Korelasi Agama dan Filsafat Menurut FilosofOleh: Muhammad Adlany
Abu Hayyan Tauhidi, dalam kitab al-Imta' wa al-Muânasah,
berkata, "Filsafat dan syariat senantiasa bersama, sebagaimana
syariat dan filsafat terus sejalan, sesuai, dan harmonis" Ahmad bin Sahl
Balkhi yang dipanggil Abu Yazid, dilahirkan pada tahun 236 Hijriah di desa
Syamistiyan. Ketika baligh ia berangkat ke Baghdad dan mendalami filsafat dan
ilmu kalam (teologi). Abu Hayyan Tauhidi, dalam kitab al-Imta' wa al-Muânasah,
berkata, "Filsafat dan syariat senantiasa bersama, sebagaimana
syariat dan filsafat terus sejalan, sesuai, dan harmonis"[1] Ahmad bin Sahl Balkhi yang dipanggil
Abu Yazid, dilahirkan pada tahun 236 Hijriah di desa Syamistiyan. Ketika baligh
ia berangkat ke Baghdad dan mendalami filsafat dan ilmu kalam (teologi). Disamping ia berusaha memadukan syariat dan filsafat, ia
juga meneliti agama-agama berbeda lalu ditulis dalam kitabnya yang dinamai Syarâyi'
al-Adyan dan beberapa kitab lainnya. Abul Hasan 'Amiri, salah seorang murid Abu
Yazid Balkhi, adalah seorang filosof terkenal yang juga berupaya membangun
keharmonisan antara agama dan filsafat. Ia memandang bahwa filsafat itu lahir
dari argumentasi akal-pikiran dan dalam hal ini, akal mustahil melanggar
perintah-perintah Tuhan. Abul Hasan 'Amiri, dalam pasal kelima kitab al-Amad
'ala al-Abad, menyatakan, "Akal mempunyai kapabilitas mengatur segala
sesuatu yang berada dalam cakupannya, tetapi perlu diperhatikan bahwa kemampuan
akal ini tidak lain adalah pemberian dan kodrat Tuhan. Sebagaimana hukum alam
meliputi dan mengatur alam ini, akal juga mencakup alam jiwa dan berwenang
mengarahkannya. Tuhan merupakan sumber kebenaran yang meliputi secara kodrat
segala sesuatu. Cakupan kodrat adalah satu cakupan dimana Tuhan memberikan
kepada suatu makhluk apa-apa yang layak untuknya. Dengan ini, dapat kesimpulan
bahwa alam natural secara esensial berada dalam ruang lingkup hukum materi dan
hukum materi juga secara substansial mengikuti jiwa, dan jiwa berada di bawah
urusan akal yang membawa pesan-pesan Tuhan."[2] 'Amiri memandang bahwa akal secara esensial mengikuti dan
taat kepada perintah-perintah Tuhan. Di bagian lain dari kitab itu, akal
dikategorikan sebagai hujjah dan dalil Tuhan, ia menyatakan bahwa derajat akal
apabila dibandingkan dengan jiwa sama seperti daya penglihatan apabila
dihubungkan dengan mata. 'Amiri, dalam kitab as-sa'âdah wa al-isâd, juga
menyinggung hubungan akal, jiwa dan alam materi, ia berkata, "Jiwa
mengambil manfaat dari akal dan menyalurkan manfaat ke alam materi. Akal adalah
kemuliaan dan kehormatan jiwa dan jiwa adalah pelayan akal. Ketika jiwa
melayani akal maka pada jiwa akan nampak kesucian dan cahaya dan ketika ia
meninggalkan akal maka akan nampak kegelapan dan kekotoran. Dengan demikian,
kebodohan akan muncul dan berefek pada kehancuran dan kemaksiatan."[3] 'Amiri beranggapan bahwa jiwa yang berakal mempunyai
kelayakan untuk menjadi khalifah Tuhan. Menurutnya, seseorang yang memiliki
jiwa yang dicahayai oleh akal layak menjadi khalifah Tuhan yang mengatur,
mengelolah dan membangun alam ini, dan di alam non-materi menempati kedudukan
yang mulia dan tinggi. Jiwa ini, dari sisi badan berhubungan dengan alam rendah
(materi) dan dari dimensi akal berkaitan dengan alam tinggi. Dengan ibarat
lain, khalifah Tuhan adalah substansi wujudnya memiliki kedudukan ruhani dan
spiritual tertinggi dan juga berhubungan dengan derajat jasmani terendah,
maujud ini tidak lain merupakan sesuatu yang menghubungkan dan menggabungkan
dua alam. Dari perspektif di atas, 'Amiri menafsirkan makna kenabian
