Peran Hukum dalam Mengatur KepentinganDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Ditulis Oleh Sayyed Reza Moaddab
Para ulama meyakini pembentukan negara merupakan suatu
kewajiban utama, yang akan mendorong pada koreksi sosial, pengembangan dan
kesempurnaan manusiawi. Untuk itulah, selain menurunkan al-Quran dan
petunjuk-petunjuk hukum, Allah Swt juga telah menetapkan prinsip-prinsip
pendirian negara dan pemerintahan eksekutif. Berdasarkan itu pulalah, dalam
rangka menyebarkan dan menafsirkan wahyu, Nabi Muhammad saw membentuk lembaga
eksekutif dan dewan pemerintahan negara Islam. Menurut para ulama, filosofi pemerintahan adalah untuk
menyiapkan landasan penegakan hukum oleh pihak eksekutif, dan hal ini tentu
saja adalah penalaran yang bisa diterima oleh semua institusi sosial dan
peradaban. Hal tersebut perlu dilakukan karena keberadaan hukum semata tidak
menjamin terciptanya kesejahteraan umat manusia; dengan begitu, pihak eksekutif
yang tanggap harus menyiapkan jalan bagi penerapan aturan undang-undang. Ini
adalah fakta yang tidak terbatasi ruang dan waktu. Mereka (para ulama) meyakini
berdasarkan keniscayaan yang ditetapkan oleh syariat dan akal, sebagaimana
ditekankan pada masa hidup Rasulullah saw berupa pendirian negara dan
pelaksanaannya; hal itu juga berlaku pada masa kini. Berdasarkan konsep yang dijelaskan di atas, perlu dipahami
bahwa berkenaan dengan status hukum, kitab hukum paling lengkap, budaya
berpegang pada hukum, dan konsekuensi-konsekuensinya, para ulama mengemukakan
topik-topik penting berikut ini: 1. Al-Quran sebagai sebuah
kitab hukum; 2. Pentingnya kepatuhan
hukum; 3. Kebahagiaan kaum Muslim
seiring dengan penerapan hukum; 4. Pelanggaran hukum
penyebab keterpurukan umat; 5. Perselisihan dan
kegagalan adalah akibat pelanggaran hukum dan agitasi; 6. Disiplin dan kepatuhan hukum
adalah pangkal persatuan dan kesatuan; 7. Perhatian terhadap hukum
amar makruf; 8. Mencapai kesempurnaan
dengan pemeliharaan hukum; 9. Pentingnya penerapan
hukum skala luas. Al-Quran Sebagai Sebuah Kitab Hukum
Berdasarkan pendapat para ulama, al-Quran adalah kitab
hukum, yang mencakupi semua kebutuhan manusia dan segala hal lainnya. Ini
dikarenakan al-Quran adalah kitab yang mengajarkan kemanusiaan. Segala sesuatu
telah dijelaskan di dalamnya tanpa ada yang terlewatkan. Hal ini secara tegas
dinyatakan dalam al-Quran, Kami telah menurunkan Kitab (al-Quran) ini kepada
kalian sebagai penjelas segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat serta
kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (muslim)., [1] Kalimat �penjelas segala sesuatu� menunjukkan bahwa
al-Quran melampaui semua konsepsi manusia, karena ia adalah kitab hukum
tertinggi. Al-Quran adalah tibyan, atau penjelas, tentu ia mempunyai sesuatu
yang bisa dijadikan petunjuk yang sesuai dengan tujuan pewahyuannya sebagai
pemberi pelajaran bagi umat manusia. Dari sudut pandang ini, al-Quran secara
eksplisit menyatakan semua syarat-syarat yang diperlukan untuk menyiapkan jalan
ini (pembentukan negara). Ahli tafsir kontemporer Allamah Thabathabai menjelaskan
lebih jauh penafsiran ayat di atas sebagai berikut: �Tibyan atau penjelas adalah pernyataan penegas,
karena al-Quran adalah kitab tuntunan, penjelasannya ditujukan untuk semua hal
artinya ia sesuai dengan setiap masalah manusia yang memerlukan tuntunan.
