Meraih Sifat-sifat Kemuliaan (Awshaf al-Ashraf)Oleh : Khwajah Nasir al Din
al Tusi
Risalah ini berasal dari Khwajah Nasir al Din al Tusi
(597-672 H / 1201-1273-4 M), seorang filosof yang terkenal, ahli theologi, dan
astronom yang hidup selama periode kekacauan yang diakibatkan invasi Hullagu
Khan ke Iran dan pada masa kejatuhan kekhalifahan Abbasiah. Risalah ini ditulis, seperti yang disebutkan dalam
pendahuluan yang ditulisnya, bertahun-tahun setelah karyanya yang berjudul
Akhlaq-e Nairi, sebuah karya tulis klasik berbahasa Persia tentang Etika
Muslim. Penerjemahan ini berdasarkan edisi hasil karya Sayyid Mahdi
Shams al-Din (Teheran, Sazman-e Chap wa Intisharat-e Wizarat-a Farhang wa
Irshad e Islami, Edisi kedua, musim panas [1370 H, Sh./199]). Editor telah
menggunakan dua manuskrip karya tersebut milik Perpustakaan Publik Ayatullah
Najafi Mar�ashi (yang satu tertanggal 16 Rajab 1064 H. dan yang lainnya tanpa
tanggal). Sebuah edisi faxsimili diterbitkan di Berlin pada tahun 1927 (dicetak
ulang pada tahun 1957), dan sebuah edisi tercetak diterbitkan sekitar tahun
1967 oleh Kitab Furushi-ye Islamiyyah, Teheran. Terjemahan Bahasa Indonesia oleh Ahmad Y. Samantho, S.IP,
dari edisi berbahasa Inggris yang diambil dari al-Tawhid Islamic Journal, vol
XI, No. 3 & 4, yang diterjemahkan dari Bahasa Persia oleh Ali Qulli Qara�i. Kata Pengantar
Bismillahi al-rahman al Rahim, Puji syukur hanya bagi Allah SWT, Yang realitasnya tak dapat
dimengerti oleh akal dan pengetahuan mengenai Wujud-Nya tak dapat dipahami oleh
pemikiran dan ilmu pengetahuan. Jika pun ada sesuatu ekspresi yang
menggambarkan Dia, jika menegaskan wujudNya, maka pikiran tak akan dapat
membayangkan-Nya tanpa jejak-jejak anthropomorphism (penyerupaaan dengan wujud
manusiawi), dan jika berupa penolakan, tak dapat dibayangkan dengannya dalam
satu cara yang aman dari skandal yang keji berupa pengingkaran terhadap sifat-sifat-Nya
(ta�til). Oleh karena itu, Pemimpin yang terpilih, teladan bagi para
wali (awliya�), dan Penutup para Nabi, Muhammad al Mustafa, semoga Allah
memberikan shalawat kepadanya dan kepada Alhul-Baitnya, telah berkata: �� Aku tak dapat menghitung pujian bagi-Nya.
Keindahan-Nya hanyalah setara dengan apa yang dipujikan oleh-Nya sendiri. Dan
Keindahan-Nya di atas apa-apa yang dikatakan oleh para penggambar (dalam
menggambarkan Dia).[1] Semoga shalawat dan salam yang berlipat ganda, segala pujian
dan berkah terlimpah kepada jiwanya yang suci dan kepada para arwah Ahl
al-Bayt-nya yang Suci, khususnya para Imam Ma�sum, juga kepada para
Sahabatnya yang terpilih, demi Haq-Mu yang Allah. Setelah menulis buku yang berjudul Etika Nasirian (Akhlaq-e
Nasiri) yang mendiskusikan watak-watak yang mulia dan suara-suara bijak
perilaku bermoral menurut jalan para filosof (hukama�), penulis risalah ini
dan yang berwenang dalam wacana ini, Muhammad al-Thusi, telah memiliki ide
dalam benaknya untuk menulis sebuah risalah ringkas yang menjelaskan jalan/cara
(Suluk, Pen.) dari para wali (awliya�) dan metode para pencari (Salik, pen.)
