan atas klaim otoritas tunggal akan kebenaran dan jalan penyelamatan terakhir bagi manusia-lah yang mewujud sebagai titik pecah agama-agama di dunia. Keadaan inilah yang mendorong semakin gencarnya tuntutan atas kesadaran pluralisme agama yang mengatasi perbedaaan konseptual atas sumber-sumber teologis yang dimiliki oleh agama–agama ke dalam sebuah relasi ideal dengan kontekstualisasinya ketika saling berhadapan. Dan adalah sebuah reinterpretasi dinamis teks- konteks atas sumber-sumber teologis-lah yang memecahkan kebuntuan jalan panjang perbenturan tersebut, melalui aktivitas pengungkapan misteri yang terdapat dalam simbol dan teks agama guna memperoleh kebenaran akan maksud dan tujuan Tuhan di dalamnya.

b. Pluralisme: Sejarah dan Perkembangannya

Secara psikologis perkembangan atas gagasan pluralisme lahir sebagai trauma Barat atas doktrin-doktrin yang ketat dari gereja Katolik, yang menyentuh tidak hanya relung religius dari masyarakat melainkan sampai kepada kehidupan sosial dengan mewujudkan dirinya dalam sebuah kekuasaan Negara. Hegemoni Paus dan gereja, pada saat itu justru memunculkan semangat baru dari masyarakat untuk mewujudkan dirinya dalam sebuah Nation-State. Dimulai dengan pemikiran filosofis Machiavelli (The Prince), gerakan ini kemudian memuncak pada pencarian bagi kebebasan sosial dan politik dalam Revolusi Prancis yang agung (1789-1799) dengan semangat “Liberte, Egalite, Fraternite ou la mart”. Sejak saat itulah pluralisme mengejawantah dalam karya-karya dari Rousseau, Voltaire, De Secondat ataupun Montesqiueu.

Akan tetapi pendapat lain juga muncul berkaitan dengan kelahiran gagasan pluralisme, bahwa pluralisme merupakan hukum Tuhan bagi umatNya yang berlaku secara tetap dan abadi, sehingga tidak mungkin untuk dirubah ataupun diingkari. Sebagaimana tercantum dalam Al Quran (49:13) : “Manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai”. Pola pluralitas selalu memerlukan adanya titik temu dalam nilai kesamaan dari semua kelompok yang ada. Sementara dari sudut pandang Islam, mencari dan menemukan titik kesamaan itu adalah bagian dari ajarannya yang sangat penting.

Pluralisme mengandung berbagai macam definisi yang berkembang terus sampai saat ini. Sebagaimana Raimundo Panikkar yang memberikan penjelasan bahwa pluralisme tidak hanya bermakna sebagai sebuah pluralitas belaka ataupun sebuah reduksi pluralitas dari suatu unitas. Sehingga pluralisme bermakna lebih dari sekedar menerima keberadaan realitas plural yang ada di dunia ataupun bukan sekedar memandang pluralisme hanya sebagai sebuah paham tentang pluralitas. Pluralisme agama, dengan demikian menerima aspek irreconcilable dari agama-agama dengan tanpa menutup unsur common aspect yang dimiliki bersama. Sedangkan John Cobb memaknai pluralisme agama dengan menjelaskan bahwa agama-agama lain mungkin berbicara secara berbeda dengan agama kita tetapi tetap dimungkinkan bahwa mereka juga memiliki kebenaran yang sama validnya dengan agama kita. Kebenaran agama, oleh karenanya, tidak dimonopoli oleh satu agama saja akan tetapi bersifat plural.

