INTROSPEKSI DIRI; PERANNYA DALAM MENDIDIK JIWA




Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99

Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103

Mukaddimah


'Introspeksi diri' merupakan salah satu tema yang cukup menarik dimana banyak ditemukan dalam berbagai riwayat dan demikian pula puluhan buku ditulis terkait dengan tema ini. Rasulullah saw pernah bersabda:"Selama seseorang tidak pernah mengintrospeksi dirinya, maka ia bukanlah orang yang dikategorikan sebagai yang bertakwa"(Wasailus Syi'ah, jilid 16, hal. 98). "Dan seseorang yang tidak mengintrospeksi dirinya, tidak bisa dianggap sebagai seorang mukmin"( Wasailus Syi'ah, jilid 16, hal. 99). Dalam kacamata Beliau saw, "orang yang paling cerdik adalah orang yang mengintrospeksi dirinya dan beramal untuk hari akhiratnya" (Wasailus Syi'ah, jilid 16, hal. 98). Menurut Imam Kazhim as, "seseorang yang tidak mengintrospeksi dirinya setiap hari, tidak bisa digolongkan sebagai syi'ah dan pengikut Ahlulbait as"(Al Kafi, jilid 2, hal 453).

Riwayat-riwayat diatas memperjelas bahwa introspeksi diri memiliki nilai yang sangat penting pada keimanan dan akhlak seseorang; dengan demikian, lazimnya muncul dua pertanyaan seperti berikut ini: apa itu introspeksi dan harus bagaimana mengintrospeksi diri? Betapa banyak dampak positif bagi jiwa dan pikiran pada introspeksi diri sehingga ia mendapat posisi yang demikian penting ini. Karena buku-buku akhlak telah banyak menjelaskan secara rinci dalam bentuk tanya jawab, disini hanya akan dijelaskan secara singkat dan tujuan dasar dari makalah ini adalah mengkaji terkait dengan pertanyaan kedua.

Makna Dan Cara Introspeksi Diri


Introspeksi diri adalah seseorang yang menentukan suatu waktu (siang dan malam) dan waktu tersebut digunakan untuk mengintrospeksi dirinya dan membanding-bandingkan antara ketaatan dan dosa yang dilakukannya (Mulla Ahmad Naraqi, Mi'rajus Sa'adah, hal. 586). Demikian pula, introspeksi diri adalah seseorang mencoba menimbang-nimbang segala nikmat pemberian Allah Swt dengan ketaatan yang ia lakukan terhadap-Nya (Mulla Hadi Sabzawari, Syarhul Asmaul Husna, hal. 154).

Dalam menjawab pertanyaan berkenaan dengan introspeksi diri, Imam Ali as menitahkan:"Ketika seseorang melewati siang dan malamnya, hendaknya menjadikan jiwa dan dirinya itu sebagai lawan bicara dan mengatakan: wahai jiwa dan diri, hari yang baru saja lewat ini tidak akan pernah kembali lagi, Allah Swt kelak akan meminta pertanggungjawaban darimu bahwa kamu gunakan waktumu untuk apa, apa yang kamu lakukan ketika itu, apa kamu mengingat Allah Swt? Apakah kamu memuji-Nya? Apakah kamu memenuhi kebutuhan seorang mukmin? Memberi solusi untuknya? Apakah kamu menjaga keluarga dan anak-anaknya ketika mereka (orang mukmin) tidak ada? Apakah kamu tetap memperhatikan keluarga yang ditinggal mati oleh mereka (orang mukmin)? Apakah kamu menahan dari menggibah saudara seimanmu? Apakah kamu menolonga seorang muslim? Pekerjaan apa saja yang kamu lakukan hari ini? Apakah kamu mengingat seluruh pekerjaanmu pada hari itu, kalau kamu tahu bahwa kamu telah mengerjakan pekerjaan baik, maka hendaklah mengakui kebesaran dan memuji-Nya atas taufik yang diberikan kepadamu, dan kalau kamu tahu bahwa yang kamu lakukan adalah perbuatan dosa dan maksiat yang sengaja kamu lakukan, maka memohon ampunlah kepada-Nya dan berniatlah untuk tidak melakukan hal itu lagi."(Wasailus Syi'ah, jilid 16, hal 98).