Termasuk di dalamnya pengetahuan tentang awal penciptaan, hari kebangkitan,
akhlak, aturan Ilahi, cerita, dan khotbah.[2] Ini sesuai dengan pandangan para ulama mengenai al-Quran
sebagai kitab hukum terkaya (terlengkap); hukum yang mempunyai akar Ilahiah,
bukan hasil pikiran manusia, karena itu ia terjauhkan dan terjaga dari setiap
bentuk perubahan dan pengurangan. Keabsahan dan keotentikan al-Quran terletak
pada karakter Ilahiahnya, karena itu ia menjadi sumber utama untuk memberi
petunjuk pada umat manusia. Ia adalah kitab yang bermanfaat bagi setiap
orang di mana pun mereka berada, baik di barat maupun di timur, masa lalu,
sekarang, atau yang akan datang. Namun demikian, hanya orang-orang yang telah mengambil
petunjuk darinya saja yang dapat mencapai jalan kebahagiaan. Sebaliknya, mereka
yang menyia-nyiakan kitab paling berharga ini akan menciptakan masa depan yang
suram bagi dirinya sendiri. Karena al-Quran adalah cahaya penuntun, mereka
(orang-orang yang meraih kebahagiaan) akan menyesali orang-orang yang tidak
memanfaatkan tuntunan cahaya Ilahi ini sehingga mereka harus menghuni alam
kegelapan. Ayatullah Musawi mengungkapkannya sebagai berikut, �Wahai al-Quran! Wahai
karunia Ilahi dan malakut! Tuhan semesta alam telah menurunkan engkau bagi kami
untuk menghidupkan hati dan jiwa kami serta membuka mata kami. Engkau adalah
cahaya petunjuk dan penuntun kami menuju kebahagiaan. Engkau bermaksud
meningkatkan derajat kami dari tahap hewani menuju puncak tertinggi
kesempurnaan manusiawi. Sayangnya, hukummu tidak diterapkan di alam ini untuk
merubah alam kegelapan ini menuju alam yang terang benderang karena kedengkian
para tiran yang menganggap dirinya pemuka peradaban. Dengan begitu, setiap
orang bisa meraih kebahagiaan di dunia ini.�[3] Pentingnya Kepatuhan Hukum
Meskipun para ulama meyakini bahwa al-Quran adalah kitab
hukum tertinggi dan termulia, mereka juga menerima bahwa hukum pemerintah juga
mempunyai nilai tersendiri, karena itu patut untuk ditaati jika diturunkan dari
al-Quran. Menurut mereka, undang-undang dan semua hukum yang diturunkan dari
syariat Islam adalah sah dan berharga. Dengan begitu, semua Muslim harus
menjalankan dan melaksanakannya. Mereka menganggap kepatuhan terhadap hukum
Islam sangat diperlukan dan menjadi suatu kewajiban agama. Sebagai contoh,
mereka memperhatikan hukum-hukum itu dan meyakini bahwa dalam negara Islam
setiap orang harus menghormati dan memelihara hukum-hukum Islam. Para ulama berkeyakinan bahwa alasan untuk secara saksama
menjaga hukum dalam negara Islam didasarkan pada kenyataan bahwa hukum-hukum
Islam berasal dari wahyu, al-Quran, dan hadis, yang diturunkan oleh Pencipta
manusia; karenanya, Dia dan kalimat-Nya adalah (hukum) tertinggi dan berada
pada peringkat (hukum) tertinggi. Dasar pemikiran ini diambil dari firman Allah
dalam al-Quran, Kalimat Allah itu adalah kalimat yang tertinggi.[4] Kalimat Allah adalah kalimat tertinggi
dan terunggul. Ahli tafsir besar Thabarsi menginterpretasikan ayat, �Kalimat Allah� dengan makna tauhid
(monoteisme). Dalam ayat al-Quran mengenai kalimat tauhid�sebagai sumber dan dasar
semua aturan-aturan Islam�terdapat penentangan terhadap kekufuran dan kemusyrikan.[5] Kebahagiaan Kaum Muslim Seiring dengan Penerapan Hukum Setiap Muslim yang terpelajar menganggap ketidakberdayaan
dan rendahnya semangat di masa sekarang ini, utamanya dalam menghadapi negara
adidaya, dilatarbelakangi oleh kenyataan tidak diterapkannya dan tidak
dipraktikkannya aturan Islam di negara-negara Islam. Begitu pun, mereka
meyakini bahwa jika semua Muslim di seluruh dunia bertindak dan menjalankan
kehidupan berdasarkan aturan-aturan Islam, kebahagiaan mereka akan terwujud.