dan menyimbolkannya dengan sebuah garis. Garis ini, pada satu sisi terhubung ke
alam ruhani dan pada sisi lain memanjang ke alam materi. Dengan begitu wahyu
dapat didefinisikan menjadi sebuah realitas makna yang turun dari alam gaib ke
alam materi. Menurut 'Amiri, walaupun jiwa di awal perwujudannya tak lepas dari
pengaruh materi dan indera-indera lahiriah, tapi jiwa tidak pernah terputus
dari cahaya akal, karena akal merupakan esensi jiwa. Perlu diperhatikan bahwa
meskipun jiwa senantiasa mengambil manfaat dari cahayai akal, tapi tanpa cahaya
agama jiwa mustahil mencapai alam spiritual tertinggi. 'Amiri dalam menjelaskan
hal itu mengambil sebuah pemisalan: dalam perkembang-biakan spesis tumbuhan di
alam, semua tingkatan kesempurnaan satu spesis tumbuhan secara potensial
terdapat dalam wujudnya, tapi untuk mewujudkan daun-daunnya, bunga-bunganya dan
buah-buahnya mesti membutuhkan seorang tukang kebun. Jiwa manusia juga secara
potensial memiliki semua derajat kesempurnaan, tetapi untuk mengaktualkan
seluruh potensi yang dimilikinya niscaya memerlukan agama dan filsafat. Dengan memperhatikan apa yang telah diuraikan di atas, bisa
dikatakan bahwa filosof tersebut sepakat dengan gagasan kebaikan dan keburukan
akal, dan hal ini juga diterima oleh aliran Mu'tazilah. Dari pikiran-pikiran
Mu'tazilah diketahui bahwa mereka ini berpijak pada konsep "syariat
akal". Mereka mendefinisikan "syariat akal" sebagai berikut,
"Salah satu syariat akal adalah bahwa manusia tidak menyukai apa yang
terjadi pada seseorang sebagaimana dia juga tidak mencintai hal tersebut
terjadi pada dirinya, dan manusia mencintai apa yang berlaku padanya
sebagaimana dia juga menyenangi hal itu berlaku pada orang lain. Perbuatan yang
dia kerjakan secara tersembunyi dengan senang hati juga dilakukan secara
terbuka"[4] . Apa-apa yang dipandang akal
sebagai keburukan digolongkan sebagai hal yang wajib dihindari dan tidak
dikerjakan. Mereka yang berpijak pada "syariat akal" memandang
bahwa hukum-hukum dan undang-undang yang diturunkan untuk manusia yang
bersumber dari Nabi dan Rasul mustahil bertentangan dengan "syariat
akal". Abul Hasan 'Amiri, dalam kitab al-Itmâm lifadhâil al-anâm, membahas
hubungan antara teori (ilmu) dan amal, di situ ia menekankan pentingnya ilmu
bagi amal. Di tempat lain ia katakan bahwa wahyu, ilham, lintasan ide, dan
pikiran merupakan bentuk ibadah akal (an-nusuk al-aql). An-nusuk berarti
ibadah, kesucian, dan kedekatan kepada Tuhan, menurut 'Amiri hukum-hukum Ilahi
adalah rasional dan apa yang rasional dapat menyebabkan kesucian dan kedekatan
keda Tuhan. Ibnu Sina, dalam salah satu karyanya juga mengungkapkan bahwa
tafakkur, berpikir, dan kontemplasi juga merupakan salah satu bentuk ibadah dan
doa. Menurut Ibnu Sina, tafakkur dalam kerangka teoritis dan praktis (terapan)
pada hakikatnya adalah bahwa manusia berakal mengulurkan tangannya kepada
realitas mutlak yang maha sempurna untuk memohon agar hakikat, rahasia, dan
ilmu atas segala sesuatu tersingkap baginya. Musa bin Maimun, seorang filosof Yahudi, karena terpengaruh
filsafat Islam beranggapan bahwa tafakkur dan kontemplasi sebagai salah satu
bentuk ibadah yang dapat mengantarkan manusia pada kebahagiaan, karena itu ia
berupaya merujukkan akal dan agama. Ia, dalam kitabnya Dilâlah al-hairîn,
berkata, "Tafakkur dan berpikir merupakan jalan kesempurnaan manusia. Ilmu
dan makrifat adalah salah satu bentuk ibadah yang sesungguhnya dapat
mengantarkan seorang hamba dekat kepada Tuhan, makrifat dapat menyingkap
hakikat dan rahasia eksistensi. Semakin tinggi dan sempurna pengetahuan manusia
maka semakin ia dekat kepada Tuhan dan semakin dalam kecintaannya
kepada-Nya"[5].