Tahapan Introspeksi Diri


Kendatipun kalangan ulama ilmu akhlak menganggap bahwa musyarathah, muraqabah, muhasabah, dan mu'atabah tersebut merupakan sebuah rangkaian, namun adanya sebuah riwayat yang menjelaskan cara introspeksi, menunjukkan bahwa introspeksi sebuah rangkaian yang dibangun atas beberapa tahapan berikut ini:

1. menempatkan dirinya untuk menanyakan jiwa dan dirinya.

2. mengingatkan akan pentingnya waktu dan umur.

3. harus memperhatikan bahwa kelak ia harus mempertanggunjawabkan segala perbuatan dan umurnya.

4. seseorang harus memperjelas pekerjaan-pekerjaan yang dilakukannya hari itu.

5. membandingkan amalan-amalan dengan seluruh aktifitas yang harus dilakukannya.

6. memuji dan mengagungkan Allah Swt ketika melakukan perbuatan baik.

7. bertaubat dan beristighfar ketika melakukan dosa dan maksiat.

8. bertekad untuk meninggalkan perbuatan dosa.

Perbuatan-perbuatan yang dilakukan seseorang pada saat introspeksi, terbentuk dari dua aktifitas pikiran dan perbuatan. Diantara aktifitas pikiran adalah menangkap dan memahami nilai sebuah umur, perhatian terhadap perjanjian, menghitung seluruh perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang, menimbang serta membandingkan pekerjaan-pekerjaan ini dengan parameter syari'at dan pada puncaknya adalan berniat serta bertekad meninggalkan perbuatan dosa. Aktifitas yang ada kaitannya dengan perbuatan diantaranya adalah memuji Allah Swt dan memohon ampunan-Nya. Setiap dari kedua aktifitas ini tentunya memiliki peran yang luar biasa dalam memperbaiki kondisi etika dan spiritual seseorang.

Perbedaan 'Introspeksi Diri' dengan 'Menimbang Diri' Yang Ada Pada Psikologi


Di era ini, dalam budaya psikologi, nampak pengertian tentang 'menimbang diri' (self assessment) atau 'evaluasi diri' (self evaluation). Dengan melihat bahwa pada 'introspeksi diri' terdapat sebuah bentuk yang sifatnya mengevaluasi dan menimbang seluruh perbuatan dan sikap diri, maka muncullah pertanyaan ada korelasi apa antara 'menimbang diri' dengan 'introspeksi diri'? apakah keduanya memiliki perbedaan?

Untuk mengetahui hubungan dan perbedaan keduanya, mesti memperhatikan definisi dari keduanya. 'menimbang diri' memiliki pengertian psikologis dimana secara umum mencakup segala bentuk 'menimbang diri'. Pada saat sekarang, istilah ini banyak digunakan terkait dengan alat pengukur dan penimbang setiap pribadi.(Nushratullah Pur Afkari, Farhagg-e Jam'e Ravan Syenasi va Ravan Pezesyki, jilid 2, hal. 1364). Perlengkapan atau peralatan ini dibagi menjadi dua bentuk menimbang diri. Dengan menggunakan fasilitas 'menimbang diri', seseorang akan mengetahui kepribadiannya, kesenangannya, kecenderungan-kecenderungan, pikiran dan sikapnya.

'Introspeksi diri' mengandung pengertian akhlak dan etika dimana seseorang mengevaluasi seluruh perbuatan dan amalnya setiap siang dan malam dan memperhatikan sejauh mana perbuatan dan niatnya itu dekat dengan parameter agama dan syari'at. Ketika ia merasa bahwa perbuatan dan amalnya itu sesuai dengan apa yang dikatakan syari'at dan agama (merasa sukses), maka ia langsung menyatakan kesyukurannya kepada Allah Swt dan sebaliknya, kalau segala perbuatannya itu tidak sesuai dengan apa yang diinginkan agama dan syari'at maka ia langsung bertobat dan memohon ampun kepada-Nya serta bertekad untuk tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut.