berdasarkan prinsip-prinsip para penempuh jalan Tarekat (Tariqah), dan para
pencari Kebenaran Hakiki(haqiqah) dan sesuatu berdasarkan prinsip-prinsip
penalaran dan tradisi, yang terdiri dari teori-teori yang halus (tak kentara)
dan point-point praktis yang membentuk intisari dan esensi disiplin ilmu ini. Bagaimanapun juga keasyikan yang tak terhitung banyaknya dan
rintangan sia-sia tidak mengijinkan dia untuk keluar dari padanya, dan apa yang
telah dia miliki dalam benaknya tak dapat dimunculkan dari potensi ke
aktualitas, sampai pada saat ini, ketika ideanya terwujudkan pada pengumpulan
tanda-tanda kemuliannya �., Pangeran pedang dan pena, Pemuka terpilih di antara bangsa Arab
dan non-Arab, Matahari kebenaran dan keimanan (Shams al-haqq wa al-din),
Kemuliaan Islam dan Kaum Muslim, Pemuka para Kasyaf, Tempat bergantung para
sultan penguasa, Kebanggaan kaum elit dan bangsawan, Penjelmaan keadilan dan
kedermawanan, Orang yang paling berjasa di dunia dan Paling sempurna, Tempat
berlindung dan berteduh bangsa Iran, Pencinta para Awliya�, Muhammad bin Sahib
al-Said Baha�al-Din Muhammad al-Juwayni, semoga Allah memperkuat para
penolongnya, dan menambah kekuasaannya dua kali lipat. Ketika kesempatan
menjadi mungkin, waktu dan keadaan menjadi kondusif, rencana pada akhirnya
terwujudkan, untuk memperluas pikiran tersebut akan terbantu dan menjadi layak
dalam memandang beragam rintangan dan banyaknya keasyikan dalam mengumpulkan,
untuk melengkapi dengan tata aturannya dan untuk mentaati perintahnya, risalah
singkat ini dibagi dalam beberapa bab, yang menjelaskan dan memaparkan kebenaran-kebenaranya
dan menggambarkan rahasia-rahasianya. Dalam setiap bab, dia menyajikan
ayat-ayat wahyu (al Qur�an) demi membuktikannya, seperti: { ��� ��������� ���������� ���� ������ �������� ����� ���� �������� �������� ���� ������� �������}(����/42). �� Tidak ada yang datang
kepadanya (Al Qur�an) kebathilan baik dari depannya maupun dari belakangnya. �� (QS, Fushilat, 41:42) Dan ketika dia tidak dapat menemukan sesuatu yang dapat
menjelaskan kepentingan yang ia yakini sendiri kepada sesuatu yang yang dapat
lebih dimasuki. Dia telah menamakan risalah itu Awsaf al-Asraf (Sifat-sifat
Kemuliaan) dan ketika itu dipandang menyenangkan matanya yang mulia, tujuannya
dapat tercapai, sebaliknya dalam cara pandang yang telah dinyatakan dengan
penuh permohonan maaf, diharapkan bahwa dirinya yang mulia, dengan wataknya
yang mulia dan kebaikan yang luhur, akan memaafkan penyelewengannya dan
menutupinya dengan jubah pemaafan-Nya yang lembut, maka Allah Yang Maha Mulia,
semoga melimpahkan kepadanya kelembutan hati ilahiyah dan kedaulatan kekuasaan
yang kekal dalam dunia nyata, sebagaimana dengan cara yang sama, Allah telah
memilihnya sebagai pemimpin dunia nyata. Sungguh Allah Maha Pemurah dan Maha
Mengabulkan Doa. Pendahuluan:
Kiranya pantas di awal risalah/tulisan ini untuk menyebutkan
isi risalah singkat ini. Tak ada keraguan bahwa ketika seseorang merenungkan
pernyataan seseorang (membaca ahwal, daripada af�al), seseorang akan
mendapati dirinya membutuhkan sesuatu di samping dirinya sendiri, dan sesuatu
yang lain yang dibutuhkannya itu kurang sempurna. Dan ketika seseorang peduli
dengan ketidaksempurnaannya, maka muncullah dari dalam sanubarinya suatu
kerinduan untuk mencari kesempurnaan. Hal ini mendorongnya untuk melakukan
perjalanan pencarian kesempurnaan yang disebut sebagai Suluk ( mussyafir/
Wayfaring ) oleh orang-orang pengikut Tarekat (Tariqah, jalan mistik/tasawwuf).