Hal yang sama diutarakan oleh John Hick yang memaknai pluralisme agama dengan menjelaskan bahwa agama-agama lain adalah jalan yang sama validnya dengan agama yang kita anut, dalam wujudnya untuk mencapai suatu kebenaran. Adalah kultur yang menyebabkan variasi atas respon dan ekspresi dari suatu kebenaran agama berlainan antara satu dan lainnya. Hicks justru lebih menekankan pentingnya sisi soteriologis dari sumber-sumber teologis agama untuk memproduksi moralitas dan etika positif bagi para penganutnya, dengan secara sesungguhnya menuju ke titik akhir yang sama yakni kebenaran dan kebaikan,lebih daripada memperbesar jurang keyakinan bersama. Pandangan Hicks mengenai pluralisme agama ini memiliki sisi lain, selain sisi soteriologis, yakni pluralisme religius normatif sebagai suatu doktrin bahwa secara moral, umat beragama wajib untuk menghargai sesama pemeluk agama lainnya. Pada sisi ini Hicks mengajak seluruh umat beragama untuk mengembangkan semangat toleransi. Sedangkan pada sisi berikutnya Hicks memfokuskan pada pluralisme religius epistemologis, yang dimaknai sebagai tidak ada klaim tunggal atas kebenaran dari sebuah agama saja. Sehingga secara keseluruhan, Hicks mencoba menawarkan paham pluralisme sebagai sebuah pengembangan atas inklusivisme yang dengannya seluruh agama adalah jalan yang berbeda-beda namun menuju satu tujuan yang sama yakni kebenaran dan kebaikan.

Sementara itu, Nurcholish Madjid menerjemahkan pluralisme sebagai suatu sistem nilai yang memandang secara positif – optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Atau dengan kata lain pluralisme dapat dimaknai sebagai sebuah paham yang menegaskan bahwa perbedaan-perbedaan yang ada di antara manusia merupakan sebuah keniscayaan yang harus diterima. Sedangkan Osman lebih menegaskan bahwa pluralisme adalah bentuk kelembagaan di mana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan. Sehingga makna pluralisme lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif. Karena toleransi adalah persoalan kebiasaan dan perasaan pribadi, sedangkan koeksistensi adalah semata-mata penerimaan terhadap pihak lain yang tidak melampaui ketiadaan konflik. Mungkin bisa dikatakan bahwa tidak ada sumber teologis yang dapat menggambarkan secara pasti mengenai Tuhan itu sendiri, keinginan-Nya dan tujuan-Nya, sejak manusia berhubungan dengan Tuhannya melalui wahyu. Dan karenanya sebuah sumber teologis merupakan sebuah kombinasi menarik antara wahyu, narasi sejarah manusia, sastra dan nilai-nilai moral, yang berkembang diantara teks religius dan teks metaforis. Sumber teologis bagaimanapun harus terbuka untuk dilakukan sebuah penafsiran, hal mana sebagai konsekwensi logis atas ketidakmampuan agama-agama untuk mengkomunikasikan secara komprehensif atas seluruh kebenaran yang terdapat di dunia ini. Meskipun seluruh agama berusaha untuk menangkap seluruh realitas dan pasti hal tersebut akan berbenturan dengan segala keterbatasan konteks budaya dan sejarah dari sebuah sumber teologis.

Menurut Crowder, terdapat tiga pemikiran dalam menghadapi konflik yang lahir dari rahim pluralitas, baik nilai, ide, budaya, agama, ras dan etnis, yang berawal dari incommensurability atas ketidak dapat dibandingkannya atas keunikan dari masing-masing komunitas maupun individu. Pertama, Subjectivist yang berasumsi bahwa karena setiap manusia adalah unik, tak dapat dibandingkan atau ditakar dalam wadah tunggal, maka siapapun sebagai subjek, berhak atas putusan hidupnya sendiri. Pemikiran ini cenderung irrasional disebabkan karena akan membenarkan segala alasan yang terlahir dari setiap manusia tanpa batasan tertentu, sehingga menjurus kepada relativisme bahkan berujung pada anarkisme. Pemikiran kedua adalah Particularist yang mencoba mencari jalan keluar atas konflik antar nilai dengan merujuk pada konteks yang berakar pada situasi-situasi konkret yang kemudian mendorong rasionalitas untuk memilah sebuah keputusan nilai atau norma partikular. Tetapi persoalan timbul manakala nilai tertentu yang dipercaya dapat merajut masa depan yang lebih baik, secara serta merta dijadikan jawaban yang final dan sahih di antara nilai-nilai yang ada. Oleh karenanya prinsip ini akan terjebak pada tradisionalisme dan konservatisme disebabkan adanya kekukuhan dan fanatisme atas satu atau seperangkat nilai tertentu, yang akan berimplikasi pada sikap tertutup dan intoleran pada nilai-nilai lainnya yang juga memuat kebaikan dan kebenaran mseki dalam sisi yang berbeda. Pemikiran terakhir adalah Universalist, yang berupaya mengharmonisasikan berbagai nilai-nilai yang ada ke dalam sebuah “Ultimate Value”. Sehingga segenap nilai yang ada ini diseragamkan pada sebuah tujuan tunggal yang bersifat universal dengan melampui ruang dan zaman. Dan kemudian berakhir pada penegasian semesta perbedaan dan keunikan yang terkandung dalam masing-masing nilai, yang masing-masing nilai tersebut menginternalisasi dalam setiap manusia, dengan meringkasnya menjadi satu nilai yang universal.