Walaupun menurutnya ibadah merupakan hasil dari kecintaan, tetapi kecintaan
seseorang kepada Tuhan berbanding lurus dengan ilmu dan makrifatnya. Abu Nashir Farabi, pendiri maktab filsafat Islam, filosof
yang juga berupaya menggabungkan antara agama dan filsafat. Filosof ini,
setelah mengkaji secara mendalam persoalan “kebahagian” pada akhirnya
berpendapat tentang bentuk tasawuf (pensucian diri) yang berpijak pada
rasionalitas. Tasawuf Farabi merupakan tasawuf yang tidak hanya menekankan pada
niat tulus, disiplin, dan motivasi yang kuat dalam sair suluk (perjalanan
spiritual) serta bersungguh-sungguh dalam meninggalkan kelezatan-kelezatan
jasmani dan duniawi, tetapi juga menitikberatkan pada dimensi teoritis yang
berpijak pada pemikiran yang mendalam. Menurut Farabi, kesempurnaan pensucian
jiwa bukan hanya bergantung pada ibadah-ibadah ritual, tetapi juga dipengaruhi
oleh tafakkur, rasionalitas, dan pemikiran. Tak bisa disangkal bahwa ibadah-ibadah
jasmani juga berpengaruh dalam pencapaian kesempurnaan, tetapi kesempurnaan
yang diraih bersama dengan akal-pikiran dan rasionalitas memiliki keunggulan
yang lebih. Semakin sempurna akal-pikiran dan makrifat manusia, maka semakin
dekat ia kepada alam transenden dan alam akal, dan ketika ia sampai pada
derajat alam akal tertinggi, maka selayaknya ia memperoleh cahaya-cahaya Tuhan,
puncak tertinggi kebahagiaan dan kesempurnaan makrifat Ilahi. Dalam sejarah filsafat Islam, Syaikh Syihabuddin Suhrawardi
adalah termasuk salah seorang filosof yang menentang pemisahan ajaran suci
agama dan pemikiran filsafat, ia beranggapan bahwa keduanya terdapat kesatuan
hakikat. Ia kemudian membangun sendiri sistem filsafatnya berpijak pada asumsi
adanya kesatuan tersebut. Menurutnya, perbedaan yang ada di antara agama-agama
dan aliran-aliran pemikiran dipengaruhi oleh banyak faktor dan salah satu
faktor utamanya adalah perbedaan dalam istilah. Hakikat matahari yang bercahaya itu adalah satu dan ia tidak
menjadi banyak dengan beragamnya manifestasi-manifestasinya. Kota hanyalah satu
tapi pintu-pintunya sangatlah banyak dan jalan-jalan menuju ke kota itu tak
berbilang banyaknya. Dari kumpulan karya-karya Syaikh Isyraq dapat dipahami
bahwa Hikmah Isyraqi dijabarkan dengan bahasa kinayah, dan bahasa kinayah tidak
dapat diketahui oleh banyak manusia. Bahasa argumentasi dan filsafat dapat
dipahami oleh sebagian manusia yang memiliki kemampuan dan bakat yang cukup,
tetapi memahami bahasa kinayah tak cukup hanya dengan kemampuan yang cukup itu.