Dan barang siapa yang ingin melakukan perjalanan (tarekat) tersebut membutuhkan
enam hal, yaitu: Pertama, pembimbing/pedoman perjalanannya yang dibutuhkan
agar perjalanan bisa dilakukan, dan hal ini sebagaimana ketentuan dibutuhkannya
pembimbing (guide) dalam perjalanan secara fisik. Kedua, menghadapi hambatan-hambatan dan rintangan
dalam perjalanan. Ketiga, melakukan pergerakan atau perpindahan yang
akan membawa seseorang dari titik awal kepada tujuan; Hal ini terdiri dari suluk (perjalanan) dan maqom/kedudukan salik (penempuh perjalanan) selama
latihannya. Keempat, Maqom-maqom/ tahapan kedudukan yang terjadi kepada
para salik dalam latihan perjalanannya dari start awal perjalanan sampai titik
tujuannya. Kelima, Maqom-maqom yang akan menimpa siapa saja yang
telah melengkapi perjalanannya (ahl al-wusul) setelah perjalanan (suluk)-nya. Keenam, Akhir perjalanan (suluk) dan puncak perjalanan
yang disebut fana� (ketiadaan) dalamtawhid (kesatuan
ilahiyah). Masing-masing yang telah disebut di atas terdiri dari
beberapa hal, kecuali akhir perjalanan di mana tidak ada lagi keberagaman
(multiplicity). Kita akan mendiskusikan keenam hal di atas dalam enam bab,
masing-masing mempunyai enam bagian, dengan perkecualian bagi bab terakhir yang
tidak diikuti dengan suatu keberagaman. Sebagaimana diketahui bahwa dengan cara yang sama seperti
dalam sebuah perjalanan yang bersifat fisik, perlintasan setiap bagian jalan
tergantung dari upaya melintasi bagian yang terdahulu dan keberhasilan
melampaui bagian yang lain �kecuali bagian yang terakhir� masing-masing
maqom/tahapan tersebut adalah tingkatan perantara/pertengahan di antara akhir
dari tingkatan/tahapan sebelumnya dengan permulaan tingkatan/tahapan
berikutnya, maka dari itu setiap tingkatan adalah tujuan akhir yang dicari
karena tahapan sebelumnya dekat tujuannya dan ditinggalkan dibelakangnya dan
terlarang seseorang kembali mendekati tahapan yang telah berhasil. Karenanya
setiap tahapan/tingkatan adalah suatu kesempurnaan dalam hubungannya dengan
tahapan/tingkatan sebelumnya dan menetap di dalamnya adalah sebuah
cacat/kerusakan ketika seseorang harus beralih ke tahapan berikut yang
diinginkannya. Oleh karena itu Rasulullah, SAAW, telah berkata: ��Barang siapa yang dua harinya adalah sama,
dialah orang yang merugi.� [2] Dan karena itulah mengapa telah dikatakan: ��Kebaikan dari orang shaleh adalah sifat buruk
bagi para wali (muqorobbin).�[3] Bab 1
Titik Awal Mula Perjalanan (Suluk) dan
Persyaratannya
Bab ini terdiri dari enam topik,masing-masing dibahas dalam
bagian-bagian berikut ini: Bagian pertama: tentang Kepercayaan/Keimanan (Iman) Bagian kedua: tentang Ketabahan / Kesetiaan (Thubat) Bagian ketiga: tentang Niat (Niyyah) Bagian keempat: tentang Kebenaran (Sidq) Bagian kelima: tentang Penyesalan (Inabah) Bagian keenam: tentang Ketulusan/Keikhlasan (Ikhlas) Bagian Pertama: Tentang Keimanan Allah SWT, Yang maha Mulia, telah berfirman: ��������� ������� ������ ���������� ������������ �������� ���������� ������ �������� ������ �����������(�������/82) �Mereka yang beriman dan
tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman (syirk), mereka itulah
orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk.� (QS Al-An�am, 6: 82) Iman, secara literal (harfiah) berarti penegasan/pembenaran
(affirmation), sehingga kepercayaan/keimanan, dalam terminologi para pencari,
berarti suatu jenis khusus penegasan/pembenaran, yang telah diketahui untuk hal
tertentu dan yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAAW. Ilmu pengetahuan (ma�rifah) dari Nabiyullah
adalah tak dapat dipisahkan dari ilmu pengetahuan yang berasal dari Yang Maha
Abadi, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Hidup, Yang Maha
Lembut, Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat, Yang Maha Berkehendak dan
Berbicara, dan telah mengirim para Utusannya dan menurunkan Al Qur�an kepada Muhammad
al-Mustafa, SAAW, yang menyusun keberlangsungan hukum-hukum,