Melihat defenisi-defenisi tersebut, maka harus jelas bahwa pada 'evaluasi diri' dan 'introspeksi diri' ada sebuah bentuk evaluasi atas perbuatan dan aktifitas, pikiran-pikiran, dan motifasi-motifasi yang dilakukan seseorang. Dengan demikian pada keduanya terdapat beberapa perbedaan, yaitu:

1. pada 'introspeksi diri' terdapat parameter nilai yang jelas yang seseorang bisa mengukur amal dan perbuatannya berdasarkan hal itu, namun 'evaluasi diri' pada psikologi lebih dominan diartikan sebagai informasi tentang diri, yakni 'evaluasi diri' pada psikologi tidak memiliki parameter yang jelas dan tertentu yang mana seseorang bisa mengukur aktifitas dan amalnya dengan hal tersebut.

2. pada 'introspeksi diri' seseorang - setelah mengevaluasi dirinya - kalau merasa bahwa ia telah sukses maka akan bersyukur kepada Allah Swt. Kalau merasa ia tidak sukses, maka ia akan mencaci serta mencela dirinya, tetapi 'evaluasi diri' pada psikologi, seseorang hanya sekedar menunjukkan secara umum dan deskriptif tentang dirinya, tanpa ada semacam pemberian hadiah kepada dirinya ketika ia sukses atau ketika tidak sukses, ia mencela dirinya atau bertekad untuk merubah dirinya.

3. pada aspek motifasi, 'introspeksi diri' dan 'evaluasi diri' juga memiliki perbedaan; 'introspeksi diri' dilakukan atas dasar dan motifasi menyesuaikan perbuatan-perbuatan dengan aturan-aturan syari'at dan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt, akan tetapi 'evaluasi diri' dilakukan lebih kepada untuk mengetahui kepribadian, kecenderungan-kecenderungan, cara pandang, dan terkadang karena adanya gangguan-gangguan.

4. cara 'introspeksi diri' dan 'evaluasi diri' juga memiliki perbedaan; pada 'introspeksi diri', seseorang setiap malam berusaha menyepi dan membayangkan seluruh pekerjaan dan aktifitasnya, namun pada 'evaluasi diri' dilakukan dengan cara menggunakan alat-alat yang bermacam-macam. Sebagian dari peralatan ini memberikan informasi tentang kepribadian seseorang, sebagiannya lagi tentang gangguan-gangguan jiwa, serta sebagiannya lagi memberikan gambaran tentang kecenderungan-kecenderungan kerja dan studi seseorang. Dengan peralatan ini orang melakukan proses 'evaluasi diri'.

Oleh karena itu, kendati 'introspeksi diri' sebuah bentuk evaluasi diri dan penilaian terhadap pekerjaan dan sikap, akan tetapi jangan sekali-kali disamakan dengan 'evaluasi diri' pada psikologi, karena 'introspeksi diri' memiliki cara, tujuan dan falsafah khusus yang tidak ditemukan pada 'evaluasi diri' di psikologi.

Korelasi Muhasabah dengan Musyarathah, Muraqabah dan Mu'atabah


Hal yang banyak ditegaskan dalam beberapa riwayat adalah pengertian 'Muhasabah' yang caranya telah dijelaskan sebelumnya. Sebelumnya juga sebagian ulama akhlak menjelaskan tentang 'Musyarathah', 'Muraqabah' dan 'Mu'atabah' tidak beriringan dengan 'Muhasabah'.

Khojah Abdullah Anshari (396-481 H) menganggap bahwa meniti jalan 'Muhasabah' tersebut hanya mungkin ketika telah bertekad untuk bertaubat. Beliau meyakini bahwa niat dan tekad itu memiliki tiga rukun:

1. membandingkan seluruh nikmat dan seluruh dosa;

2. menentukan hal-hal yang sifatnya datang dari hamba dan hal-hal yang datang dari Allah Swt;

3. mengenal dan mengetahui mana ketaatan dan mana maksiat.

