Khwajah Nashiruddin Thusi dan Pengikut Mazhab Ismailiyah (2)Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Pada bagian ini, kami akan membahas mazhab yang dianut Khwajah Nashiruddin Thusi selama masa tinggalnya dengan para pengikut mazhab Ismailiyah. Farhad Daftari tentang masalah ini mengatakan: Ulama itsna ‘asyariyah yang meyakini bahwa Khwajah Nashiruddin Thusi bermazhab imamiyah tidak mengakui sama sekali kalau beliau bagian dari para pengikut mazhab Ismailiyah dan menolak kebenaran sejumlah kitab Ismailiyah sebagai karya beliau. Sebagian lainnya, seperti yang tercantum dalam biografi para penulis Iran yang sezaman dengan beliau, meyakini bahwa beliau sebagai seorang yang bermazhab syiah imamiyah secara taqiyah menyusun kitab-kitab dan makalah-makalah tersebut sebagai cara untuk melindungi dirinya selama berada dalam tekanan penguasa Nazari.(25) Menurut pernyataan guru Razavi, allamah Hilli tampaknya adalah orang pertama yang mengenal Khwajah Nashiruddin Thusi bermazhab syiah imamiyah.(26) Sedangkan guru Zanjani dengan mengutip keterangan dari kitab Masamiratul Akhbar dan Masayiratul Akhbar tentang mazhab yang dianut Khwajah Nashiruddin Thusi menulis demikian, “beliau benar-benar seorang syiah imamiyah, peninggalan orang-orang terdahulu dan rujukan bagi ulama sedunia dikemudian hari.(27) bagian lanjutan teks tersebut menjelaskan bahwa maksudnya adalah priode sesudah tahun 654 H.Q., artinya, pada masa Muragah, dimana para ulama pun mengakuinya. Mustafa Huseini tentang biografi Khwajah Nashiruddin Thusi menulis sebagai berikut: Syekh Thusi, Nashirul Millah wad Din (penyelamat bangsa dan agama), rujukan para peneliti dan pengkaji, kebanggaan para hakim dan teolog, adalah pemimpin dan tokoh mazhab imamiyah di masanya.(28) Meskipun petikan kalimat “...pada masanya kepemimpinan imamiyah berakhir padanya” termasuk yang ada dalam kitab Naqdul Rijal, namun menunjukan bahwa urusan ini terkait dengan masa akhir kehidupannya dan di masa beliau bebas dari kekuasaan Ismailiyah. Dan kalimat yang artinya “...(beliau) memiliki pengetahuan yang luas seputar persoalan-persoalan rasional dan tekstual” tampaknya dikutip dari ucapan allamah Hilli. Qadhi Nurullah Syusytari pun meyakini Khwajah Nashiruddin Thusi adalah seorang syiah imamiyah, sebagaimana telah disampaikan sebelum ini. Beliau tanpa menyembutkan data-data rujukan mengatakan, Khwajah Nashiruddin Thusi selama hidup bersama para pengikut Ismailiyah mengalami banyak tekanan dan siksaan.(29) Bersamaan dengan itu para penulis kontemporer dengan bersandar pada ucapan-ucapan para pendahulu meyakini bahwa Khwajah adalah seorang yang bermazhab syiah, pengikut dan penyebar mazhab Ja’fari, dimana tidak ada keraguan padanya. Guru Razavi menyatakan, tidak diragukan bahwa Khwajah, semoga rahmat Allah selalu terlimpah padanya, adalah seorang muslim yang bermazhab syiah, pengikut pemikiran Ja’fari, dan termasuk penyebar ajaran ini. Tetapi, sebagian ulama Ahli Sunnah, khususnya, para pengikut mazhab Hambali yang fanatis, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayim al-Jauzi, Abdul Hayyi al-Hanbali (penulis kitab Syudzuratdz Dzahab, menyebut beliau sebagai orang kafir, menyimpang, dan tidak beragama. Sebaliknya, semua ulama syiah memandang beliau sebagai mubalig yang berdedikasi tinggi dan orang terpercaya dalam periwayatan hadits. Mereka menyebut namanya dengan penuh penghormatan dan memandangnya sebagai pemimpin Islam dan kamu muslimin. Tidak seorang pun dari mereka yang memercayai dan mendukung pendapat bahwa beliau bermazhab Ismailiyah dan salah seorang penulis kitab-kitab beraliran bathiniyah. Mereka semua meyakini beliau bermazhab dan salah seorang pemimpin dikalangan syiah itsna ‘asyariyah. Mereka memangilnya dengan pelbagai julukan, seperti Hujjatul Firqah an-Najiah (rujukan kelompok yang selamat), Man intahat ilahi riyasatul imamiyah (kepemimpinan imamiyah berakhir padanya), syekhul syiqat wal ajilla (guru orang-orang terpercaya dan orang-orang mulia) dan pendiri tiang agama.(30) Pada bagian yang lain, beliau menengahkan pandangan Khwajah Nashiruddin Thusi sendiri terhadap mazhab yang diyakininya seperti yang beliau tulis di dalam Risalah Imamah karyanya, kemudian dari sana beliau berkesimpulan bahwa orang-orang yang meyakini bahwa Khwajah Nashiruddin Thusi bermazhab bathiniyah atau ismailiyah dan mengatakan bahwa beliau membenarkan aliran ini dalam sejumlah kitab yang ditulisnya, hanya melontarkan ucapan kosong yang tidak berdasarkan pada bukti yang kuat dan tuduhan belaka terhadap orang besar ini. Berpendapat tentang mazhab beliau atau menyebutnya sebagai yang bermazhab Ismailiyah dan cenderung pada kelompok ini adalah upaya yang melawan nash dan tidak bernilai sama sekali. Dan kitab-kitab yang disusun sejalan dengan pemikiran bathiniyah yang dikatakan sebagai karya Nashiruddin Thusi atau Muhammad Thusi pada bagian pendahuluannya, sebenarnya bukanlah karya beliau.(31) Bagaimanapun, dari pernyataan sejumlah ulama di atas tidak bisa dipahami kalau Khwajah Nashiruddin Thusi bermazhab syiah imamiyah. Meskipun dalil yang menunjukan masalah ini ada, tetapi, itu terjadi setelah tahun 654 H.Q. Orang-orang yang mengatakan bahwa beliau telah menyusun sejumlah kitab untuk kelompok ismailiyah, memahaminya sebagai bentuk taqiyah. Tetapi, Mujtaba Maynawi memiliki keyakinan berbeda bahwa Khwajah Nashiruddin Thusi tidak ditawan di kerajaan ismailiyah dan beliau menyusun sejumlah kitab untuk kelompok ismailiyah bukan karena taqiyah. Di hari-hari akhir hidupnya, beliau membuat catatan tentang Khwajah Nashiruddin Thusi pada pendahuluan kitab Akhlak Nashiri yang berbunyi:
|