kewajiban-kewajiban dan Sunnah, sah menurut hukum dan tidak sah menurut hukum sebagaimana
ditegaskan melalui kepakatan dari seluruh ummat. Oleh karena itu, keimanan terdiri dari hal-hal tersebut,
tidak lebih tidak kurang. Apabila kekurangan, itu berarti tidak ada keimanan
sama sekali, dan jika berlebihan, penambahannya akan menjadi satu derajat lebih
tinggi dari iman, berdampingan dengan keimanan. Dan tanda-tanda keimanan adalah
mengetahui, mengatakan, dan melakukan hal yang telah diketahuinya, dikatakannya
dan dilakukannya, dan menahan diri dari hal-hal yang telah dilarang. Hal-hal ini
terkait dengan akhlak al-karimah (amal shalih) dan merupakan sesuatu yang dapat
bertambah atau berkurang, dan merupakan sebuah bagian yang esensial dari
penegasan/pembenaran yang telah disebutkan di depan. Karena itulah mengapa
penyebutan keimanan selalu digabungkan dengan amal shalih, sebagaimana telah
dinyatakan oleh al Qur�an: ��������� ��������� ������� ���������� ������������� �Mereka yang beriman dan
beramal shalih.� (QS Al Baqoroh, 2: 25) Dan telah diketahui bahwa keimanan itu mempunyai beragam derajat,
yang terendah adalah pengakuan lisan/verbal. Sebagai-mana disebutkan dalam ayat
berikut: ��� �������� ��������� ������� ������� ��������� ����������� ������������ ������� ������� ����� ��������� ������������ ������� ������� ���� ������ ������ �������� ��������� ��������������� ���������� ���������� ����������� ������� ������ ����� �������� ��������(������/136). �Hai orang-orang yang
beriman,berimanlah kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan
kepada para Rasul-Nya�.� ( QS An-Nissaa, 4: 136) ������� ����������� ������� ���� ���� ���������� �������� ������� ����������� �������� �������� ���������� ��� ����������� ������ ��������� ������� ����������� ��� ���������� ���� ������������� ������� ����� ������� ������� �������(�������/14). �Orang-orang Arab Badui
itu berkata: �Kami telah beriman.� Katakanlah (kepada
mereka): �Kamu belum beriman, tetapi katakanlah kami telah tunduk/berislam.� Karena iman itu belum
masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya , Dia
tidak akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.� �(QS Al Hujuraat, 49:14) Keimanan (orang-orang Arab Badui) tersebut adalah keimanan
yang palsu, yang penegasan keyakinannya harus dikuatkan lagi, tapi hal ini bisa
menyimpang. Ketika penegasan keimanan/keyakinan dicapai, ini harus selalu
terkait dengan amal shaleh. �������� �������������� ��������� ������� ��������� ����������� ����� ���� ����������� ����������� ��������������� ������������� ��� ������� ������� ���������� ���� �������������(�������/15). � Sesungguhnya
orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan
jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.� (QS Al Hujuraat, 49: 15) Yang lebih tinggi dari keimanan tersebut adalah keimanan
kepada Yang Ghaib, berdasarkan kata-kata dalam ayat al-Qur�an: ��������� ����������� ����������� �(������/3). �..mereka yang beriman
kepada Yang Ghaib� ( QS Al Baqoroh, 2: 3) Mereka yang mengemukakan keimanan mendalam terhadap hal-hal
yang tak terjangkau (transcendence), sebagaimana jika seseorang menegaskan
kebenaran sesuatu hal dari sisi luar sebuah tirai/hijab. Yang lebih tinggi dari
itu adalah keimanan dari mereka yang dikatakan Allah : �������� �������������� ��������� ����� ������ ������� �������� ����������� ������� �������� ���������� ������� ����������� ���������� ������� ��������� ��������������. ��������� ���������� ���������� �������� ������������� ��������� ���������� ���� �������������� ������ ������ ��������� ������ ��������� ������������ �������� ������� (�������(2-4-) �Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah
mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan
kepada Tuhannya mereka bertawakal. Yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan
yang menafkahkan sebagian rejeki yang kami berikan kepada mereka. Itulah