Dengan sikap seperti itu, Muslim dan kaum Muslim akan diperlakukan tidak selayaknya,
karenanya mereka tidak berdaya, hal ini terjadi karena mereka tidak menaruh
perhatian pada aturan-aturan Islam dan tidak peduli pada penerapan
aturan-aturan itu. Padahal, al-Quran telah menganjurkan kaum Muslim untuk
mengikuti jalan tersebut, Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah
kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu.[6] Saat ini Islam terasa asing. Aturan-aturan Islam telah
dikesampingkan. Padahal semestinya, al-Quran selalu hadir dalam setiap
perjalanan hidup kita. Al-Quran menegaskan, Dan berpeganglah kamu semuanya
kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai[7]�dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.[8] Ini adalah aturan politik yang sangat
progresif, sekiranya dilaksanakan, niscaya kebahagiaan di atas bumi akan
menjadi milik kalian. Kaum Muslim telah tenggelam dalam keadaan yang gelap
gulita dan ketakberdayaan karena keadaan kaum Muslim telah jauh dari al-Quran.
Keadaan ini menyebabkan nasib kaum Muslim dan negara-negara Islam terpuruk
dalam genggaman para politikus yang kompromistis. Pelanggaran Hukum Penyebab Keterpurukan
Umat
Berkenaan dengan penyebab pelanggaran hukum, para ulama
berkeyakinan bahwa jika umat secara moral tidak dididik dalam sebuah negara
(lingkungan) Islam, mereka merasa tidak terikat untuk mematuhi hukum, dan
korupsi serta pelanggaran hukum akan terjadi dalam masyarakat. Setiap orang
akan menganggap dirinya bebas melakukan perbuatannya, dan karena itu dia bebas
bertindak menurut keinginan dan kecenderungannya sendiri. Dengan sikap seperti itu, mereka akan melanggar hukum dan
akan terjatuh dalam sikap membangkang yang akan menimbulkan kehancuran bagi
diri mereka sendiri. Sebaliknya, pribadi yang terdidik secara moral akan
menyadari dirinya harus mematuhi hukum dan tidak akan pernah membiarkan dirinya
membangkang, melanggar, atau melakukan tindakan penentangan terhadap hukum;
bahkan dia akan senantiasa menghormati hukum meskipun ketaatan itu akan
membatasi kesenangan dirinya. Untuk menegaskan pandangan di atas, para ulama merujuk pada
al-Quran yang secara tegas menyatakan bahwa, Ketahuilah! Sesungguhnya manusia
benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup.[9] Dalam menjelaskan ayat tersebut,
almarhum Allamah Thaba�thabai menjelaskan, �Ayat itu menunjuk pada adanya
ketidakpedulian manusia pada aturan-aturan Ilahi dan syariat yang telah
ditetapkan bagi mereka, karena mereka menginginkan aturan yang lain dan
melanggar batas-batas yang telah ditetapkan bagi mereka; setiap orang yang
menganggap dirinya merasa cukup dari Allah, mereka akan cenderung pada tindakan
pelanggaran.�[10] Sejalan dengan itu, Ayatullah Musawi berpendapat bahwa jiwa
yang cenderung pada perselisihan akan mendorong manusia untuk melakukan
pelanggaran, juga akan mendorongnya untuk berpaling dari aturan-aturan Ilahi
dan melakukan perbuatan buruk; ini adalah hasil dari karakter manusia yang
tidak terdidik secara moral. Lebih jauh, beliau menjelaskan, �Perbedaan di antara
manusia timbul dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa mereka tidak terdidik