Dalam tradisi Liberal, jerat relativisme dan monisme yang dikandung oleh gagasan pluralisme diantisipasi oleh Isaiah Berlin dengan menawarkan gagasan value pluralism-nya. Hal mana mengutuk relativisme yang sangat rentan untuk memicu anarkisme nilai dan menolak monisme sebagai bibit dari otoritarianisme politik yang mengental dalam totalitarianisme abad 20. Sehinga value pluralism memberi pijakan pada konsep Liberalisme yang sanggup melindungi sekaligus menjamin hak-hak dan kebebasan sipil, tanpa melahirkan bentuk-bentuk tekanan dan penindasan baru terhadap kebebasan lainnya, sebagaimana secara kronis menjangkiti gagasan Liberalisme klasik, dengan merenggut hak dan kebebasan kelompok minoritas (disadvantage) yang tidak diuntungkan oleh sistem ekonomi dan politik. Menurut Crowder, untuk itu gagasan value pluralism merekomendasikan sebuah tatanan yang dapat menjamin dan melindungi hak dan kebebasan warga dengan mendorong pluralitas nilai dan tujuan yang bertabur di tengah-tengah masyarakat. Namun demikian tatanan mensyaratkan suatu tindakan yang tetap mengakomodir pelbagai kebaikan dan kebenaran nilai yang rasional, di mana hal tersebut sempat tertahan dalam proses pengambilan keputusan bersama melalui mekanisme yang demokratis.

c. Hermenetika dan Liberalisme: Sebuah keniscayaan bagi agama

Ketika manusia mulai “menangkap” Tuhan dalam persepektif simbol dan teks serta mewujudkannya sebagai sebuah lembaga pemaknaan (baca: Agama), seketika itulah dimulai pertemuan sumber-sumber teologis dengan kultur, mitos dan nilai-nilai moral lokal di mana agama itu dilahirkan. Dan disadari atau tidak, agama kemudian kehilangan nilai—nilai universaltasnya dan hanya menyisakan sedikit gagasan atas kebersamaan melalui konsepsi “Kaum kami dan bukan kaum kami”. Karena nilai-nilai moral yang diharapkan mampu menjembatani seluruh perbedaan yang ada justru terjebak dalam ruang sempit konteks dan kultur di mana sebuah agama dilahirkan. Manusia kemudian mencoba melepaskan dirinya dari kungkungan simbol dan teks agama melalui sebuah upaya pembacaan yang bebas. Menyesuaikan dan memenuhi kebutuhan manusia atas sebuah kehidupan bersama sebagai entitas bebas dan tercerahkan. Adalah hermeneutika yang secara sistematis membuka ruang bagi pembacaan bebas dan mengakhirinya pada sebuah kesimpulan bermakna, untuk lebih dari sekedar memahami dan tunduk pada teks agama melainkan menjadikannya berguna bagi kehidupan seluruh manusia. Menyibak kebenaran dimanapun ia tersembunyi dalam simbol dan teks seluruh agama, pada akhirnya justru berakhir pada perolehan suatu kebenaran sebagai sebuah pengetahuan yang hakiki atas Tuhan. Dengan hermenetika, semua bentuk monopoli kebenaran dipertanyakan dan dikonfrontasikan oleh karena makna simbol dan teks terlalu kaya untuk kemudian direduksi hanya menjadi satu kebenaran saja. Hal inilah yang kemudian memercikkan semangat pluralisme agama dalam realitas. Tuhan yang terlalu besar dan kaya, tentunya sangat tidak mungkin direduksi dalam hanya satu tradisi keagamaan saja, yang tentunya sangat terbatas, untuk dapat mengungkapkan dan menggambarkan secara utuh atas-Nya. Dengan demikian Tuhan tetaplah menjadi misteri terbesar dalam sejarah hidup manusia.