orang-orang yang beriman dengan sebenarnya mereka akan memperoleh beberapa
derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang
mulia.� (QS Al Anfal, 8: 2-4) Inilah tingkatan keimanan yang sempurna. Berikutnya dari hal
ini adalah keimanan yang diyakini, yang akan diterangkan belakangan, dan inilah
tingkatan derajat keimanan yang paling sempurna. Derajat/tingkatan minimum yang kurang daripada keimanan yang
tidak sempurna dalam perjalanan (Suluk), adalah keimanan melalui peniruan dan
keimanan kepada yang Ghaib, yang hanya sekedar keimanan secara lisan adalah
bukan iman yang sebenarnya. Hal ini merujuk kepada pernyataaan Al Qur�an berikut: ����� �������� ������������ ��������� ������ ������ �����������(����/106). �Dan sebagian besar dari
mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan
Allah (dengan sembahan-sembahan lain).� (QS Yusuf, 12:106) Perjalanan (Suluk) dengan ketenangan jiwa adalah
dimungkinkan ketika ada keyakinan penuh atas kepercayaan terhadap eksistensi
(keberadaan) Wujud Mutlak Yang Maha Sempurna, Tuhan Sang Maha Pencipta.
Perolehan kepercayaan seperti itu adalah sangat sederhana dan dapat dicapai
dengan upaya yang sedikit saja. Bagian Kedua: Ketabahan/Kesetiaan (Keteguhan) Tuhan Allah, Yang Maha Agung dan Maha
Mulia, telah berfirman:
��������� ������� ��������� ������� ����������� ���������� ��� ���������� ���������� ����� ��������� ��������� ������� ������������� ���������� ������� ��� �������(�������/27). �Allah meneguhkan (iman)
orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia
dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa
yang dikehendakinya.�(QS Ibrahim, 14: 27) Kalau keimanan tidak disifati dengan ketabahan, keteguhan
atau kesetiaan, ketenangan jiwa yang begitu penting (esensial) bagi para
pencari kesempurnaan tidak akan diperoleh, karena seseorang yang goyah dalam
kepercayaannya tidak dapat menjadi pencari kesempurnaan. Ketabahan/keteguhan
(kesetiaan) terhadap iman tergantung dari pencapaian kepastian yang di sana ada
Kesempurnaan dan Wujud Maha Sempurna. Tanpa kepastian seperti ini, pencarian
kesempurnaan tidak akan terwujud dan sampai ketetapan hati untuk mencari
kesempurnaan dan keteguhan hati atas ketetapan hati terhadap hal ini tidak
tercapai, perjalanan (suluk. pen.) tidak mungkin terjadi. Seseorang yang
membuat ketetapan hati tanpa menjadi tabah (setia) terhadapnya, adalah seperti
orang yang bingung, yang terpenjara oleh setan di muka bumi: ��������� ������������� ������������� ��� �������� ��������� ���� ��������� (�������/71) ��seperti orang yang telah
disesatkan setan di pesawangan (bumi) yang menakutkan dalam keadaan bingung�� (QS Al An-aam,6:71) Orang yang bingung tak punya ketetapan hati, dan sampai ia
cukup pasti untuk maju dalam satu arahan, tidak akan ada pergerakan, perjalanan
atau suluk. Kalaupun ada pergerakan pada akhirnya, ini akan dibarengi dengan
kebimbangan dan keraguan yang tak ada hasilnya dan sia-sia belaka. Penyebab ketabahan (keteguhan & kesetiaan) adalah sebuah
wawasan ke dalam (insight) mengenai kebenaran yang dipercaya, sebuah kesenangan
karena telah menemukannya dan suatu ketekunan di dalam maqom/tahapan ini,
sebagai sebuah kondisi kebiasaan dalam sanubari diri yang terdalam. Oleh karena
itu mengapa penampilan amal shaleh dari orang-orang yang memiliki
ketabahan/keteguhan & kesetiaan (kesungguhan) ini adalah terus-menerus
sepanjang dibutuhkan. Bagian Ketiga: Niat Allah, yang Maha Agung, telah berfirman:
���� ����� �������� ��������� ���������� ���������� ������� ����� �������������(�������/162). �Katakanlah: �Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.� (QS Al An�aam, 6: 162) Niyyah (niat) berarti maksud, pamrih, tujuan, dan niat adalah
sebuah kaitan antara pengetahuan dan amal (aksi). Tanpa seseorang mengetahui
pada awalnya bahwa dia harus melakukan sesuatu, seseorang tidak dapat bermaksud
unrtuk melakukan hal itu, dan tanpa adanya niat seseorang tak dapat melakukan