secara moral. Tujuan tertinggi Ilahi dalam pengutusan para nabi adalah untuk
mendidik moral manusia. Karena hanya dengan cara itulah, manusia dapat
menemukan kebijaksanaan yang sesuai dengan al-Quran. Pelanggaran hukum tidak
akan terjadi jika manusia terdidik secara moral. Perselisihan (pelanggaran) di
antara manusia berasal dari pembangkangan yang mengotori jiwa mereka.�[11] Perselisihan dan Kegagalan adalah Akibat
Pelanggaran Hukum dan Agitasi
Para ulama berpendapat bahwa titik tolok setiap masyarakat
adalah disiplin, hukum, dan budaya yang memelihara hukum. Hukum berfungsi
sebagai poros kerjasama dan persatuan. Kejayaan sebuah bangsa dapat dicapai
melalui ketaatan mereka dalam menjalankan hukum. Sebaliknya, bangsa apa pun,
yang tidak patuh pada hukum, akan terjebak dalam perselisihan dan ini akan
membawa mereka pada kegagalan dan kekalahan. Sesuai dengan kenyataan masa lalu
kaum Muslim, bangsa Muslim mana pun yang pernah mengalami kekalahan, pasti didahului
dengan bayang-bayang kelam ketidakpatuhan pada hukum dan kurangnya disiplin. Di masa-masa awal Islam, kaum Muslim mendapat kemenangan
gemilang di berbagai medan pertempuran manakala mereka mematuhi perintah
Rasulullah saw sebagai sebuah hukum yang dijamin oleh Allah Swt. Dan manakala,
misalnya dalam perang Uhud, terjadi ketidakpatuhan dan pengabaian terhadap
aturan-aturan hukum, mereka akhirnya menderita kekalahan. Para ulama menjadikan
al-Quran sebagai rujukan mengenai hal ini, yang mana di dalamnya disebutkan,
Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan,
yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.[12] Ayat ini menekankan pada pentingnya
menaati perintah Allah dan rasul-Nya, jika tidak maka kejayaan akan hilang. Ini
berarti bahwa menaati Allah dan rasul-Nya adalah salah satu hukum Islam
terpenting yang jika dilanggar akan membuka jalan bagi keterpurukan dan
kegagalan. Sebab diturunkannya ayat tersebut di atas berkenaan dengan
perang Uhud. Kalimat �la tanaza�u� (janganlah berselisih) menunjukkan larangan pada sikap
berpecah-belah agar tidak menjadi lemah dan menjadi gentar dalam menghadapi
musuh. Konsekuensi dari ketidakpedulian terhadap perintah Rasul Allah saw
adalah kekalahan. Kalimat �tadzahaba rihukum� berarti adalah kejayaan
dan kemenangan kalian akan hilang. Kata rih (angin) secara jelas menunjukkan
bahwa jika kalian menjadi gentar akibat saling konflik, kalian akan menjadi
tidak berarti sehingga suatu hembusan angin akan dapat menerbangkan kalian.
Konotasi ayat ini adalah kekuatan kalian akan hilang.[13]Ayatullah
Musawi berpendapat bahwa aturan yang telah dijelaskan di atas tidak terbatas
pada saat peperangan saja, tetapi aturan itu berlaku sepanjang masa. Beliau
menjelaskan lebih jauh, �Perpecahan dan pertengkaran akan menyebabkan kalian gagal. Wahai
sahabatku, jika kalian menginginkan Islam dan bangsa� maka taatilah perintah
Allah.�[14] Disiplin dan Kepatuhan Hukum adalah Pangkal Persatuan dan
Kesatuan Salah satu hasil yang berharga dan membahagiakan dari
kepatuhan pada hukum adalah terciptanya persatuan dan kesatuan. Kaum Muslim
dalam beberapa kasus telah banyak mengalami kekalahan sepanjang sejarahnya.