Diawali sebagai sebuah gerakan eksegesis dalam lingkungan gereja, Hermeneutika haruslah dipahami melalui dua pengertian, sebagai sebuah prinsip metodologis dan sebagai sebuah bentuk eksplorasi filosofis atas karakter dan kondisi yang diperlukan bagi semua bentuk pemahaman yang terkandung dalam simbol dan teks. Adalah Carl Braaten yang kemudian mengakomodasi kedua pengertian tersebut menjadi satu dengan menjelaskan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang merefleksikan bagaimana suatu kata ataupun sebuah peristiwa pada waktu dan budaya masa lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi kekinian. Menafsirkan teks menurut Ricoeur bukanlah mengadakan suatu relasi intersubjektif antara subjektivitas pengarang dan subjektivitas pembaca, melainkan hubungan antara dua diskursus yakni teks dan penafsiran. Sebuah penafsiran dianggap telah mencapai tujuannya bilamana dunia teks dan dunia penafsir telah berbaur menjadi satu. Sehingga menurut Ricoeur pula, setiap penafsiran adalah juga usaha untuk mendekonstruksi makna-makna yang masih terselubung. Sebagaimana yang juga dipahami oleh Abu Zayd sebagai “Al maskut anhu (yang tak terkatakan)”, dalam metode pembacaan Al Quran. Dan yang terpenting dari kesemuanya adalah perjuangan melawan distansi kultural, sehingga sang penafsir harus mengambil jarak dengan teks agar ia dapat membuat penafsiran bebas. Pengambilan jarak ini juga merupakan suatu bentuk otonomisasi teks karena struktur imanen dari teks itu sendiri. Kegiatan ini melepaskan pesan atas tujuan yang tercantum dalam teks dari situasi awali saat peristiwa diungkap dan dari alamat yang dituju pada saat peristiwa tersebut. Karena terpatri dalam teks, peristiwa tersebut kemudian dapat menjangkau kita sampai saat ini. Sehingga dengan demikian, pengambilan jarak menjadi sebuah tindakan yang membantu pelestarian makna teks dan menghindarkannya dari pelenyapan waktu. Dan tentu secara logis melahirkan konsekwensi atas lahirnya penafsiran-penafsiran selanjutnya, termasuk kritik ideologi dan dekonstruksi. Di mana dengan keduanya pembaca diajak membongkar ilusi, motivasi (baik sadar maupun alam bawah sadar) dan kepentingan kultural dari kelompok penyaji teks. Dengan dekonstruksi, teks-teks agama dibongkar dari seluruh khayalan-khayalan, kepentingan pribadi, golongan maupun motif-motif lainnya dalam suatu proses penafsiran menghindarkan kita dari penyalahgunaan teks-teks agama sebagai legitimasi atas khayalan-khayalan, kepentingan pribadi, golongan maupun motif-motif lain di luar makna esensial teks tersebut. Setidaknya dekonstruksi mampu menyibakkan kepentingan yang disembunyikan dalam proses penafsiran dan bisa ditampilkan dalam kesadaran, sehingga tindakan apapun yang mengatasnamakan agama sebagai legitimasinya tapi tidak menampilkan aspek positif dari agama bisa disangkal kebenarannya.