Untuk mengetahui bahasa kinayah diperlukan kemampuan istimewa yang hanya dapat
dicapai dengan riyadhah (disiplin spiritual), muraqabah (penjagaan diri dari
segala kemaksiatan), tafakkur mengenai hakikat jiwa dan alam. Syaikh Isyraq
menyatakan bahwa sebagaimana penciptaan dan perwujudan segala sesuatu hanya
dilakukan oleh Tuhan, maka Dia pulalah yang memberikan hidayah kepada semua
makhluk-Nya. Di zaman ketika Syaikh Isyraq meletakkan pondasi filsafat
Isyraqiyah (Iluminasi)-nya di dunia timur Islam dimana menekankan pada kesatuan
hakikat, juga Abul Walid Bin Rusyd di dunia barat Islam lantang menyuarakan
keharmonisan hikmah (baca: filsafat) dan syariat (baca: agama). Ibnu Rusyd,
dalam kitabnya Fashl al-maqâl fi ma baina asy-Syariah wa al-Hikmah, menjabarkan
dan mengkaji aspek-aspek syariat. Ia di awal kitab Manâhij al-Adillah fi Aqâid
al-Millah juga memaparkan masalah tersebut dan berkata, "Syariat terbagi
dalam dua bagian, yakni lahir dan batin, dan batin syariat dikhususkan untuk
para ulama, sementara mayoritas yang awam hanya diperintahkan untuk mengamalkan
lahiriah syariat dan menghindari berbagai bentuk takwil. Bagi kaum ulama juga
tidak dibenarkan mengungkapkan dan menyampaikan hakikat-hakikat yang diperoleh
dari jalur penakwilan kepada masyarakat awam.[6]"
Ibnu Rusyd dalam tulisannya berpijak pada perkataan Imam Ali as yang bersabda,
"Berbicaralah kepada masyarakat sehingga mereka dapat memahami, apabila
kandungan pembicaraan lebih tinggi dari pada kadar pemahaman masyarakat, maka
dikhawatirkan mereka akan menolak perkataan Tuhan dan para Nabi-Nya". Ibnu
Rusyd yakin bahwa peran kitab-kitab suci, yang diturunkan kepada para Nabi dan
Rasul Tuhan, meliputi satu makna lahir dan beberapa makna batin. Tapi ia
bukanlah orang pertama yang mengungkapkan hal-hal tersebut. Ibnu Rusyd dan juga
semua orang yang percaya terhadap masalah itu, berkeyakinan atas keberadaan
makna batin dimana apabila makna batin syariat dan ajaran agama disingkapkan
kepada masyarakat awam akan mengakibatkan munculnya masalah dan persoalan
psikologis dan sosiologi yang terburuk. Ibnu Rusyd berpandangan bahwa
senantiasa terdapat kesatuan hakikat yang memiliki penafsiran-penafsiran yang
beragam. Dengan demikian, penisbahan suatu pandangan mengenai
hakikat-hakikat yang saling bertolak belakang kepada Ibnu Rusyd adalah
penisbahan yang tidak beralasan. Dalam aliran politik Latiny Ibnu Rusyd,
penisbahan gagasan itu kepada Ibnu Rusyd sangat masyhur, tapi apabila
diperhatikan bahwa perspektif hakikat batin syariat dan hakikat lahir syariat -
yang juga digagas oleh Ibnu Rusyd - ditempatkan secara berjenjang dan
bergradasi, maka mustahil terdapat dua hakikat atau beberapa hakikat yang
saling bertentangan. Dengan perspektif ini, mustahil pandangan tentang
hakikat-hakikat yang saling berlawanan itu kita nisbahkan kepada Ibnu Rusyd.
Sebagaimana yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa keharmonisan dan
kesesuaian antara agama dan filsafat senantiasa menjadi titik tekan para
filosof Islam hingga zaman Ibnu Rusyd. Filosof-filosof pasca Ibnu Rusyd kurang
lebih menjabarkan masalah tersebut dan mereka mempunyai pandangan yang sama
mengenai keharmonisan hubungan antara agama dan filsafat. Pada abad kesebelas hijriah, muncul seorang filosof bernama
Sadruddin Syirazi yang secara gemilang mengkaji hakikat eksistensi dan
melahirkan gagasan-gagasan filsafat yang baru dan cemerlang. Ia meneliti
hadits-hadits yang diriwayatkan dari Ahlulbait Nabi as dan berkesimpulan bahwa
agama dan filsafat tidak bertentangan bahkan terdapat keharmonisan di antara
keduanya. Persoalan ini senantiasa ia tekankan di dalam banyak karya-karyanya,
dalam kitabnya bertema Syarh Ushul al-Kafi ia menafsirkan 34 hadits yang shahih
berkenaan dengan akal dan keunggulan-keunggulannya. Hadits-hadits tentang akal
ini memang paling banyak diriwayatkan dari Imam-Imam suci Ahlulbait Nabi as