sesuatu aksi. Titik awal mula dalam perjalanan (suluk) adalah niat untuk
mencapai sebuah tujuan tertentu, dan sejak tujuannya adalah untuk mendapatkan
kesempurnaan dari Yang Maha Mutlak Sempurna, niat akan menjadi satu meraih
kedekatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mutlak Sempurna. Untuk kasus ini, niat itu sendiri lebih baik daripada amal
ketika dilakukan sendiri, yaitu: �Niat dari kaum mukminin adalah lebih baik
daripada pekerjaan amalnya�[4] Jadi Niat adalah seperti jiwa dan amal adalah seperti tubuh,
dan sebagaimana Rasulullah telah katakan: �Sesungguhnya (nilai intrinsik) dari pada amal
perbuatan hanya tergantung daripada niatnya (yang ada dibaliknya).� [5] Maka, kehidupan dari tubuh jasmani adalah melalui jiwanya.
Dan (sebagaimana Rasulullah SAAW telah katakan): ��Setiap orang mendapatkan apa-apa yang telah
diniatkannya: seseorang yang berhijrah menuju Allah dan Rasulullah, maka ia
akan hijrah menuju Allah dan Rasulullah, dan bila seseorang berhijrah untuk
mendapatkan kepentingan duniawi atau untuk menikahi seorang wanita, maka
hijrahnya akan membawa dia kepada tujuan yang telah diniatkan sebelumnya.�[6] Sebuah amal shalih yang dilengkapi dengan niat untuk
mendekatkan diri kepada Allah tentu akan mendapatkan kesempurnaannya,
sebagaimana pernyataan Allah SWT: ��� ������ ��� ������� ���� ����������� ������ ���� ������ ���������� ���� ��������� ���� ��������� ������ �������� ������ �������� ������ ���������� ��������� ������� �������� ��������� ������� ��������(������/114) �Tak ada kebaikan pada
kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang
menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf atau mengadakan
perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena
mencari keridhaan Allah, maka kelak kami akan memberi kepadanya pahala yang
besar.� (QS An Nisaa, 4:114) Bagian Keempat: Tentang Berlaku Benar (Sidq) Tentang penggambaran hal ini Allah SWT telah berfirman: ��� �������� ��������� ������� �������� ������� ��������� ���� ������������(������/119). �Hai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah, dan jadilah kamu bersama orang-orang
berlaku benar (al-Shadiqiin).�(QS Al-Taubah, 9:119) Sidq secara harfiah berarti berbicara benar dan membenarkan
janjinya. Di sini berlaku benar berarti benar dalam pembicaraan, sebagaimana
benar dalam niatnya dan tekadnya dan memenuhi janji yang telah dibuatnya dalam
segala keadaan. Siddiq adalah seseorang yang benar dalam segala hal
sebagaimana benar sebagai sebuah kebiasaannya, dan apa-apa yang bertentangan
dengannya dalam sikap apapun, tidak hanya pada dirinya sendiri juga tidak ada
bekas-bekasnya (yang bertentangan) ditemukan padanya. Para �Ulama� telah berkata bahwa jika sesorang melalui mimpi-mimpinya menjadi
benar dan akan menjadi benar. Ayat al Qur�an : ���� �������������� ������� �������� ��� ��������� ������� �������� ���������� ���� ����� �������� ���������� ���� ���������� ����� ��������� ����������(�������/23). �Di antara orang-orang
mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada
Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula)
yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya).� (QS Al Ahzab, 33:23) Ayat ini telah diturunkan berkenaan dengan mereka. Orang
yang benar telah digambarkan sebagai berdiri dalam tingkatan yang sama dengan
para Rasul Allah dan para Syuhada: ������ ������ ������� ������������ ������������ ���� ��������� �������� ������� ���������� ���� ������������� ���������������� �������������� ��������������� �������� ���������� ��������(������/69). �Dan barang siapa yang
mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama orang-orang yang
dianugrahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, para Shiddiqqin, orang-orang
yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang
sebaik-baiknya.�(QS An-Nisaa, 4:69) Dan seperti Nabiyullah yang agung Ibrahim as dan Idris as.