Sejak awal kelahirannya Liberalisme tumbuh dan berkembang sebagai sebuah kekuatan pendobrak dalam kebuntuan peradaban. Sebagai sebuah paham tentang masyarakat dan negara yang berkembang di Eropa Barat, Liberalisme sangatlah menjunjung tinggi kebebasan sebagai sebuah nilai tertinggi. Adalah semangat Aufklarung-lah yang menjadi roh utama dari lahirnya Liberalisme yang mencakup unsur–unsur dasar ideologis seperti halnya individualisme, rasionalisme dan pandangan dunia deistik. Dalam individualisme, tujuan kehidupan masyarakat didorong melalui perkembangan dan kebahagiaan masing-masing individu dengan kebebasannya. Pada rasionalisme, menolak wewenang otoritas dan tradisi yang menetapkan bagaimana individu harus hidup dan apa yang harus dipercayainya. Sehingga dengan demikian individu memiliki otonomi spiritual-moral yang tidak terbatas dan menempatkan akal sebagai hakim tertinggi dalam hal kebenaran dan nilai moral. Semua bentuk klaim politik, agama dan moral haruslah dapat dipertanggungjawabkan di hadapan akal. Oleh karenanya Liberalisme menentang semua klaim kebenaran eksklusif agama Kristen yang secara otoritatif dikuasai oleh institusi gereja. Adalah John Locke, Hutchenson, Ferguson, Bentham dan Mill yang mengobarkan semangat Liberalisme di Inggris. Kemudian secara bersamaan diteriakkan oleh Montesquieu, Abbe Sieyes, Diderot, Alembert di Prancis dan Kant di Jerman. Gagasan-gagasan mereka-lah yang kemudian menjadi landasan bagi Liberalisme sehingga menjadi kekuatan kultural modernitas paling mumpuni dalam peradaban umat manusia. Liberalisme menjadi kekuatan kultural yang mendesakkan sejumlah agenda bagi peradaban manusia melalui tawarannya atas keterbukaan, kesetaraan dan persaudaraan. Meskipun hal tersebut melabrak sejumlah otoritas beku dari gereja dan para kaum bangsawan, yang secara drastis menjungkalkan keduanya dalam kesulitan-kesulitan.

Seharusnya pada tahapan ini agama mampu melihat Liberalisme sebagai sebuah ideologi yang banyak memperjuangkan toleransi, kebebasan beragama dan non-diskriminasi sebagai sebuah kesempatan untuk menyatakan diri dalam masyarakat modern dan kembali mengambil tanggung jawab dalam kehidupan umat manusia. Meski pada beberapa hal Liberalisme mengalami kesulitan-kesulitan untuk dapat mendukung solidaritas sosial dan masalah pemaknaan, akan tetapi liberalisme sangatlah cocok dengan situasi untuk mendukung terwujudnya pluralisme pasca tradisional di mana kesatuan dalam nilai-nilai dan tradisi-tradisi religius dan moral sudah tidak ada lagi. Dan juga terkadang Liberalisme dapat membenarkan keterbukaan bagi semua, tetapi secara bersamaan pula Liberalisme tidak mampu menjawab bagaimana sebuah keterbukaan itu harus diisi. Agama dalam pandangan Liberalisme menjadi sebuah sikap religius yang penuh dengan keterbukaan. Karenanya agama haruslah terbuka terhadap segala pertanyaan, kritik, sanggahan dan pandangan-pandangan yang berbeda, baik dari luar maupun dari dalam agama itu sendiri. Tetapi agama juga sekaligus menjadi ranah privat yang tidak bisa diintervensi oleh negara sekalipun. Agama menjadi urusan pribadi,di mana wewenang dan otoritas lembaga-lembaga pemaknaan hanya diakui secara terbatas. Pengembangan Liberalisme dalam religiusitas ini menjadi sebuah sikap yang sungguh-sunguh rendah hati tanpa penuh arogansi atas klaim pengetahuan kebenaran sebuah agama. Menjadikan sebuah dasar pemikiran sederhana tentang kebesaran Tuhan yang terlalu teramat besar untuk dapat ditangkap oleh segenap pikiran manusia menjadi rumusan-rumusan hukum agama. Sehingga dengan ini umat beragama sadar bahwa ia tidak akan pernah dapat secara tepat menangkap sabda Tuhan dengan kecerdasannya, karena sabda Tuhan selalu ditangkap dan ditradisikan oleh sosok manusia, yang selalu terbatas secara rasio dan kultural, penuh dengan prasangka, salah paham dan oleh karenanya agama harus selalu terbuka.