Khojah Abdullah Anshari tidak pernah menjelaskan masalah 'Musyarathah' dan 'Muraqabah' tersebut berdampingan dengan 'Muhasabah', namun beliau menjelaskan 'Muraqabah' itu pada bab muamalah dan 'Muhasabah' pada bab awal pembahasan (Khojah Abdullah Anshari, Manazilus Sairin, hal. 39). Sayid bin Thawus (589-664 H) dalam bukunya, Muhabatun Nafs, mencoba mengisyarah kepada ayat-ayat serta riwayat yang ada hubungannya dengan 'Muhasabah'. Beliau menjelaskan tentang diperlihatkannya seluruh amal perbuatan pada hari senin dan kamis, tentang 'introspeksi diri' setiap malam, tentang doa-doa yang berkenaan dengan 'Muhasabah' dan 'introspeksi diri' pada akhir setiap malam. Dalam buku ini, Musyarathah, Muraqabah, dan Mu'atabah diterangkan berdampingan dengan Muhasabah (Sayid bin Thawus, Muhasabatun Nafs, hal. 13-31). Salah satu ulama di era ini, Sayid Abdullah Syabbar (1188-1242 H), dalam bukunya menjadikan bahasan 'Muhasabah' dan 'Muraqabah' tersebut menjadi dua pasal. Pasal pertama tentang 'Muhasabah' dan pasal kedua, mengenai 'Muraqabah', tanpa ada hubungan apa-apa diantara keduanya, namun beliau tidak membahas hal yang ada kaitannya dengan 'Musyarathah' dan 'Mu'atabah' (Sayid Abdullah Syabbar, Al Akhlaq, hal 284-287).

Sebagian pakar ilmu akhlak menempatkan 'Muhasabah' - tentunya dalam pengertian yang lain - di bawah tema yang lebih luas, yaitu 'Murabathah'; Abu Hamid Ghazali (wafat 505 H) menjelaskan pengertian 'Murabathah' dalam bukunya, Ihya 'Ulumuddin, dengan menyimpulkan dari ayat "Ishbiru wa Shabiru wa rabithu"(Qs. Ali Imran:200). Beliau menganggap bahwa 'Murabathah' memiliki enam maqam:

1. Musyarathah: pada awal waktu berjanji dengan diri untuk tidak berbuat hal yang bertentangan dengan aturan-aturan Allah Swt.

2. Muraqabah: mengawasi dan waspada terhadap perbuatannya pada siang hari, sesuai dengan niat, tekad dan janjinya.

3. Muhasabah: mengevaluasi diri dan jiwa tentang perbuatan dan amal yang telah dilakukannya di siang hari.

4. Mu'aqabah: memberi sanksi dan peringatan kepada dirinya atas dosa-dosa yang dilakukannya, dengan melakukan pembatasan-pembatasan.

5. Mujahadah: seperti halnya pada saat melakukan dosa, ia memberi sanksi dan peringatan pada diri dan jiwanya, maka ketika ia banyak lalai dari beribadah dan meninggalkan kewajiban yang mesti dilakukannya, maka ia memaksa dirinya untuk berusaha dan bekerja lebih keras lagi.

6. Mu'atabah: mencaci dan menghina diri dan jiwanya atas kesalahan-kesalahan dan dosa yang dilakukannya di siang hari.(Abu Hamid al Ghazali, Ihya 'Ulumuddin, jilid 4, hal 417-448).

Oleh karena itu, kendati pengertian Musyarathah, Muraqabah, Mu'atabah, Mujahadah dan Mu'aqabah tidak dijelaskan berdampingan satu sama lain, akan tetapi para ulama ilmu akhlak menganggap bahwa kesemuanya itu adalah hal yang saling melengkapi.



1 2 3 next