telah digambarkan sebagai orang-orang siddiq, dengan kata-kata: ��������� ��� ���������� ������������ ������� ����� ��������� ��������(����/41). �Ceritakanlah (hai
Muhammad) kisah Ibrahim dalam al-Kitab (al Qur�an) Sesungguhnya, ia
adalah orang yang sangat membenarkan (siddiqon) dan seorang nabi.� (QS Maryam, 19:41) ��������� ��� ���������� ��������� ������� ����� ��������� ��������(����/56). �Ceritakanlah (hai
Muhammad kepada mereka) kisah Idris (yang tersebut) dalam al-Kitab (al Qur�an) Sesungguhnya, ia
adalah orang yang sangat membenarkan (siddiqon) dan seorang nabi.�(QS Maryam, 19: 56) Dan mengenai yang lainnya, telah
dikatakan:
����������� ������ ���� ����������� ����������� ������ ������� ������ ��������(����/50). �Dan kami anugrahkan
kepada mereka sebagian dari rahmat kami dan kami jadikan mereka buah tutur yang
benar (sidqin) lagi tinggi.� (QS Maryam,19:50) Dan karena jalan yang lurus merupakan jalan terpendek untuk
mencapai tujuan, seseorang yang berjalan lurus lebih mungkin mendapatkan tujuan
yang diniatkannya, Insya-Allah. Bagian Kelima: Penyesalan (Inabah) Allah yang Maha Agung dan Maha Mulia, telah berfirman: ����������� ����� ��������� ������������ ���� ���� ������ ���� ������������ ���������� ����� ��� �����������(�����/54). �Dan kembalilah kamu
kepada tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu
kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).� (QS Az-Zumar, 39:54) Inabah, berarti kembali kepada Allah dan taat mengikuti-Nya.
Inabah terdiri dari tiga hal, pertama, kembali dengan diri sendiri seseorang,
sehingga ini selalu kembali kepada Allah Yang maha Agung, dan untuk meraih
kedekatan kepada-Nya dalam setiap pemikiran dan niat seseorang, dan untuk itu
merujuk pada ayat: ���� ������ ������������ ����������� ������� �������� �������(�/33 �(yaitu) orang yang takut
kepada Tuhan yang Maha Pemurah sedangkan Dia tidak kelihatan (olehnya). Dan ia
datang dengan perasaan menyesal.� (QS Qaaf, 50:33) Yang kedua, untuk mengikuti perkataan seseorang yang berarti
mengingat Dia dan apa-apa yang disukainya dan untuk mengikat siapa saja yang
lebih dekat kepada-Nya, sebagaimana yang dirujuk kepada ayat: ����� ����������� ������ ���� �������(����/13 ��Dan tiadalah mendapatkan
pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (dengan rasa penyesalan kepada
Allah).�(QS Al Mukmin/Ghofir, 40:13) Yang ketiga, (untuk kembali kepada-Nya) dalam perbuatan yang
tampak dari sesorang, yang berarti selalu waspada dalam perilaku pengabdian dan
peribadahan. Hal itu mesti dibentuk berdasarkan niat untuk mlakukan pendekatan
(taqorub), seperti melalui ibadah wajib dan ibadah sunnah, dengan menbuang
apa-apa yang telah dihindari oleh figur pemimpin kaum beriman, memberikan
sedekah, menunjukkan kebaikan kepada sesama makhluk ciptaan Tuhan, memberikan
harta untuk kemanfaatan mereka, dan mencegah sebab-sebab yang akan melukai atau
menyakiti mereka, mematuhi perbaikan atau pembetulan dalam setiap urusan,
bersikap adil dalam memberikan penghormatan diri seseorang serta kerabat
keluarganya, dan ringkasnya, mematuhi hukum-hukum Syari�ah dengan niat
mendapatkan kedekatan kepada Allah danmencari ridho-Nya, Sungguh Dia Yang Maha
Agung telah berfirman: ������ ������� ����������� ���� ����������� ��������� ���� ���� ������� ������������ ���������� �������������� ������ ������� ����� ��� ���������� ������� �������� ������� ���� ������ ������������ ����������� ������� �������� �������. ����������� ��������� ������ ������ ���������� ������ ��� ���������� ������ ����������� �������. ��(Dan ingatlah akan) hari (yang pada hari itu)