Agama sebagai hasil daya tangkap akal dan hati manusia merupakan sebuah institusi pemaknaan atas percampuran unik antara wahyu, narasi sejarah, kesusastraan dan nilai-nilai moral, sangatlah terbatas pada ruang dan waktu. Karenanya terdapat sebuah keterjarakan budaya (distansi kultural) di antara pihak-pihak pendiri sebuah agama dengan para pengikutnya yang hidup beribu-ribu tahun setelahnya. Tentunya berdasarkan hal tersebut sumber-sumber teologis harus dibacakanlebih dari sekedar simbol dan teks semata. Kitab suci harus direinterpretasi dengan pemaknaan kontemporer untuk menjaga kesinambungan wahyu, aturan hukum dan nilai moral pada masa lampau. Adalah Hermeneutika dan Liberalisme menjadi jembatan peradaban atas distansi kultural yang telah berlangsung tersebut. Tanpa adanya perantaraan ini maka agama, meminjam istilah Dennet, hanya menjadi fenomena alam belaka layaknya produk akal manusia sebagaimana politik, ekonomi, teknologi dan lain-lainya. Di mana agama dipandang sebagai sebuah lembaga yang bertanggung jawab menciptakan konsep-konsep gaib, termasuk Tuhan di dalamnya. Dennet juga menanggap bahwa agama manusia saat ini merupakan bentuk evolutif dari agama-agama primitif yang pernah ada, ketika bahasa menjadi sangat sederhana di hadapan agama. Dengan kosakata yang terbatas, agama menjadi sebuah kemewahan bagi manusia. Adalah takdir manusia modern untuk melawan distansi kultural yang terdapat pada agama demi mewujudkan masa depan peradaban manusia yang tercerahkan.

d. Penutup

Pluralisme tidaklah dapat hanya dipahami dengan mengatakan bahwa masyarakat adalah majemuk, penuh dengan keanekaragaman dan terdiri dari banyak nilai-nilai, yang tentu saja akan mendorong kita untuk menangkap kesan fragmentasi yang kental. Tetapi pluralisme juga tidak bisa dipahami hanya sekedar sebuah “Kebaikan Negatif” belaka, yang mencoba menyingkirkan fanatisme dan ortodoksi yang lainnya. Dan karenanya pluralisme harus dipahami sebagai jalan hidup yang memaknai sebuah pertalian sejati keberagaman dalam suatu peradaban. Yang tentunya berakhir pada jalan keselamatan bersama umat manusia, dengan mendasarkan dirinya pada persaudaraan, kesetaraan, pengawasan dan perimbangan guna memelihara keutuhan peradaban manusia. Oleh karena pluralisme menginginkan keharmonisan dari interaksi yang dibangun di atas landasan keragaman dan perbedaan dengan meminimalisir konflik. Karena adanya perbedaan agama-agama, maka pluralisme lebih mencoba untuk menekankan pentingnya mengelola berbagai perbedaan tersebut. Sebab apabila perbedaan itu tidak dapat dikelola, dapat melahirkan konflik yang berasal dari berbagai kesalah pahaman antar manusia. Sebagaimana Osman meyakini bahwa hukum keseimbangan antar manusia adalah sebuah anugerah Tuhan yang paling besar sehingga mampu menghindarkan alam semesta dari kehancurannya. Merupakan suatu keharusan untuk dapat mempertahankan potensi-potensi pada seluruh umat manusia dengan seimbang dan serasi serta menjamin kebebasan beragama bagi setiap manusia. Jalan keselamatan ada pada tiap-tiap agama, karena agama manapun pasti mempercayai adanya Tuhan dan kehidupan setelah kematian serta sama-sama ingin mencari kebaikan dan keselamatan di dalamnya. Sebab untuk apa manusia menganut suatu agama kalau bukan untuk mencari keselamatan?