yang disampaikan oleh ulama dan ahli hadits Syiah. Sementara hadits-hadits
seperti ini sangat jarang diriwayatkan oleh ulama dan ahli hadits Sunni dan
bahkan sebagian dari mereka menganggap bahwa hadits-hadits yang berhubungan
dengan akal adalah palsu. Muqaddasi, salah seorang ulama besar Sunni, memandang bahwa
hadits-hadits yang berkaitan dengan akal adalah bohong dan palsu. Perlu
diperhatikan bahwa Sadruddin Syirazi disamping ia adalah seorang filosof besar
juga merupakan ahli hadits, maka dari itu, hadits-hadits yang ia anggap shahih
juga dipandang shahih oleh para ahli hadits lainnya. Allamah Thabathabai, seorang filosof kontemporer, termasuk
filosof yang tidak membenarkan adanya pemisahan antara agama dan filsafat, ia
memandang bahwa argumentasi rasional-filosofis terhadap masalah-masalah teologi
adalah hal yang bersifat fitrah bagi manusia. Dalam hal ini ia berkata, "Adalah salah satu bentuk
kezaliman dan kesesatan apabila kita memisahkan antara ajaran suci agama-agama
dan filsafat transenden. Apakah agama bukan kumpulan dari makrifat-makrifat
Ilahi, akhlak, dan hukum-hukum? Apakah para Nabi dan Rasul tidak diperintahkan
oleh Tuhan untuk mengajak, mendidik, dan mengantarkan manusia kepada hakikat
kebahagiaan dan kesempurnaan hakiki? Apakah kebahagiaan dan kesempurnaan
manusia tidak terletak pada pengajaran suci agama dan pemberian akal kepada
manusia oleh Tuhan untuk menyingkap berbagai rahasia-rahasia alam, mencapai
puncak kesempurnaan makrifat atas hakikat-hakikat eksistensi, dan menjalani
kehidupan yang seimbang serta menjauhi segala bentuk penyikapan yang ekstrim
atas dimensi-dimensi kehidupan di dunia? Apakah manusia dapat menggapai
pemahaman makrifat dan ilmu tanpa menggunakan argumentasi rasional, dalil akal,
dan kontemplasi yang mana merupakan substansi dan hakikat manusia? Bagaimana
dapat dikatakan bahwa ajaran agama Ilahi mengajak manusia menentang fitrah dan
hakikat wujudnya sendiri serta menyeru manusia untuk menerima segala perkara
tanpa dalil akal dan argumentasi rasional? Secara mendasar tidak terdapat
perbedaan antara metodologi para Nabi dalam mengajak manusia kepada kebenaran
dan apa-apa yang dicapai dan diraih manusia lewat argumentasi yang benar dan
logis. Perbedaan keduanya hanya terletak bahwa para Nabi dan Rasul as
mendapatkan pertolongan dari Sebab Pertama dan meminum langsung dari sumber
wahyu."[7] Para Nabi dan Rasul as memiliki kemampuan untuk turun dari
derajat tertinggi dan berbicara dengan manusia sesuai dengan kadar kemampuan
akal dan pemahamannya. Semua Nabi dan Rasul as tidak memaksa manusia untuk
menerima segala hal tanpa dalil akal dan argumentasi rasional, mereka tidak
mengajak manusia dengan taklid buta. Kitab suci al-Qur'an membahas masalah
teologi (mabda), eskatologi (ma'âd), dan persoalan metafisika dengan berbagai
burhan dan argumentasi. Kitab suci ini sangat memuji ilmu, makrifat, akal, dan
kemandirian intelektualitas serta menentang segala bentuk kebodohan dan taklid
buta. Tuhan dalam al-Qur'an berfirman: “Katakanlah: "Inilah jalan (agama)
ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan
hujjah dan dalil yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk
orang-orang yang musyrik.” (Q.S. Yusuf: 108) Sebagaimana ayat yang disaksikan di atas, Nabi dan Rasul as
mengajak manusia kepada Tuhan berdasarkan hujjah, bashirah dan dalil yang
nyata. Tak diragukan lagi bahwa ajakan dan dakwah para Nabi berpijak pada
bashirah dan bukan taklid tanpa argumentasi. Dan ketika terdapat burhan dan
argumentasi, maka kita tidak bisa menyatakan bahwa hal tersebut bertolak
belakang dengan hikmah dan filsafat. Perlu diperhatikan bahwa filsafat itu
jangan dipandang sebagai rangkaian dan kumpulan dari pemikiran, perspektif, dan
gagasan filosof-filosof Yunani yang di antara mereka terdapat orang mukmin,
kafir, yang benar, dan yang salah. [Sumber: islamalternatif.net] |