Para ulama meyakini bahwa disiplin dan budaya kepatuhan pada hukum akan membuka
jalan pada kesatuan dan persatuan kaum Muslim. Tanpa disiplin, masyarakat
(umat) tidak akan bisa memegang teguh ajaran tauhid dan tidak akan pernah bisa
meraih tujuan-tujuannya. Mereka berkeyakinan bahwa tanpa disiplin, umat akan
kehilangan karakter monoteistiknya. Sebuah masyarakat yang monoteistik
(bertauhid) adalah masyarakat yang di dalamnya setiap orang memperhatikan
kewajiban-kewajibannya masing-masing, mematuhi hukum, dengan satu batasan dan
satu tujuan. Mereka menyadari bahwa ketaatan pada hukum adalah landasan bagi
penerapan sikap egaliter, persatuan, dan kesatuan, sebuah pandangan yang Allah
perintahkan pada semua kaum Muslim untuk dilaksanakan. Ayat al-Quran berikut
menyatakan hal itu, Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah,
dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu
ketika dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan
hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara.[15] Dalam pandangan para ulama, aturan hukum negara Islam adalah
suatu pendorong bagi terciptanya kesatuan dan persatuan, berdasarkan aturan itu
setiap orang akan memperoleh hak-haknya, tanpa merampas hak-hak orang lain.
Tatkala timbul perbedaan, hukum harus menjadi poros, begitu pun ketika terjadi
konflik kepentingan dan keinginan, hukum bisa menjadi penyelamat. Menyadari
bahwa sistem Republik Islam hendaknya tetap dipertahankan oleh rakyat dan para
pejabat di bawah naungan cahaya hukum, Ayatullah Musawi menjelaskan, �Hukum harus dijaga dan
diterapkan karena hukum Islam secara tegas telah menyatakan hal itu dan bangsa
ini telah mendukungnya. Tidak boleh terjadi suatu suku atau kabilah mendirikan
negaranya sendiri, karena perbuatan tersebut adalah perbuatan yang melanggar
hukum. Al-Quran telah mempersaudarakan kalian; ia telah mengikat pakta
persatuan di antara kalian.�[16] Perhatian Terhadap Hukum Amar Makruf Salah satu kelebihan dari masyarakat Islam adalah perintah
saling mengingatkan dalam mengamalkan hukum (amar makruf). Al-Quran menegaskan
hal ini sebagai syarat utama bagi sebuah masyarakat Islam. Para ulama
menganggap kehidupan dan kelanggengan masyarakat Islam tergantung dari
perhatiannya terhadap amar makruf nahi mungkar. Karena itu, memberi peringatan
kepada para pelanggar hukum (nahi mungkar) diturunkan dari pentingnya
menerapkan amar makruf seperti yang telah disebutkan di atas. Al-Quran
menjelaskan hal itu dalam ayat Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat
yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari
yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.[17] Dengan begitu, perbuatan menyeru pada
kebaikan dan pentingnya menyampaikan kebajikan adalah perbuatan yang sesuai
dengan akal, bahkan dalam beberapa kasus menjadi suatu kewajiban agama. Mencapai Kesempurnaan dengan Pemeliharaan
Hukum
Tidak diragukan lagi, akibat terpenting dari penerapan hukum
dalam negara Islam adalah masyarakat akan bergerak menuju kesempurnaan dan
mencapai tingkat peradaban tertinggi dalam pengawasan hukum. Penerapan hukum
Islam menjadi landasan yang tepat untuk mendidik sikap dan kelebihan masyarakat
untuk mencapai kesempurnaan manusiawi tertinggi. Berdasarkan hal itu,
pembangunan masyarakat mana pun akan tergantung pada disiplin dan pemeliharaan
hukum. Pembangunan dan keadilan mempunyai hubungan yang sangat erat.; keduanya