Tantangan terbesar yang dihadapi oleh agama pada era modern ini bukanlah datang dari kaum ateis, melainkan justru dari para penganutnya sendiri, yang secara lantang meneriakkan Tuhan di berbagai momen-momen kekerasan. Dan dengan atas nama Tuhan pula, para pengikut agama ini melakukan tindakan-tindakan yang justru diharamkan oleh agama. Mulai dari pertarungan Katolik-Protestan di Irlandia, Perang Bosnia-Serbia, Konflik Hindu-Islam di India, Teror gas sharin Aum Shinrikyo di subway Tokyo, Peristiwa WTC 9/11, Teror bom di subway London oleh Hizbut Tahrir, Bom Bali I & II dan Bom Marriot di Jakarta sampai dengan kebangkitan fundamentalisme kristen Jesus camp di Texas, ceramah-ceramah Pat Robertson, Jerry Falwell dan Billy Grahama di Amerika, dan semangat one nation oleh Paulinne Hanson di Australia, yang kesemuanya mengatasnamakan Tuhan dan memaknainya sebagai sebuah tugas suci yang harus dituntaskan, menjadikan agama begitu agresif dan garang. Kekerasan dan agama menjadi sebuah sinonim yang memberi warna hitam pada abad modern ini dengan semburan darah dan hilangnya nyawa manusia secara sia-sia. Sehingga tak pelak lagi kita mulai mempertanyakan: “Untuk apa ada agama kalau para pengikutnya justru saling bertarung dan menghancurkan?” dan “Dimana Tuhan ketika para pemuja-Nya saling berbunuh dan menghancurkan atas nama-Nya? ”. Bukankah Tuhan memiliki kekuasaan untuk menghentikan semua ini? Agama kemudian berkembang dengan rasionalitasnya sendiri yang sangat irrasional bagai penyebaran waham secara masif. Agama seakan bangkit bukan untuk menebar kedamaian tapi justru mengabarkan kekerasan dan permusuhan antar manusia. Agama dan kaum ulama menjadi lemah di hadapan kaum ateis, dengan pertanda awal bahwa bukanlah ateisme yang berbahaya bagi kemanusiaan dan peradabannya melainkan ulama dan agama-lah yang terus menerus menyebarkan pandangan-pandangan obskurantis yang sangat anti kemajuan.

Merujuk pada Harris, Agama adalah sesuatu yang sangat terbuka untuk didiskusikan dan oleh karenanya ia bukanlah sesuatu yang khusus. Kesalahan manusia selama ini adalah selalu menganggap agama sebagai sesuatu yang istimewa, sehingga selalu kita diliputi keraguan dan ketakutan atas lahirnya sebuah konflik dari proses dialog tersebut. Mungkin sebuah pertanyaan bisa mewakili betapa pentingnya pluralisme bagi manusia dan kemanusiaan itu sendiri, “Kalau di masa lampau agama lahir dan berkembang sebagai unsur pemersatu umat manusia dan lebih banyak berbicara mengenai masa depan dan kesejahteraan manusia, lalu kenapa saat ini manusia justru lebih banyak membicarakan agamanya masing-masing dengan berpegang pada masa lampau dan terjerumus dalam perbedaan yang membawa pada konflik ?”.

(Untuk Tuhan semua agama...........)

Referensi :

Berlin, Isaiah, Four essays on Liberty, (Oxford, Oxford University Press), 1992.

__________, Freedom and its betrayal: Six enemies of Human Liberty, (Princeton, Princeton University Press), 2002.

__________, Liberty, ( Oxford, Oxford University Press ), 2002.

Crowder, George, Liberalism and Value Pluralism,( New York, Continuum),2002.

Dennet, Daniel, Breaking the Spell : Religion as a Natural Phenomenon,( New York, Viking), 2006.

Essack, Farid, Al Quran, Liberalisme dan Pluralisme, ( Bandung, Mizan), 2000.

Galston, William, The practice of Liberal Pluralism (Cambridge, Cambridge University Press), 2005.

Harris, Sam, The End of Faith: Religion, Terror and the Future of Reason (New York, Norton), 2005.

Huntington, Samuel P, The clash of civilizations and the remaking of world order, ( New York, Simon & Shuster), 1996.

Kurzman, Charles (ed), Wacana Islam Liberal,( Jakarta, Yayasan Paramadina),2001.

Lyden, John (ed), Enduring Issues in Religion,( San Diego, Greenhaven Press), 1995.

Ricouer, Paul, The conflict of interpretations: Essays in hermeneutics ( Evanston, Northwestern University Press), 1974.

Osman, Mohamed Fathi, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan,(Jakarta, PSIK Univ. Paramadina), 2006.

Paperwork for Philosophy of Religion
Postgraduates Program on Islamic Philosophy
ICAS- Paramadina University
Jakarta, December 2007