Kami bertanya kepada Jahannam: �Apakah kamu sudah penuh?� Dia menjawab: �Masih adakah tambahan?� Dan didekatkanlah syurga itu kepada orang-orang yang
bertaqwa pada tempat yang tidak jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba
yang selalu kembali (kepada Allah dengan rasa sesal) lagi memelihara (semua
peraturan-peraturan-Nya), (Yaitu) mereka yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah
sedangkan Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang
bertaubah (menyesal), masukilah syurga itu dengan aman itulah hari
kekekalan.Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki dan pada sisi
Kami ada tambahannya.� �(QS Qaaf, 50:30-35) Bagian Keenam: Tentang
Ketulusan/Keikhlasan
Allah, Yang Maha Mulia dan Maha Agung, telah berfirman: ����� �������� ������ ������������ ������� ����������� ���� �������� ��������� ����������� ���������� ���������� ���������� �������� ����� ������������(������/5). �Padahal mereka tidaklah
disuruh kecuali supaya mengabdi/ beribadah kepada Allah dengan memeurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus�� (QS Al Bayyinah, 98:5) Ikhlas dalam bahasa Persia berarti �vizheh kardan� (membuatnya
eksklusif/khusus), yaitu untuk membersihkan sesuatu dari segala sesuatu yang
lain yang tercampuraduk dengannya. Itulah yang di sini berarti bahwa semua
pembicaraan dan perbuatan sesorang hanya ditujukan demi untuk mencari kedekatan
kepada Alla Yang Maha Agung dan dikhususkan secara ekslusif demi Allah, tanpa
dicampuri suatu yang bersifat duniawi atau kepentingan duniawi lainnya. ����� ������� �������� ���������� (�����/3). �Ingatlah, hanya
kepunyaan Allah lah agama yang bersih�� (QS Az Zumar, 39:3) Lawan dari ikhlas adalah jika ada banyak kepentingan lain
yang bercampur baur dengannya, seperti cinta pada kehormatan dan harta benda,
nama baik, atau harapan yang lain atau pahala duniawi, atau keselamatan dan
pembebasan dari azab hukuman neraka, semua yang merupakan tanda-tanda syirk.
Syirik ada dua macam: yang terbuka dan yang tersembunyi. Syirik yang terbuka
ialah penyembahan berhala, dan yang selain dari pada itu adalah termasuk syirik
tersembunyi. Rasulullah SAAW, telah bersabda: �Di antara sebagian besar orang-orang di kalangan
ummatku, niatnya tercampuri dengan syirik yang lebih susah dilihat ketimbang
semut hitam yang merayap di batu hitam di malam yang gelap gulita.�[7] Syirik adalah adalah rintangan yang bersifat merusak bagi
para pencari kesempurnaan dalam jalan suluk/tarikat. ������ ����� �������� ������� ������� ������������ ������� �������� ����� �������� ����������� ������� �������(�����/110). �� barang siapa yang
mengharapkan perjuampaan dengan tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal
shaleh dan janganlah ia mempersekutukan dengan sesuatupun dalam beribadah
kepada Tuhan.� (QS Al Kahfi,18: 110) Dan ketika rintangan-rintangan berupa syirik tersembunyi ini
tersingkirkan, maka perjalanan (suluk) dan pencapaian tujuan (wusul) akan
menjadi mudah. Rasulullah bersabda: ��Jika seseorang mengikhlaskan dirinya hanya untuk
Allah selama 40 hari, maka akan tumbuhlah kebijaksanaan, yang terpancar dari
lubuk hatinya, dan terwujud dalam pembicaraannya.� [8] Note:
|