harus diterapkan di bawah tuntunan cahaya hukum Islam dan pemeliharaan hukum. Para ulama senantiasa mengingatkan setiap orang dalam negara
beragama untuk memperhatikan kewajiban-kewajibannya secara saksama hingga
dengan begitu negara Islam mencapai tingkat pembangunan yang diinginkan. Dengan
cara ini, kekacauan sosial, agitasi, dan benturan kepentingan antara tugas dan
kezaliman dapat ditekan.[18] Dalam masalah ini, Ayatullah Musawi menegaskan bahwa, �Jika setiap anggota
masyarakat berusaha untuk memikul tugas dan tanggung jawabnya dengan
sebaik-baiknya, negara ini akan menuju kesempurnaan negara Ilahi. Namun jika
seseorang�mencari keuntungan sendiri�berusaha mencampuri pekerjaan atau
jabatan orang lain, misalnya saat dia menjadi seorang hakim dia juga ingin
bertindak selaku pejabat pemerintahan, maka hal ini akan menimbulkan agitasi
dan kekacauan.�[19] Pentingnya Penerapan Hukum Skala Luas Para ulama senantiasa menekankan pentingnya berpegang pada
hukum dan ketinggian statusnya, karena itu mereka menganggap pelanggaran
terhadap hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan agama. Mereka juga
menegaskan bahwa dalam negara Islam semua hukum harus dihormati, dan setiap
orang hendaknya menjaga agar tidak sampai melanggarnya, sekalipun berupa hukum
lalu lintas, karena itu juga adalah hukum dan dalam hal ini tidak ada perbedaan
antara satu hukum dengan hukum lainnya. Bahkan, mereka menegaskan bahwa Islam
telah memerintahkan setiap individu, dan semua lapisan masyarakat harus
berusaha untuk berpegang teguh pada tali Allah. Berpaling dari perintah ini
adalah perbuatan yang tidak diperkenankan dalam agama. Para ulama percaya bahwa mempertahankan negara Islam adalah
terkait dengan penerapan hukum; karena itu mereka menganggap ketidakpatuhan
pada hukum Islam sebagai sebuah perbuatan yang tidak bisa diterima dan tidak
terpuji. Mereka bersandar pada ayat al-Quran, Wahai orang-orang yang beriman,
jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan...[23] Almarhum Allamah Thabarsi memberi tafsiran ayat tersebut sebagai
berikut, �Allah menginginkan kaum mukmin untuk menegakkan keadilan dan
menjadikan sikap ini sebagai bagian dari karakter mereka baik dalam perkataan
maupun perbuatan.�[24] Selanjutnya, Ayatullah Musawi menekankan pentingnya
mempertahankan Republik Islam dan menyatakan, �Mempertahankan negara
Islam adalah salah satu kewajiban agama.�[25] Tidak hanya itu, di kesempatan lain beliau menegaskan, �Tentu saja, segala
sesuatu harus didasari dengan aturan dan disiplin� Menjaga disiplin adalah
salah satu tugas kewajiban agama. Kedisiplinan ini harus diterapkan di
kantor-kantor pengadilan negara; jangan sampai terjadi seorang hakim bekerja
satu hari dan bolos kerja di hari lain� dalam suatu negara, segala sesuatunya
harus dilandasi dengan disiplin.�[26] Para ulama meyakini bahwa al-Quran adalah kitab hukum
terbaik, yang jika diterapkan akan menciptakan keunggulan kaum Muslim. Dan
sebaliknya, perpecahan dan kekalahan disebabkan oleh kurangnya disiplin dan
ketidakpatuhan pada hukum; seperti itu pula, pelanggaran hukum berasal dari
kurangnya pendidikan moral masyarakat. Untuk itulah, penerapan hukum harus
dipertahankan dan seharusnya dijadikan contoh seruan pada kebajikan (amar
makruf). Untuk membuktikan pandangan yang telah dikemukakan di atas, sejumlah
rujukan al-Quran yang berkaitan dengan ajaran tersebut, sejauh ini, telah
disebutkan. Catatan: |